Sebaliknya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa ahli transportasi dan perkotaan cenderung berkeberatan. Alasannya adalah biaya.
Memang betul, pemindahan ibu kota atau pusat pemerintahan membutuhkan biaya sangat besar. Akan tetapi, alangkah lebih baik jika dikaji dulu secara holistik dan komprehensif. Banyak sekali aspek yang harus dipertimbangkan dan dihitung betul, tidak hanya aspek teknis-ekonomis, tapi juga sosial, politik, dan nasib manusia serta citra ibu kota negara sebagai representasi NKRI.
Dari sekian banyak aspek itu, yang perlu diperhatikan hanya tiga aspek, yang mudah-mudahan menjadi pertimbangan tim yang ditugasi Presiden untuk itu.
Aspek paling fundamental adalah setiap kota atau lokasi ekologis mana pun secara alamiah mempunyai batas toleransi pengembangan dan pembangunan. Itulah yang dalam bahasa teknis ekologis disebut sebagai daya tampung dan daya dukung lingkungan. Betul bahwa dengan teknologi modern kita bisa merekayasa pembangunan sedemikian rupa sehingga bisa mengatasi kemampuan daya dukung dan daya tampung sebuah kota. Namun, pada akhirnya ada batas alamiah yang tidak bisa dilampaui. Kalau dilanggar, maka alam dan lingkungan akan bereaksi secara teknis fisik maupun sosial.
Analoginya adalah kapal. Setiap kapal punya tonase sebagai standar batas daya angkut kapal. Begitu dilampaui, cepat atau lambat kapal akan tenggelam.
Ide membenahi transportasi dan menyiasati pembangunan Jakarta dan sekitarnya bagaikan memaksa kapal Jakarta terus membawa muatan melebihi tonase. Bisa dipastikan, cepat atau lambat Jakarta akan tenggelam.
Ternyata, hari Kamis (16/9) isyarat reaksi alamiah telah terlampauinya daya dukung dan daya tampung Jakarta terbukti. Jalan RE Martadinata di Jakarta Utara ambles sedalam 7 meter pada ruas sepanjang 103 meter dengan lebar 4 meter. Kendati berlebihan, ini bisa menjadi isyarat bahwa Jakarta sudah tidak layak lagi untuk dibebani pembangunan baru. Bukan tidak mungkin, dalam jangka menengah, apalagi jangka panjang—tanpa solusi radikal—Jakarta akan tenggelam.
Jadi, pemindahan pusat pemerintahan adalah solusi yang paling sesuai dengan kondisi daya tampung dan daya dukung lingkungan Jakarta sekarang (apalagi beberapa tahun ke depan) kendati radikal dan menelan biaya.
Perubahan iklim
Aspek kedua yang tidak boleh diabaikan adalah kenyataan mengenai dampak perubahan iklim, khususnya naiknya permukaan air laut.
Mantan Presiden Al Gore dalam buku dan filmnya berjudul An Inconvenient Truth telah menyimulasikan berbagai hasil studi ilmiah yang menyimpulkan bahwa banyak kota besar seperti New York, Shanghai, New Delhi, Jakarta, dan lainnya akan tenggelam terkena dampak kenaikan permukaan air laut.
Dengan kerentanan kondisi ekologis Jakarta seperti sekarang, prediksi tersebut makin mendekati kebenaran. Banjir setiap tahun, penyedotan air bawah tanah, manajemen banjir dan hujan yang rapuh, serta kondisi transportasi dan kemacetan yang parah menunjukkan terlampauinya daya dukung dan daya tampung kota Jakarta, dan ini hanyalah sebagian dari kondisi ekologis, sosial, dan politis Jakarta.
Sekali lagi, amblesnya Jalan Martadinata di Jakarta Utara telah menjadi sebuah peringatan bahwa intrusi air laut—entah akibat perubahan iklim global atau karena berbagai sebab lain—menunjukkan, secara ekologis Jakarta dalam kondisi kritis.
Faktor psikologis-politis
Ide mengenai prioritas membangun kota-kota provinsi lain sebagai pusat ekonomi alternatif daripada memindahkan ibu kota tentu sangat kita dukung. Bersamaan dengan itu, harus disertai pembatasan pusat-pusat ekonomi baru di Jakarta.
Hanya saja, ide ini tidak berpengaruh signifikan dalam menghentikan beban bagi Jakarta. Sesungguhnya ada dua efek yang akan dicapai dengan pemindahan ibu kota.
Pertama adalah efek psikologis politis. Dengan ibu kota sudah dipindahkan dari Jakarta, secara psikologis dan politis, daya tarik Jakarta akan berkurang. Keinginan untuk urbanisasi ke Jakarta akan berkurang.
Kedua, kiranya dengan kalkulasi yang lebih akurat bisa dihitung berapa banyak orang yang akan ikut pindah dengan pindahnya ibu kota termasuk segala ikutannya, khususnya magnitude aktivitas dan kendaraan.
Yang segera terbayang adalah 550 anggota DPR dengan 2 stafnya. Kalau akan ditambah menjadi 5 atau 10 staf, tinggal dikalikan. Belum lagi 33 kementerian yang masing-masing mempunyai beberapa puluh eselon I dan II. Semua bisa dipastikan mempunyai mobil dinas dan pribadi. Belum lagi tambahan seluruh pegawainya. Ini masih ditambah sekian banyak lembaga nonkementerian.
Demikian pula ada sekian puluh lembaga ad hoc dan lembaga tinggi, termasuk TNI dan Polri. Kalau para pejabat itu mempunyai mobil dinas dan pribadi masing-masing minimal 2, lumayan banyak mobil yang pindah.
Demikian pula akan ada begitu banyak aktivitas lembaga pemerintah pusat yang ikut pindah. Jangan lupa, setiap hari ada sekian banyak rapat dan koordinasi antarlembaga pemerintah pusat.
Belum lagi aktivitas lembaga pemerintah dengan sektor swasta maupun pemerintah daerah. Semua aktivitas ini membebani transportasi Jakarta karena mengharuskan orang berpindah-pindah dari satu kantor ke kantor lain.
Yang juga perlu dihitung adalah kemungkinan cukup banyak perusahaan swasta yang akan merelokasi kantor pusatnya ke ibu kota baru demi memudahkan koordinasi dengan pemerintah pusat. Mereka yang akan pindah pastilah pimpinan perusahaan yang akan membawa staf, keluarga, dan kendaraan beserta segala aktivitasnya.
Jadi, mengapa kita masih saja berpikir mengalokasikan dana besar-besaran (puluhan bahkan ratusan triliun) untuk membenahi transportasi dan pembangunan Jakarta melampaui daya dukung dan daya tampungnya? Padahal, cepat atau lambat sangat mungkin Jakarta akan tenggelam, paling tidak sebagian akan ambles.
Tentu saja, Jakarta tetap harus dibenahi walaupun ibu kota jadi dipindahkan. Problem kemacetan dan problem ekologis lainnya di Jakarta tetap membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius untuk tetap menjadi sebuah kota perdagangan dan industri yang layak huni dan manusiawi.
Yang pasti, dengan memindahkan ibu kota, tekanan ekologis terhadap lingkungan Jakarta akan dengan sendirinya berkurang.
A SONNY KERAF Menteri Negara Lingkungan Hidup (1999-2001)
Opini Kompas 18 September 2010