Langkah pemerintah melakukan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi secara tergesa-gesa sulit diterima rakyat. Langkah tersebut bisa dianalogikan sebagai terapi simtomatis yang kurang menyentuh akar persoalan. Rencana penjualan BBM menggunakan sistem kluster atau pengelompokan wilayah belum disertai dengan pemetaan pola konsumsi BBM kendaraan bermotor. Rencananya pembatasan konsumsi premium dilakukan dengan membedakan penggunaan nozel refueling di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) terhadap jenis kendaraan bermotor.
Mekanisme tersebut implementasinya di lapangan akan rapuh. Efektivitas klustering BBM bersubsidi utamanya premium masih di bawah penggunaan kartu pintar (smart card) yang pernah direncanakan pada 2008. Namun, penggunaaan kartu pintar terkendala sulitnya mengetahui pola konsumsi premium dan solar oleh kendaraan bermotor. Padahal, survei pola konsumsi tersebut sebenarnya tidak terlalu sulit. Kondisi infrastruktur transportasi dan manajemen lalu lintas yang belum baik semakin sulit membuat pola konsumsi BBM kendaraan bermotor. Pola konsumsi tersebut bisa menjadi turbulen karena berbagai faktor seperti misalnya masalah kemacetan dan sulitnya mencari tempat parkir.
Sikap pemerintah yang tiba-tiba gusar menghadapi konsumsi BBM bersubsidi saat ini dalam persepsi rakyat cukup membingungkan. Argumentasi pemerintah terkait habisnya kuota BBM bersubsidi terlihat klise. Kalkulasi pemerintah terkait BBM jenis premium yang ditetapkan sesuai APBN-P 2010 sebesar 21,45 juta kiloliter yang diperkirakan habis pada awal Desember tahun ini mestinya disertai dengan penjelasan yang lebih akuntabel. Begitu pula dengan BBM bersubsidi jenis solar yang ditetapkan 11 juta kiloliter diprediksi konsumsi solar bersubsidi sampai akhir tahun ini naik hingga 2 juta kiloliter sehingga subsidi membengkak menjadi 13 juta kiloliter.
Kesalahan kalkulasi tersebut mestinya bisa diantisipasi sebelumnya. Begitu pula faktor-faktor penyebab kebocoran subsidi bisa dicegah.
Mestinya kebijakan pemerintah untuk melakukan pembatasan BBM bersubsidi bersifat lebih esensial dan dipersiapkan secara matang. Kebijakan itu berpokok pangkal dari pengertian efisiensi energi dan ekonomi yang berasaskan Pareto. Dalam pengertian yang sederhana, efisiensi adalah pemakaian sesedikit mungkin sumber daya atau input untuk menghasilkan sebanyak mungkin output. Konsep efisiensi mulai diperkenalkan oleh ekonom Italia bernama Vilfredo Pareto ini intinya suatu kondisi alokasi sumber daya yang optimal.
Dalam konteks konsumsi BBM, kondisi tersebut bisa dilakukan dengan program nasional konservasi energi yang tidak setengah hati karena selama ini program konservasi energi masih angin-anginan. Tidak mengherankan jika hingga kini negeri ini berdasarkan data intensitas energi masih dikelompokkan sebagai negara yang produktivitas pemanfaatan energinya rendah dibandingkan dengan negara lain di Asia.
Sektor transportasi merupakan sasaran utama penghematan pemakaian BBM. Begitu pula dengan sektor industri dan pembangkit listrik. Pada saatnya, program konservasi juga akan menyentuh faktor desain kendaraan bermotor dengan konsep good mileage, yakni kendaraan bermotor yang dirancang mampu menempuh jarak yang lebih jauh dengan sejumlah BBM, dengan merekomendasikan industri otomotif untuk membuat kendaraan dalam bentuk yang lebih kecil, compact, aerodinamis, dan ringan.
Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi akan berdampak buruk jika pelaksanaannya dilakukan secara tergesa-gesa. Apalagi kebijakan tersebut cukup merepotkan SPBU. Mestinya kebijakan seperti ini dilakukan dalam kerangka program nasional yang sistematis dan teredukas,i juga ditopang oleh Undang-Undang Konservasi Energi yang mampu membangun kesadaran publik untuk menjadikan konservasi sebagai budaya yang harus terus-menerus ditumbuhkan. Untuk meneguhkan UU tersebut diperlukan sumber daya manusia (SDM) dan lembaga yang memiliki kompetensi dan wewenang untuk melakukan audit energi, metode konservasi energi, serta pemberian insentif bagi pihak yang berhasil melakukan efisiensi.
Ada baiknya kita menengok kisah sukses dari negara yang berhasil menjalankan Undang-Undang Konservasi Energi. Seperti contohnya Jepang yang membentuk Pusat Konservasi Energi Nasional. Hasilnya, negara tersebut memiliki produktivitas pemanfaatan energi paling baik di dunia. Sebagai gambaran, Jepang pada saat ini mengonsumsi BBM kurang dari 45 persen dari total konsumsi energi di sana. Langkah serupa juga dilakukan Amerika Serikat melalui US Energy Act 2005. Titik beratnya untuk mengurangi pemakaian bensin 10 juta barel per hari pada 2015. Bahkan, program-progam khusus di Departemen Energi AS dikonsentrasikan untuk mengganti lebih dari 75 persen impor minyak dari negara di Timur Tengah pada 2025.
Ironisnya, implementasi konservasi energi di negeri ini masih setengah hati. Begitu pula dengan pola konsumsi BBM, ditambah lagi banyaknya kasus penyelundupan dan pengoplosan BBM. Oleh karena itu, Undang-Undang Konservasi Energi penting dengan titik berat pemanfaatan energi secara lebih rasional. Untuk mengakselerasikan UU tersebut diperlukan lembaga yang berperan sebagai Pusat Konservasi Energi yang memiliki cabang di daerah. Lembaga itu juga berperan menyusun petunjuk teknis konservasi energi untuk berbagai sektor pemakai energi.***
Penulis, pengkaji transformasi teknologi dan infrastruktur.
Opini Pikiran Rakyat 18 September 2010
Opini Pikiran Rakyat 18 September 2010