LAGI-LAGI Golkar menyulut kontroversi. Setelah usulan dana aspirasi Rp 15 miliar bagi setiap anggota Dewan per daerah pemilihan (dapil) kandas karena mendapat tentangan keras masyarakat, kini mereka partai berlambang beringin ini pun membungkusnya dengan nama lain. Agar tetap lolos dalam APBN 2011, usul kontroversial itu kini dimodifikasi. Namanya pun diubah menjadi dana pemaksimalan infrastruktur berdasar dapil.
Atas kengototan sebagian anggota DPR terkait usulan dana yang dibungkus atas nama dana aspirasi, tak ada kata lain selain bahwa parlemen memang keterlaluan. Hal tersebut juga menunjukkan hilangnya etika dan tumpulnya nalar dalam berpolitik. Nalar anggota Dewan dalam konteks ini memang telah tumpul. Ide tersebut jelas merupakan sesat pikir dalam alur demokrasi. Usulan itu juga bentuk telanjang perampasan uang negara atas nama pembinaan daerah pemilihan.
Jack Snyder, dalam bukunya Democratization and Nationalist Conflict (2000) mengatakan bahwa demokrasi ternyata memang bukan sekadar idealisme warung kopi, semuanya bisa lalu-lalang semaunya tanpa aturan. Bagi Snyder, demokrasi membutuhkan pengetahuan dan keterampilan berpolitik, serta rule of law yang jelas sehingga tidak memunculkan politikus-politikus murahan penggasak uang negara.
Secara yuridis ataupun etis, usulan dana aspirasi yang dibungkus dan dimodifikasi dengan nama apapun jelas menunjukkan kerancuan berpikir yang dapat merusak tatanan demokrasi dan mengacaukan struktur ketatanegaraan kita. Pertama; secara yuridis, ide tersebut menabrak UU Nomor 27 Tahun 2009 Pasal 71 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD.
Pasal dalam UU tersebut secara gamblang menyatakan bahwa DPR bukanlah pelaksana program secara langsung. DPR hanyalah menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Karenanya, tuntutan dana aspirasi, dana pemaksimalan infrastruktur, atau apapun bentuknya sama artinya dengan mereka mengeksekusi program.
Kedua; secara etis. Seluruh kebijakan yang dilahirkan oleh negara, termasuk dalam hal ini DPR, harus meletakkan pembenaran etis sebagai dasar penting atas munculnya sebuah kebijakan. Pembenaran etis adalah bahwa jangan sampai setiap kebijakan negara, eksekutif ataupun legislatif, hanya mendapat pasokan dukungan dari segi-segi yang amat pragmatis. Tak bisa disangkal, tuntutan dan upaya pengegolan dana aspirasi adalah bentuk pragmatisme parpol yang hendak mengaveling jatah anggaran demi melanggengkan mesin kekuasaan.
Harus Dibatalkan Parlemen sebagai institusi yang seharusnya mengemban peran etis untuk menyelamatkan komunitas rakyat yang kini tengah bertarung melawan ketidakadilan global dan ganasnya liberalisasi pasar justru mengalami pembusukan akibat absennya muatan filsafat politik dalam proses pengambilan kebijakan.
Nilai etis yang inheren dalam institusi negara semacam DPR mengharuskan ia melakukan tindakan protektif untuk menjaga agar rakyat yang tersisih dan terpinggirkan dari program pembangunan tidak sekarat dan mati secara perlahan-lahan. Bukan malah sebaliknya, merampok uang negara dengan politik muslihat yang menyebabkan wajah bangsa kehilangan elan etisnya.
Sebuah kebijakan akan kehilangan elan etisnya bila secara serampangan tidak mengindahkan kepentingan hajat hidup orang banyak (rakyat). Dalam konteks inilah saya kira tepat apa yang dikatakan Conhran dan Malone (1999) bahwa sebuah kebijakan, keputusan, atau tindakan negara yang didesain tidak untuk menyelamatkan persoalan rakyat tidak layak dipertahankan dan harus dibatalkan.
Dalam alur argumentasi seperti itu maka keberadaan partai politik yang seringkali hanya digunakan sebagai kendaraan mencapai tangga kekuasaan, untuk memperkaya diri, dan demi kepentingan yang amat pragmatis harus dibabat habis. Tanpa itu, keberadaan partai politik hanya akan memunculkan apa yang oleh Juan J Linz (2001) disebut sebagai demokrasi kaum penjahat.
Dalam kapasitasnya sebagai fungsi anggaran, DPR hanya membahas dan memberikan persetujuan atau tidak terhadap rancangan yang diajukan Presiden. DPR tidak memiliki instrumen perencanaan yang hal itu adalah domain pemerintah. Karena itu, usulan pengalokasian dana fasilitasi pembangunan dapil, dana pemaksimalan infrastruktur berdasar dapil, atau apapun namanya, yang bukan domain DPR jelas sebuah legalisasi korupsi. (10)
— Achmad Maulani, peneliti ekonomi politik pada Pusat Studi Asia Pasifik UGM
OPini Suara Merdeka 18 September 2010