Oleh Dr Sahiron Syamsuddin
(Dosen di UIN Sunan Kalijaga)
Kajian kritis historis terhadap Alquran adalah kajian yang berupaya menunjukkan bagaimana teks Alquran dan sejarahnya dapat diketahui dengan bantuan pengetahuan rasional. Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk menjelaskan asal-usul teks dan menggambarkan bentuk dan fungsinya yang paling awal (Kroop 2007:1). Model penelitian semacam ini telah dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat sejak abad ke-19. Abraham Geiger (1810-1874) dianggap sebagai sarjana pertama yang menerapkan pendekatan kritik-historis ini terhadap Alquran. Pada tahun 1883, ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Was hat Mohammed aus dem Judentum aufgenommen? (Dirk Hatwig 2009:241).
Dalam karya ini, ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad mengambil banyak bagian dari tradisi Yahudi dalam memproduksi Alquran. Pandangan semacam ini kemudian diikuti oleh banyak sarjana lainnya, seperti Günther Luling dan Christoph Luxemberg. Karya terbaru yang menghimpun beberapa hasil kajian historis-kritis ala Geiger ini adalah buku yang diedit oleh Tilman Nagel, yaitu Der Koran und sein religiöses und kulturelles Umfeld (2010). Para sarjana ini menganggap Alquran sebagai teks ‘epigonik’ dalam arti bahwa Alquran merupakan imitasi dari teks-teks pra-Islam. Pandangan ini tentu saja menjadi sangat kontroversial di kalangan sarjana Muslim.
Meskipun demikian, tidak semua sarjana Barat sepakat dengan pandangan tersebut di atas. Banyak sarjana Barat lainnya, seperti Anglika Neuwirth, Nicolai Sinai, Michael Marx, dan Dirk Hartwig mengkritik pandangan dan temuan di atas. Berdasarkan wawancara dengan mereka pada tanggal 2 Juli 2010 dan beberapa artikel, diketahui bahwa mereka tidak setuju dengan kesimpulan bahwa Alquran hanyalah salinan ‘teks-teks pra-Islam’. Untuk mendukung posisi ini, mereka telah melakukan beberapa penelitian. Salah satunya adalah proyek yang mereka sebut dengan Corpus Coranicum, yang sedang dilakukan di Berlin-Brandenburgische Akademie der Wissenschaften di Jerman.
Dalam proyek ini, mereka menggunakan pendekatan yang sama seperti yang dilakukan oleh Abraham Geiger, tetapi dengan paradigma yang berbeda. Tidak seperti Geiger, mereka memandang Alquran sebagai ‘teks polifonik’ dan bukan mimesis (tiruan) dari teks-teks sebelumnya. Tren penelitian semacam ini bisa disebut dengan ‘tren baru studi historis-kritis terhadap Alquran’. Proyek ini terdiri atas tiga kerja utama, sebagai berikut.
Pertama, para sarjana tersebut membuat dokumentasi tentang manuskrip-manuskrip Quran awal berikut variasi qira’at. Namun, pendokumentasian ini tidak bertujuan untuk membuat teks edisi kritis Alquran. Dalam hal manuskrip Alquran, mereka membuat data bank tentang lokasi, penanggalan, dan aspek-aspek paleografis dari setiap manuskrip. Saat ini, bank data terdiri atas 250 entri dan setiap entri memiliki sejumlah foto manuskrip. Jumlah foto yang telah digitalisasi dalam beberapa komputer saat ini 3.500. Adapun dalam bank data tentang variasi bacaan Alquran, seseorang dapat menemukan semua cara baca (qira’at) Alquran, baik qira’at yang dianggap sebagai qira’at mutawatirah (diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi), qira’at masyhurah (diriwayatkan oleh relatif banyak perawi), maupun qira’at syadzdzah (yang tidak termasuk kedua macam qira’at tersebut).
Kedua, para sarjana yang terlibat dalam proyek tersebut juga melakukan penelitian dan kajian serta membuat bank data terkait dengan apa yang mereka sebut dengan Texte aus der Welt des Quran (teks-teks di sekitar Alquran). Dalam hal ini, mereka berupaya mencari kemiripan teks Alquran dengan teks-teks lain pada masa turunnya wahyu Quran. Kajian semacam ini dikenal dengan istilah ‘intertekstualitas’ antara ayat-ayat Aquran dan teks-teks dari tradisi pra-Islam, seperti Alkitab, teks Yahudi pasca-biblikal, dan puisi Arab klasik. Intertekstualitas ini, menurut mereka, merupakan fondasi yang sangat berarti bagi upaya rekonstruksi teks-teks yang ada di sekitar Alquran (Marx 2008:51; Wawancara 2 Juli 2010).
Namun, berbeda dari orientalis-orientalis lain pada abad ke-19 yang berpandangan bahwa Alquran adalah imitasi/tiruan dari teks-teks pra-Islam, para sarjana ini telah melakukan riset seobjektif mungkin dan mereka sampai pada kesimpulan bahwa Alquran bukanlah ‘teks epigonik’ yang merupakan hasil imitasi beberapa teks lain dari tradisi pra-Islam. (Neuwirth 2008:16; Wawancara 1 Juli 2010). Mereka menegaskan, bahwa Alquran meskipun dalam beberapa kasus memiliki paralelitas dan kemiripan dengan teks-teks lain, tetapi ia merupakan teks ‘independen’ yang memiliki karakteristik sendiri dan dinamikanya sendiri, baik dari segi bahasa maupun isi.
Sebagai contoh, Neuwirth membandingkan antara surat al-Rahman dan Zabur dan membuktikan bahwa meskipun kedua teks ini memiliki paralelitas/interseksi, tetapi Alquran memiliki gaya sendiri dalam hal struktur sastra dan spirit yang spesifik dalam hal isi dan pesan (Neuwirth 2008:157-189). Kesimpulan yang sama juga dibuktikan oleh Nicolai Sinai ketika meneliti QS. An-Najm. Seiring dengan temuan ini, Dirk Hartwig,ketika diwawancarai tanggal 2 Juli, mengkritik Christoph Luxemberg yang mengatakan bahwa Alquran adalah salinan teks dari tradisi Kristen yang berbahasa Syro-Aramaik.
Ketiga, mereka telah dan sedang memproduksi apa yang mereka sebut der historisch-kritische literaturwissenschaftliche Kommentar des Quran (interpretasi historis-kritis dan sastrawi terhadap Alquran). Struktur interpretasi ini terdiri atas empat elemen. Unsur pertama adalah teks Alquran dan terjemahannya dalam bahasa Jerman. Teks Arab didasarkan pada qiara’at Hafsh dari 'Asim. Terjemahan Alquran sebagian besar berasal dari terjemahan Rudi Paret dengan beberapa penyesuaian tertentu. Studi tentang urutan kronologis wahyu merupakan elemen kedua interpretasi mereka.
Mereka ingin merekonstruksi dinamika teks Alquran ber kaitan dengan aspek linguistik/sastranya. Juga, apa yang mereka sebut “kritik sastra” dalam arti mereka mem berikan penje lasan struk tur sastra Alquran dalam menyampaikan pesan tertentu.
Opini Republika 17 September 2010
17 September 2010
Studi Alquran di Jerman
Thank You!