17 September 2010

» Home » Media Indonesia » Dua Sumber Korupsi

Dua Sumber Korupsi

Sejujurnya kita muak mengamati praktik korupsi di Indonesia yang dari era ke era bukannya makin turun, tetapi justru kian meningkat. Apalagi ketika tiba-tiba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi kepada seorang koruptor (Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur). Dalam rangka memperingati HUT ke-65 kemerdekaan itu, pemerintah bukan hanya memberikan grasi, melainkan juga remisi kepada 341 dari 778 terpidana korupsi.
Adilkah ‘hadiah’ grasi dan remisi tersebut? Jelas tidak. Pertama, karena korupsi sudah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Itu berarti upaya memeranginya juga harus luar biasa keras, hukuman terhadap koruptornya harus maksimal, dan karena itu pemberian remisi maupun grasi untuk mereka harus dipikirkan ribuan kali.


Kedua, karena korupsi adalah sebuah kejahatan luar biasa yang bukan saja merugikan negara dan rakyat, tetapi juga mencoreng citra Indonesia di dunia. Bayangkan, oleh PERC (sebuah lembaga nirlaba di Hong Kong yang fokus meneliti praktik korupsi di sejumlah negara), setiap tahun Indonesia dimasukkan ke peringkat negara koruptor papan atas di Asia. Tak mengherankan jika berdasarkan itu bangsa-bangsa lain cenderung memandang sebelah mata kepada Indonesia, sementara para investor asing khawatir untuk berinvestasi di sini.
Ketiga, karena kebijakan mengobral remisi dan grasi untuk koruptor jelas berlawanan dengan niat Presiden yang pernah berjanji ‘akan bekerja siang malam dan berdiri di garda depan untuk memerangi korupsi’ (tahun 2004) dan “untuk memimpin jihad melawan korupsi” (tahun 2009). Terkait itu kita patut bertanya, berada di garda manakah SBY kini dalam perang melawan korupsi?

