17 September 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Urbanisasi Pasca-Lebaran

Urbanisasi Pasca-Lebaran

Oleh DEDE SYARIF
Lebaran baru saja usai. Para pemudik mulai kembali ke kota tempat mereka bekerja. Yang menarik, jumlah arus balik ke kota jauh lebih banyak. Ini terjadi karena pemudik biasanya mengajak serta kerabatnya untuk mengadu nasib di kota. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung pada hari-hari mendatang dibanjiri pendatang. Padahal, selama ini kota-kota tersebut sudah cukup padat.

 
Kota Bandung, dalam catatan Badan Pusat Statistik 2009 dihuni lebih dari 14.234,53 orang per kilometer persegi (BPS 2009). Kota Bandung menjadi wilayah terpadat di Jawa Barat. Angka tersebut dipastikan akan meningkat dengan terjadinya urbanisasi pasca-Lebaran.
Jika demikian, Bandung benar-benar heurin ku tangtung. Heurin artinya sesak. Ada dua hal yang ngaheurinan Kota Bandung. Pertama, bertambahnya penduduk. Penduduk Kota Bandung pada 2008 berjumlah 2.390.120 (BPS 2009). Kenyataannya, penduduk di Kota Bandung jauh lebih banyak dari angka resminya. Penyebabnya antara lain masuknya pendatang.
Kedua, Bandung menjadi heurin karena pembangunan infrastruktur kota, seperti mal, hotel, gedung pemerintah, pabrik, dan perumahan penduduk. Pembangunan infrastruktur sesungguhnya merupakan dampak ikutan dari bertambahnya jumlah manusia yang menetap di Bandung. Alhasil, Bandung benar-benar heurin ku tangtung.
Peribahasa Bandung heurin ku tangtung juga dapat dimaknai lain. Dengan semakin sesaknya Kota Bandung, warga dan bangunan di Kota Bandung harus nangtung (berdiri). Dengan luas lahan terbatas, rumah atau gedung yang dibangun harus berdiri memanjang ke atas.
Ancaman bagi kota
Urbanisasi dapat melenyapkan suatu kota. Dalam sejarah pernah ada kota bernama Cahokia. Kota ini dibangun sekitar tahun 1000 Masehi. Kota Cahokia berlokasi di pusat perdagangan yang membentang sepanjang sungai Mississippi. Selama lebih dari tujuh ratus tahun, penduduk mendiami kota ini. Puncaknya, Cahokia dihuni lebih dari sepuluh ribu orang. Saat itu, Cahokia merupakan kota yang padat. Pada abad ke-16, Cahokia mulai ditinggalkan penduduknya. Kota yang semula ramai itu menjadi sepi dan infrastruktur kota pun lumpuh. Para peneliti berspekulasi, Cahokia lumpuh karena tidak lagi sanggup menanggung jumlah penduduk yang terus bertambah. (Josephy: 1994).
Hari ini, sekitar 40 persen penduduk bumi adalah kaum urban (Tim Curry: 1997). Urbanisasi merupakan masalah yang dihadapi kota-kota besar di dunia, termasuk Jakarta dan Bandung. Urbanisasi merupakan hulu dari berbagai persoalan yang kini mendera banyak kota di negara dunia ketiga. Kita dapat menarik keterkaitan antara urbanisasi dan munculnya berbagai persoalan kota, seperti kriminalitas, prostitusi, kemacetan lalu lintas, sampai banjir.
Urbanisasi terjadi karena dua faktor. Pertama, adanya faktor pendorong (push factor). Faktor pendorong berasal dari persoalan ekonomi dan politik. Sebagai contoh, Jakarta tumbuh sebagai kota besar dan industri. Namun, pertumbuhan Jakarta tidak dibarengi dengan pembangunan di daerah sekitar. Akibatnya, daerah terbengkalai dan lapangan kerja sulit didapat. Situasi ini mendorong penduduk desa bermigrasi ke kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung.
Kedua, faktor penarik (pull factors). Sebagian orang pindah dari satu kota ke kota lain karena alasan ketertarikan kepada kota bersangkutan, misalnya karena cuacanya bagus, alamnya indah, dan lain-lain. Kita dapat melihat fenomena munculnya beberapa rumah dan vila di kawasan Bogor yang dimiliki warga Jakarta. Kedua faktor tadi berkontribusi pada terjadinya perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah atau kota lain.
Berbeda dengan faktor lain dalam kependudukan, seperti kelahiran (fertility) dan kematian (mortality), perpindahan pendudukan (in-out migration) lebih sulit diukur karena tiga alasan. Pertama, pengawasan pemerintah pada pendatang legal, tidak sebanding jumlahnya dengan pendatang yang masuk secara ilegal. Persis yang terjadi setiap kali arus balik Lebaran.
Kedua, perpindahan penduduk sulit dikontrol karena sulit dibedakan antara pendatang sementara dan pendatang permanen. Contohnya, mahasiswa dan pekerja yang bermukim sementara. Bagaimanapun, kehadiran mereka di kota, meskipun sementara, berpengaruh pada keseimbangan kota tersebut.
Ketiga, perpindahan penduduk sulit diukur karena semua orang bisa pindah, kapan dan kemana saja. Tidak ada larangan untuk itu, tetapi sangat disayangkan jika tidak ada pencatatan terkait hal tersebut.
Waktu pemerintahan Orde Baru pernah diberlakukan aturan wajib lapor bagi pendatang kepada RT dan RW setempat. Akan tetapi, aturan tersebut sekarang tak lagi efektif. Padahal, data pencatatan berguna dalam penentuan rencana pembangunan kota. Jika tidak terkontrol, pemerintah tidak bisa secara akurat merencanakan pembangunan dan pengelolaan kota. Tanpa data, pembangunan sering salah sasaran.
Urbanisasi dan berbagai akibatnya merupakan sisi lain dari pertumbuhan kota. Bandung juga menghadapi masalah tersebut. Sungguh ironis, seiring dengan deretan prestasi yang diukir Kota ini, masalah kependudukan belum banyak mendapat perhatian. Pemerintah dan masyarakat, selama ini, lebih terfokus pada akibat dari masalah kependudukan. Misalnya, kemacetan lalu lintas, alih fungsi hutan kota, prostitusi, kriminalitas, dan banjir. Padahal, sumbu permasalahannya adalah urbanisasi tadi.
Pengelolaan urbanisasi menjadi sangat mendesak. Jika tidak segera dilakukan perbaikan, bukan mustahil, Kota Bandung akan bernasib seperti Kota Cahokia yang lenyap di masa lalu.***
Penulis, dosen demografi Fak. Ushuluddin, UIN Bandung dan peneliti pada Forum Studi Kependudukan Jabar.
Opini Pikiran Rakyat 18 September 2010