17 September 2010

» Home » Jawa Pos » Ellwood; Istana dan Kultur Kita

Ellwood; Istana dan Kultur Kita

SUNGGUH luar biasa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajaran kabinetnya dikuliahi oleh David T. Ellwood, guru besar dan dekan Harvard Kennedy School, USA, di Istana Negara (Rabu, 15/9/2010). Materi kuliahnya pembangunan dan pengentasan kemiskinan, suatu materi yang sebenarnya di Indonesia pun sangat banyak ahlinya dari berbagai komunitas keilmuan.

Itu ''luar biasa" karena, sepengetahuan saya, baru pertama dalam sejarah negeri ini, kepala negara beserta wakil dan jajaran pembantunya ''diajari" secara langsung oleh seorang ahli mancanegara. Muncul kesan, di satu pihak, seolah-olah sang bule itu begitu hebat sehingga teori, konsep, atau formulanya dipandang sangat perlu didengarkan.

Di pihak lain, seolah-olah pula, penyelenggara dan pengambil kebijakan di negeri ini kurang memiliki kapasitas yang memadai dalam membuat kebijakan yang tepat untuk menjadikan rakyat bangsa ini sejahtera dan atau Indonesia terkelola dengan baik. Parahnya lagi, bangsa ini seolah-olah miskin atau tidak memiliki pakar untuk dimintai masukan dalam membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi Nusantara.

Peristiwa itu -karena diselenggarakan langsung di istana- tak mustahil dimaknai bahwa pemerintah kita kurang percaya kepada para pakar di bangsa ini. Padahal, orang luar itu, sepakar apa pun dia, tidak mungkin memiliki pemahaman mendalam tentang kondisi Indonesia dengan segala problematikanya sebagaimana pakar di negeri ini.

Tetapi, begitulah adanya. Dan, bagi saya, peristiwa itu merupakan bagian dari ekspresi bahwa para pejabat dan pemimpin negeri ini masih memiliki perspektif ketergantungan kepada pihak luar, termasuk pemikiran atau konsepnya. Mungkin, Presiden SBY dan jajarannya berharap, sang profesor tersebut bisa sekaligus menjadi bagian dari mediator antara Indonesia dan penguasa serta pemodal Amerika. Maklum, bangsa besar ini masih demikian takut kehilangan dukungan negara Paman Saam itu.

***

Dalam kaitan itu, diakui atau tidak, sikap dan perilaku para pengambil kebijakan kita terjebak dalam mitos paradigma modernisasi. Pandangan para penganut teori modernisasi, antara lain, bila hendak maju, maka negara-negara yang terbelakang (dulu dikenal dengan istilah ''dunia ketiga'') haruslah mau mengikuti cara-cara, konsep-konsep, dan atau formula-formula yang pernah dilakukan negara yang sudah terlebih dahulu maju. Konsep ini juga menganggap kultur dan kearifan lokal bukan sekadar harus diabaikan, melainkan juga dianggap sebagai penghambat kemajuan.

Pendekatan kebijakan dan agenda pembangunan dengan paradigma modernisasi pada hakikatnya juga merupakan bagian dari upaya uniformitas dengan negara dan konsep-konsep para ahli dari negara maju yang harus dijadikan acuan. Para pengambil kebijakan di negara-negara yang less developed merupakan ''tukang stempel'' sekaligus ''broker'' dari kepentingan negara-negara maju, yang terus berlangsung dengan legitimasi kekuasaan yang dimiliki. Rakyat atau masyarakat lokal dengan potensi kearifannya haruslah diajari, yang pada tingkat tertentu secara paksa diminta mengikuti arahan dari mancanegara.

Padahal, secara teoretis, pendekatan seperti itu sudah dikritik secara serius karena dinilai sebagai ''ahistoris'' alias tidak sesuai dengan kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi lokal. Selain itu, dalam kaitan dengan sumber daya manusia (SDM), sudah demikian banyak potensi yang memiliki kapasitas dan belajar berbagai teori seperti yang dimiliki David T. Ellwood tersebut.

Bahkan, kalau mau jujur, pastilah pengetahuan dan konsep praktis para pakar di negeri ini -untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini, termasuk mengentaskan kemiskinan- akan lebih jitu ketimbang (pengetahuan dan konsep praktis) orang luar yang hanya datang sebentar dan hanya tahu secuil tentang Indonesia. Apalagi, dengan segala apresiasi kita kepada guru besar dari Universitas Harvard itu, empat syarat yang disampaikan untuk menghapus kemiskinan di Indonesia sungguh sudah menjadi bagian dari pengetahuan umum kalangan terpelajar dan pengambil kebijakan di negeri ini alias sama sekali tak ada sesuatu yang baru.

Yang mau dikatakan di sini adalah, pertama; konsep membangun bangsa ini, termasuk di dalamnya mengentaskan kemiskinan, seharusnya menjadi bagian dari produk lokal, sebagai agenda praktis yang bisa diaplikasikan secara langsung. Hanya, kita (baca: pengambil kebijakan) masih terlalu enggan menerapkannya.

Kedua; problem kemiskinan di bangsa ini sebenarnya merupakan interelasi antara ketidakmampuan mengelola Nusantara di tengah saratnya kepentingan para elite yang berorientasi pribadi dan kelompok masing-masing. Maju tidaknya bangsa ini sebenarnya bergantung kepada apakah pemerintah daerah memiliki dan melaksanakan agenda kesejahteraan rakyat atau tidak.

Perilaku dan orientasi pengambil kebijakan seperti itu sudah menjadi bagian dari budaya elite bangsa ini sehingga siapa pun yang berkuasa dan di level mana pun dia/mereka, niscaya akan selalu mengabaikan kepentingan rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Para elite terpelajar, termasuk di dalamnya pengambil kebijakan, hanyalah akan menggunakan kapasitas dan posisi mereka sebagai legitimasi untuk mengambil bagian dari proses-proses penyelenggara yang buruk (bad governance practices).

Atau, kalaupun ada yang masih konsisten, lama-kelamaan (mereka) akan frustrasi. Bukan saja pemikiran-pemikiran mereka akan diabaikan, melainkan juga diasingkan untuk tidak masuk dalam lingkaran pengambil kebijakan karena dianggap sebagai ''pihak yang harus diwaspadai". Bahkan, (mereka) bisa dianggap sebagai pengganggu kemapanan dalam praktik pemerintahan yang buruk itu. (*)

*). Laode Ida , sosiolog, wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI
Opini Jawa Pos 17 September 2010