Tatkala mendengar berita tentang rencana pembangunan mal baru di  kawasan Taman Ria Senayan, Jakarta, banyak orang terkaget-kaget.  Ternyata ada yang lebih mengagetkan lagi ketika membaca warta terpanas  rencana pembangunan gedung pencakar langit 36 lantai sebagai markas baru  para wakil rakyat, juga di Senayan.
Bagaimana tidak kaget. Bila  dirunut ke belakang, seingat saya, Bung Karno dulu merancang kawasan  Senayan sebagai kawasan hijau dengan fokus utama kegiatan olahraga.  Gedung Olahraga Senayan, dengan bentuk atap ”temu gelang”, konon  merupakan yang pertama di dunia, menjadi tenggeran yang menonjol.
Dalam  perkembangannya, muncul kompleks bangunan yang dirancang untuk mewadahi  kegiatan Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Kompleks  itulah yang sekarang menjadi tempat berkiprahnya para anggota DPR yang  ”terhormat”.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat pada era Orde Baru  mengakibatkan menguatnya tekanan pembangunan bernuansa komersial  terhadap kawasan strategis itu. Bermunculanlah bangunan-bangunan baru  berupa hotel, apartemen, mal, plaza, yang melahap lahan ruang terbuka  hijau (RTH), dengan amat rakus. Penyimpangan tata ruang secara masif  semacam ini berlangsung terus, nyaris tanpa kendali.
Terutama  sekali karena dalam Undang- Undang Penataan Ruang (UUPR) Nomor 24 Tahun  1992 tidak tercantum pasal mengenai sanksi, baik bagi pemberi izin  maupun pelaku pembangunan atau developer yang melanggar ketentuan dalam  Rencana Umum Tata Ruang Kota. Terngiang-ngiang kembali puisi mbeling  Remy Silado dengan sedikit improvisasi: Banyak ruang banyak AC/Banyak  uang banyak ACC/Akibatnya rakyat kebanjiran air dan longsoran/Pejabat  kebanjiran uang dan sogokan.
Itulah sebabnya, tatkala diminta oleh  Menteri Pekerjaan Umum untuk mengawal penyusunan UUPR yang baru, saya  bersikukuh agar ketentuan mengenai sanksi bagi pelanggar harus  ditetapkan. Dalam UUPR Nomor 26 Tahun 2007, sudah termaktub sanksi yang  tegas, baik bagi pemberi izin maupun bagi agen pembangunannya.
”Ecological intelligence”
Manakala  orang-orang banyak bicara tentang kecerdasan intelektual, emosional,  dan spiritual, seorang reporter New York Times bernama Daniel Goleman  menerbitkan buku berjudul Ecological Intelligence (2009). Diingatkannya  bahwa perilaku dan tindakan manusia di segenap pelosok dunia telah  mengakibatkan bencana berupa defisit ekologis yang sangat membahayakan  eksistensi planet kita dengan segala isinya.
Di Indonesia, UUPR  Nomor 26 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa setiap kota wajib menyisihkan 20  persen lahan perkotaan untuk RTH publik dan 10 persen lagi untuk RTH  privat. Di kota Jakarta, menurut catatan saya, RTH-nya tinggal 9,8  persen. Jadi, kota Jakarta saat ini sudah melanggar ketentuan  undang-undang. Memang tampak mulai ada usaha-usaha Pemerintah Daerah DKI  untuk mengembalikan fungsi RTH, antara lain dengan membongkar beberapa  SPBU yang menduduki taman-taman di kota Jakarta. Namun, itu saja tidak  cukup berarti. Tidak kalah penting adalah upaya menjaga taman-taman dan  RTH yang berada di segenap penjuru kota agar tidak dijarah oleh para  robber barons atau urban cowboys yang mengidap lapar lahan (land-hungry  developers).
Sungguh tidak masuk akal bila tokoh elite yang  bertengger di kursi kebesaran sebagai wakil rakyat menutup mata dan  telinga. Tidak mendengar protes keras rakyat yang menolak pembangunan  gedung supermewah dengan biaya Rp 1,6 triliun di RTH Senayan hanya untuk  kenyamanan mereka sendiri. Bila gedung pencakar langit itu tetap saja  dibangun, kita semua bisa memberi predikat kepada para wakil rakyat itu  sebagai pengidap ”kepandiran ekologis”.
Mereka akan memberi contoh  jelek sebagai bagian dari pelanggar undang-undang karena luas RTH di  kota Jakarta yang sudah sempit jelas akan menjadi kian sempit. Dampak  ikutannya, banjir kota Jakarta akan tambah parah. Udara pun akan menjadi  lebih panas karena munculnya fenomena urban heat island di kawasan  Senayan. Rakyat layak pula menyoal tentang keadilan lingkungan yang  terkesan dilecehkan para wakil mereka.
Urbanisme yang brutal
Tatkala  Prof Emil Salim meluncurkan buku barunya dalam peringatan ulang tahun  yang ke-80 beberapa waktu silam, saya sempat menyampaikan beberapa  keluhan.
Salah satunya adalah kenapa yang diundang adalah  tokoh-tokoh dari kampus dan para aktivis lingkungan dari LSM, yang  notabene kepedulian terhadap lingkungannya sudah cukup tinggi. Kenapa  pengusaha, eksekutif, dan wakil rakyat tidak ikut diundang. Padahal,  kelompok private sector, yang bila diucapkan kedengarannya tidak begitu  beda dengan profit sector dan para pejabat, serta wakil rakyat itulah  yang cenderung tidak terlalu peka terhadap keseimbangan ekologis.
Prof  John Rennie Short, Guru Besar Geografi dari University of Maryland,  dalam buku terbarunya berjudul Cities and Nature (2008) mengungkapkan  tentang fenomena urbanisme yang brutal. Ditudingnya para pengembang yang  berkolusi dengan pejabat dan politisi mengembangkan kawasan perkotaan  secara ekstensif dan sistemik dengan skala gigantik-gargantuan, merusak  ekologi perkotaan.
Jadi, kalau kita beramai-ramai menolak  pembangunan gedung pencakar langit untuk DPR di Senayan, bukan  semata-mata karena masalah tingginya biaya dan kemewahannya, melainkan  lebih karena kebrutalannya, yang akan berakibat sangat negatif terhadap  keseimbangan ekologis dan keberlanjutan kota Jakarta yang kita cintai  bersama. Apabila kepandiran ekologis dari para tokoh di puncak kekuasaan  tidak ditangkal, kita tinggal menunggu runtuhnya peradaban kota kita.
 EKO BUDIHARDJO Ketua Forum Keluarga Kalpataru Lestari (Fokkal); Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Opini Kompas 17 September 2010 
17 September 2010
Kepandiran Ekologis
Thank You!