Hardi Hamzah,Staf Ahli Mahar Foundation dan Ketua Biro Pengembangan Media Massa DPW PAN Lampung
Pluralisme sebagai suatu kekuatan bagi bangsa Indonesia akhir-akhir  ini seakan terusik. Kehadiran beberapa ormas yang mengatasnamakan Islam  kenyataannnya tidak membuat peta pluralisme masih berjalan baik.
Kalau demikian halnya, apa yang membuat fenomena pluralis merasa  terusik, hal ini sebagai akibat kurang jelas antara fakta kehidupan dan  ritualitas. Akibatnya, menurut Prof. Dr. Azumardi Azra, seseorang yang  memeluk agama tidak bermuara pada tauhid sehingga generasi yang immani  terpencar berpikirnya, itulah kemudian yang membuat pluralisme seakan  terusik.
Sebagai suatu indikator penting dari upaya menerapkan ajaran Islam,  ajaran Islam seyogianya diamalkan berdasarkan rentang waktu yang  dialaminya, dalam arti sebagai umat Islam, kita harus melakukan sesuatu  yang lebih riil ketimbang masyarakat nonmuslim. Dari aspek pendidikan,  misalnya, kita masih terlalu jauh dari upaya implementasi keislaman  kita, ya, katakanlah bila dalam Muhammadiyah, apa pun perilaku yang  sifatnya baik dan selalu bermuara pada amal makruf nahi mungkar hal ini  disebut ibadah secara universal.
Sementara itu, sosok-sosok pluralis berani mengorbankan dirinya.  Katakanlah seperti Gus Dur dan beberapa tokoh Islam lainnya yang  "menyerahkan dirinya" untuk dikritik dan diserang umat mayoritas agar  makna pluralis tetap mereka jalankan secara konsisten, meski dikritisi  oleh banyak kelompok lain di luar orientasi pluralis.
Sosial, budaya, dan agama, fenomena yang tidak terhindar dalam  masyarakat Indonesia. Problem yang krusial adalah memadukan kekuatan  lama dan kekuatan baru. Ada yang mengatakan kekuatan lama, kaum ustaz  pesantren, sementara kaum baru lebih diklaim sebagai akademisi. Dua  kelompok ini, kalau kita percaya, bahwa memang ada, mereka sesungguhnya  adalah aset, tetapi bila konfrontatif, menyebar teror, merampas hak  rakyat, ini yang kita tidak mengerti. Mereka itu mungkin kelompok yang  merasa benar di jalan yang sesat.
Kendati belum ada roadmap atau peta jalan yang menjadi petunjuk ke  arah kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara, kiranya nilai-nilai  sosial dapat pula menjadi rujukan yang baik, meski standar bakunya norma  hukum. Dalam pada itu, kita pahami bersama. Bahwa hubungan sosial tidak  hanya terikat pada norma, tetapi juga harus ada unsur budaya yang pas  untuk kehidupan beragama, ujar Emha Ainun Nadjib.
Budayawan yang telah lama absen menulis itu melanjutkan bahwa kita  kalau mengikuti Rasul Muhammad saw. dan kitabnya, ya, bisa lurus saja  jalan itu, sayangnya kan kita melancang melenceng, tegas Cak Nun. Nah,  ini persoalan gumam budayawan ini.
Memang ada hubungan kausalitas antara tiga variabel penting, yakni  sosial, budaya, dan agama. Sebab, ketiga variabel itu, sebagaimana yang  diungkap Organisasi Konferensi Islam (OKI), dunia Islam sedang  menghadapi problema westernisasi dan globalisasi, demikian pula  agama-agama lainnya, tanpa kemampuan untuk merespons dinamika yang ada,  menurut simpul Sidang OKI pada akhir Mei 2010, Islam atau masyarakat  agama akan tertinggal jauh.
Meski demikian halnya, fokus umat Islam dunia, khususnya Indonesia,  diharapkan mampu merespons berbagai aspek yang berkembang di era  reformasi dewasa ini. Islam, bila tidak mengembangkan sesuatu untuk  memberdayakan umat, justru cenderung akan menjadi umat minoritas di  tengah mayoritas kualitatif. Ini yang membahayakan, pluralisme di  Indonesia, tidak boleh tersandung atau berkutat pada kerukunan beragama  yang harus kita jalankan sepanjang tidak berbicara akidah, tetapi umat  Islam Indonesia, dituntut menyikapi kekuatan kekuatan lain yang sifatnya  produktif, ini yang penting.
Apabila pluralisme sarat dengan tradisi, budaya di tengah keberagaman  agama, hal yang mungkin dapat kita pikirkan bersama adalah menguatkan  koridor akidah masing-masing, berproduksi, dan tentu tanpa saling  mengganggu. Kita sebagai bangsa, telah 65 tahun merdeka, rasanya masih  melihat Indonesia dari nilai-nilai radikal, ekstrimis, dan chaos yang  dibarengi anarkis, dikhawatirkan Indonesia akan tertinggal jauh. Bila  negara negara Asia Pasifik yang notabene Islamnya minoritas, bank-bank  Muamalat atau bank syariah bisa hidup memakmurkan, mengapa justru kita  tidak mencari kiat untuk melangkah ke arah yang produktif tersebut  sehingga kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan di tengah pluralisme,  tanpa reserve mampu saling memberdayakan SDM dan memberdayakan berbagai  sektor lainnya, terutama dalam konteks kerukunan antarumat.
Pluralisme, kerap tidak dapat diterima oleh Islam radikal, karena  secara kohesif dikaitkan dengan akidah. Padahal, pluralisme adalah  kebhinekaan yang bukan saja tidak terhindar, melainkan lebih jauh lagi  merupakan aset psikologis, aset sosial, dan tentu saja aset bangsa, ujar  H.M. Amien Rais di berbagai kesempatan. Bahkan, dengan tegas kampiun  reformasi ini mengatakan bahwa pluralisme merupakan elemen potensial  bagi yang mengerti dan memahaminya secara baik untuk kehidupan  berbangsa.
Profesor dari Chicago University, yang juga ketua Dewan Pembina DPP  PAN, melihat tradisi, budaya, atau apalah namanya harus mempu meletakkan  pemikiran pada suatu dasar, yakni dasar kebangsaan, sehingga negara  bangsa dan para anak bangsa di republik yang plural ini mampu memainkan  peran strategis. Dan, yang penting ujar beliau, perbedaan atas nama  agama dalam dimensi pluralisme, adalah potensi bagi bangsa ini, tegas  H.M. Amien Rais.
 Apa pun arti dan maknanya, pluralisme di tengah beragam agama, tentu  tak tertolakkan, maka manakala proses sosial, budaya, dan keagamaan itu  sendiri menjadi bagian integral bagi perkembangan suatu umat, khususnya  bangsa Indonesia, tuntutan krusial dewasa ini bagi para anak bangsa  dalam menghadapi pluralisme, tidak hanya sekadar meluruskan persepsi,  bahwa Islam adalah agama yang cinta damai, tetapi lebih jauh lagi  pluralisme, patutlah dipandang sebagai proses hidup untuk  menumbuhkembangkan interaksi sosial lebih baik bagi kemajuan bangsa dan  negara yang kita cintai ini. 
OPini Lampung Post 21 Februari 2011