Di depan atau di belakang?
Kita harus belajar dari negara-negara lain, semisal China, dalam rangka memerangi korupsi. Seorang tokoh besar pada masa Dinasti Song di ‘Negeri Tirai Bambu’ itu, Wang An Shih (1021-1086), mengingatkan bahwa ada dua sumber korupsi yang senantiasa berulang, yakni buruknya hukum dan buruknya manusia. Itu berarti, hukuman berat bagi koruptor tak boleh ditawar-tawar. Hukuman mati, misalnya, mengapa tak pernah dilaksanakan terhadap koruptor di Indonesia? Mari hentikan polemik tentang pro kontra terhadap jenis hukuman ini. Pertama, karena faktanya hukuman mati masih berlaku di negara ini. Kedua, jika hukuman mati diberlakukan untuk para pengedar narkoba, teroris, dan terpidana kasus-kasus lainnya, maka sangatlah tak adil jika korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa malah dikecualikan dalam konteks ini.
Terkait hukum, kita juga menyesalkan bahwa kebijakan SBY memberikan grasi terhadap Syaukani ternyata melanggar ketentuan tentang permohonan grasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Dalam perundangan itu disebutkan bahwa permohonan grasi paling tidak diajukan dua tahun pascapermohonan grasi sebelumnya. Faktanya, pihak Syaukani mengajukan grasi pertama pada Juli 2008 dan grasi kedua pada November 2009. Jadi, sangatlah jelas telah terjadi pelanggaran administrasi dan substansi hukum dalam kasus grasi Syaukani ini.
Selain Presiden yang telah menyimpang dari ketentuan hukum, Menkum dan HAM Patrialis Akbar pun ternyata telah melakukan pembohongan publik dalam kasus ini. Ia mengatakan, pihaknya telah melakukan komunikasi dengan Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah terkait dengan pemberian remisi dan grasi terhadap koruptor termasuk Syaukani. Namun, secara tegas hal itu dibantah oleh juru bicara KPK Johan Budi. Memang, tak ada peraturan yang mewajibkan pihak Kemenkum dan HAM untuk berkomunikasi dengan KPK. Namun, mengapa Patrialis harus berbohong?
Terkait itulah maka kita juga harus bicara tentang pentingnya keteladanan dari para pemimpin. Sebab, jika pemimpin mudah melanggar hukum, bagaimana mungkin berharap rakyat taat pada hukum? Jika pemimpin tidak mengindahkan soal-soal moral (seperti kebohongan itu tadi), bagaimana mungkin berharap rakyat menjunjung tinggi moralitas di dalam kehidupannya sesehari?
Buruknya hukum dan buruknya (moral) manusia, itulah yang diingatkan Wang An Shih sejak dulu kala. Terkait dengan buruknya hukum, mudah diprediksi bahwa Indonesia ke depan sulit menjadi negara maju jika penegakan hukumnya masih setengah hati dan suka tebang pilih. Ambil contoh kasus dana talangan Bank Century. Kapankah proses hukum dalam skandal bank sakit ini akan memunculkan kebenaran yang sesungguhnya tentang kebijakan pemerintah yang salah dan orang-orang yang bersalah sehingga karena itu harus dihukum? Secara moral, apa tanggung jawab DPR yang telah berbulan-bulan menyelidiki kasus ini dan untuk pekerjaan itu telah menghabiskan uang negara miliaran rupiah?
Menatap masa depan Indonesia yang seakan diselimuti awan lembayung ini, kita teringat tokoh pers Mochtar Lubis yang pernah mengidentifikasi karakter orang Indonesia pada umumnya. Yang pertama, hipokrit. Mengutuk dan memaki-maki korupsi, misalnya, tapi dia sendiri seorang koruptor. Benarkah begitu? Mungkin saja, dan kemungkinan itulah yang membuat skandal Century tak bakal bisa dituntaskan. Sebab, diduga sebagian dari dana talangan Bank Century itu justru mengalir ke sejumlah pejabat, aktivis partai, pengusaha dan penyelenggara pemilu dalam rangka memenangkan pihak tertentu dalam Pilpres 2009.
Menurut SBY, awal Desember 2009, sinyalemen itu fitnah. Kalau benar begitu, mengapa SBY maupun pihaknya tidak bicara berdasarkan data? Apa gunanya membantah bahkan bersumpah, tetapi kebenaran yang sesungguhnya tak pernah dibuka lebar-lebar ke publik?
Ciri yang kedua adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Atasan menggeser tanggung jawab atas kesalahan kepada bawahan dan bawahan menggeser kepada yang lebih bawah lagi. Begitulah seterusnya. Pendeknya, sedapat mungkin, tanggung jawab atas suatu perbuatan ditimpakan kepada orang lain. Kita juga, masih kata Lubis, bisa kejam, mengamuk, membunuh, berkhianat, membakar, dan dengki. Benarkah?
Dalam kasus pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Senior Bank Indonesia (DSBI) tahun 2004, sejumlah nama (Endin AJ Sofiehara, Udju Djuahaeri, Dudhie Makmun Murod, dan Hamka Yandhu) telah ditetapkan menjadi tersangka bahkan terpidana oleh Pengadilan Tipikor. Tetapi mengapa Panda Nababan, yang menurut Agus Condro (mantan anggota DPR yang pertama kalinya memberi kesaksian tentang kasus ini)--dan diperkuat oleh Dudhie Makmun Murod--justru berperan sebagai koordinator dalam pemenangan Miranda sebagai DSBI, hingga kini masih bebas? Inilah yang menjadi pertanyaan kita selama ini. Syukurlah, akhirnya 1 September lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 26 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 sebagai tersangka dugaan penerimaan cek perjalanan dalam kasus DSBI 2004 itu.
Panda sendiri telah berkali-kali membantah tudingan bahwa dirinya berperan sebagai koordinator pemenangan Miranda sebagai DSBI. Tapi, entah ada hubungannya atau tidak, dialah yang menerima ‘uang sogokan’ paling besar di antara semua tersangka dalam kasus DSBI 2004 itu. Tidakkah contoh kasus ini cocok dengan ciri kedua Orang Indonesia seperti disebut Lubis di atas?
Tak pelak, selain supremasi hukum ditegakkan, moralitas juga harus dibina secara serius. Hukum yang baik tanpa didukung manusia yang baik niscaya tak efektif bagi Indonesia yang sedang mengalami pengeroposan menuju kebangkrutan ini. Untuk itu rakyat juga harus diingatkan terus-menerus agar menyikapi koruptor secara kritis. Jangan memberikan hormat kepada mereka, begitulah pesan Pascal Couchepin, Konsuler Federal sekaligus Menteri Dalam Negeri Swiss, tahun 2005, ketika datang ke Indonesia. Di negara yang dikategorikan Transparency International sebagai ‘bersih dari korupsi’ itu, begitu ada yang korup langsung dimusuhi. Kalau dia pegawai negeri, akan dibenci seluruh rakyat. Untuk menjadikan sebuah negara bersih dari korupsi, menurut Couchepin, membutuhkan waktu. ”Akan tetapi, suatu hal yang utama adalah jangan pernah berkompromi menghadapi korupsi dan jadikan korupsi sebagai musuh bersama,” ujarnya.

Oleh Victor Silaen, Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
Opini Media Indonesia 17 September 2010