17 September 2010

» Home » Suara Merdeka » Memilih Masinis Kereta KPK

Memilih Masinis Kereta KPK

PROSES seleksi calon pengganti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tingkat panitia seleksi (pansel) telah usai. Pansel sudah menetapkan dua nama. Sebelumnya, 285 orang terdata mengikuti proses pilah-pilih anggota KPK pada hari terakhir pendaftaran, 14 Juni 2010. Latar belakang pendaftar pun bermacam-macam.

Tercatat 82 orang (28,77%) berasal dari swasta, 81 orang (28,42%) advokat, 63 orang (22,11%) PNS, 24 orang (8,42%) akademisi, 23 orang (8,07%) anggota TNI dan Polri serta purnawirawan, 9 orang (3,16%) jaksa dan pensiunan, dan 3 orang (1,05%) hakim dan pensiunan.


Pansel menetapkan Busyro Muqoddas (BM), akademisi dan pelaksana Ketua Komisi Yudisial, dan Bambang Widjojanto (BW), pengacara, sebagai dua orang yang memenuhi syarat untuk dipilih sebagai calon pimpinan pengganti anggota KPK (27/8/10). Satu di antara keduanya akan mengisi kursi yang ditinggalkan Antasari Azhar. 

Ibarat kereta api, KPK adalah kereta dengan gerbong bermasalah. Setidaknya ada tiga gerbong. Pertama, gerbong yang berisi masalah internal KPK. Semenjak ditahannya Antasari Azhar, mantan Ketua KPK, karena kasus pembunuhan, internal KPK seperti kurang bergairah. Apalagi ditambah dengan adanya rekayasa terhadap Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, dua pimpinan KPK lainnya, dalam dugaan tindak pidana suap dan penyalahgunaan wewenang.

Diakui atau tidak, kasus yang menerpa pimpinan komisi itu membuat kereta KPK berjalan melambat. Internal sepi kinerja. Kondisi ini sedikit banyak menyebabkan kerja penindakan juga kurang cepat. Tentu ini kerugian bagi pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kedua, gerbong yang berisi kasus korupsi besar dan menyita perhatian publik. Di antaranya, kasus Bank Century. Angka Rp 6,7 triliun yang keluar dari kantong negara belum ketemu ujungnya. Malah ada indikasi kasus ini akan dipetieskan dengan alasan belum ditemukan unsur korupsi. 

Kasus pemberian/penerimaan cek perjalanan setelah pemilihan gubernur senior Bank Indonesia yang menjerat banyak anggota DPR periode 1999-2004. Memang KPK telah menetapkan 26 nama baru yang didakwa menerima suap (01/09/10). Tetapi pertanyaan besarnya belum terjawab, si pemberi (penyuap), dan yang menyuruh memberi (menyuap) belum ditetapkan.
Hambat Laju Kemudian, keberadaan Nunun Nurbaeti yang disangka menggelontorkan duit untuk kala itu belum juga dapat dipulangkan ke Indonesia. Kasus ini termasuk gerbong berat yang harus ditarik KPK. Rekening mencurigakan perwira polisi yang terungkap beberapa bulan belakangan juga menjadi sorotan. Kenapa KPK tidak masuk ke kasus itu? Bukankah ada indikasi korupsi di dalamnya? 

Ketiga, gerbong yang menguji posisi politik KPK. Melindungi KPK dari intervensi kekuatan politik juga menjadi permasalahan yang tak kalah penting. Rel yang tidak bagus dan kayu bantalan penopang rel yang keropos juga menjadi masalah perjalanan kereta KPK.

Rel hukum yang masih dijejali dengan aktivitas hitam, konspirasi kotor, serta penegak hukum, hakim, jaksa, polisi, dan pengacara, sebagai kayu bantalan penopang rel hukum yang masih terima suap, memperjualbelikan hukum, adalah masalah tambahan yang sangat potensial menghambat laju kereta KPK.

Masinis kereta KPK mempunyai tugas berat menjalankan lokomotif untuk menarik gerbong bermasalah yang harus melewati rel hukum yang tak bagus dan kayu bantalan rel yang sebagian besar keropos. Menyelesaikan kasus korupsi besar (big fish) dan membongkar skandal mafia korupsi yang mengikutsertakan pejabat negara.

Siapapun yang dipilih oleh DPR, semua akan dapat diterima oleh publik. Sebab, keduanya merupakan sosok yang dirasa cukup mampu menjadi masinis yang membawa kereta KPK ke stasiun Indonesia bersih dari korupsi. Keduanya adalah kemenangan gerakan antikorupsi.

Hanya, jangan sampai kemenangan itu tercerabut dengan manuver politik ketika proses pemilihan di DPR.

Santer terdengar, DPR berusaha keras melakukan penolakan atas hasil pansel meloloskan keduanya.  Jika terbukti penolakan itu nantinya, maka akan jadi pertanda, sensitivitas antikorupsi wakil rakyat telah mati. Alamat bagi pemberantasan korupsi masuk liang lahat. (10)

— Hifdzil Alim, peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Wacana Suara MErdeka 18 September 2010