HARIAN Jawa Pos (edisi 15-17 September 2010) menyajikan laporan menarik tentang kehidupan warga negara kita yang hidup di Pulau Sebatik, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Dalam laporan itu terungkap, warga Indonesia lebih senang tinggal di Malaysia. Itu terutama disebabkan oleh alasan ekonomi. Pemerintah Malaysia, misalnya, menyediakan lahan dengan harga sewa yang murah apabila dibandingkan dengan Indonesia. "Persoalan perut" merupakan problem yang sangat krusial.
Selain itu, banyak warga yang menyatakan layanan kesehatan Malaysia lebih baik. Pasien segera mendapatkan penanganan intensif tanpa peduli apakah beridentitas sebagai warga Indonesia atau Malaysia. Hal lain yang lebih penting, jika belum mampu membayar biaya berobat, warga Indonesia dapat melunasinya dengan cara mencicil. Karena masalah ekonomi dan kesehatan itu, nasionalisme warga Indonesia dipandang mulai luntur. Namun, apakah pudarnya nasionalisme tersebut pantas disalahkan kepada warga di wilayah perbatasan?
Rasa kebangsaan dan kesadaran terhadap kewilayahan adalah dua hal yang saling mengandaikan. Tidak ada bangsa tanpa wilayah. Demikian halnya dengan suatu wilayah pasti menunjukkan bangsa. Nasionalisme dan teritorialitas merupakan keutuhan yang membentuk identitas bangsa. Dalam perkara ini, kita amat sering mengabaikannya. Nasionalisme sekadar dipahami sebagai gagasan yang bermuara kepada loyalitas bangsa secara membabi buta.
Realitas itu terbukti ketika tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepulauan Riau hendak menangkap tujuh nelayan Malaysia yang mencuri ikan di wilayah Indonesia. Justru tiga petugas itulah yang ditangkap polisi Malaysia. Mereka diperlakukan bagaikan penjahat. Panas nasionalisme kalangan anak bangsa pun lantas meninggi. Ungkapan protes berhamburan di mana-mana. Bendera Malaysia diinjak-injak dan dibakar. Kedutaan Malaysia di Jakarta diserbu demonstran dan dilempari kotoran manusia. Nasionalisme secara otomatis menyala saat ada warga bangsa yang dianiaya. Nasionalisme berkobar hebat ketika batas teritorialitas diterabas.
Fenomena itu adalah tindakan klise yang terus berulang. Sebab, kita sendiri tidak memedulikan batas teritorialitas bangsa ini. Apa yang disebut teritorialitas? Menurut Robert David Sack (seperti dikutip John Etherington, Nationalism, National Identity, and Territory, 2003), itu merupakan "upaya individual atau kelompok untuk memengaruhi, menggunakan, atau mengontrol objek-objek, orang-orang, dan hubungan-hubungan yang ada dengan cara membatasi dan menegaskan kendali terhadap area geografis tertentu". Jadi, nasionalisme tidak mungkin terpisah dari batas teritorialitas. Bukan teritorialitas dalam pengertian fisik-geografis saja, melainkan terhadap manusia dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya.
Kehilangan Imajinasi
Ironisnya, Indonesia sebagai institusi negara adalah wilayah kedaulatan yang ditangani tanpa menggunakan imajinasi. Imajinasi tidak hanya terkait dengan kemampuan membayangkan. Imajinasi adalah cara berpikir dan berperilaku antisipatif di bawah kondisi-kondisi tertentu. Imajinasi yang baik bisa menghasilkan tindakan yang cermat dalam menghadapi ancaman, baik dari dalam negeri (misalnya, bencana alam) maupun dari luar negeri (infiltrasi dan pencaplokan oleh negara lain). Imajinasi bangsa ini terhadap persoalan teritorialitas hanya terbatas pada Jawa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Di luar geografis itu, bangsa ini mengalami kehilangan imajinasi.
Imajinasi yang buruk semakin memperlihatkan kecerobohan dan kedunguan. Semua imajinasi itu dapat ditelusuri dalam pelaksanaan politik ruang (politics of place). Politik ruang bukan sebatas persoalan teknis bagaimana negara ditata. Politik ruang merupakan pandangan filosofis yang mampu menunjukkan bagaimana pihak-pihak yang memiliki otoritas meregulasikan wilayah geografisnya.
Mengikuti gagasan yang dikemukakan Michel Foucault (1926-1984) dalam Of Other Spaces (1967), politik ruang melibatkan unsur-unsur tempat, kekuasaan, identitas, dan lokasi-lokasi lain yang dianggap remeh. Relasi dari empat unsur itu menunjukkan sistem dari efek spasial (ruang) diterapkan. Politik ruang menjadi cermin kepedulian atau ke(masa)bodohan pihak yang sedang berkuasa.
Politik ruang dapat pula dievaluasi dari bagaimana kota-kota dalam wilayah kedaulatan negara diregulasikan. Kalangan pemegang otoritas politik di negara kita lebih senang menampilkan kemewahan aneka bangunan. Semua praktik politik ruang ditujukan pada hasrat menumpuk dan melipatgandakan keuntungan nilai finansial yang secara kolosal hanya tersentralisasi di Jawa. Wilayah perbatasan, sebagai nama lain dari batas teritorialitas dengan negara-negara lain, acap kali tidak terurus. Padahal, wilayah itu lazim disebut sebagai "beranda terdepan bangsa".
Sebagai Heterotopia
Dampak paling buruk dari politik ruang tanpa imajinasi adalah diabaikannya keberadaan heterotopia. Padahal, dalam heterotopia itu -berdasar ide Foucault- kita bisa berkaca tentang kenyataan yang sedang dihadapi. Heterotopia adalah ruang yang diposisikan sebagai "yang lain" (the other). Batas teritorialitas harus diposisikan sebagai heterotopia. Sekalipun terasa asing, sebenarnya, wilayah itu merupakan area yang menjadi bagian integral negara ini. Jawa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dapat saja berkedudukan sebagai "Sang Diri" (the Self) yang menentukan kemajuan. Tapi, Jawa tidak berarti apa-apa apabila bangsa ini tidak sadar batas teritorialitasnya.
Mengapa? Nasionalisme, ungkap John McLaren (States of Imagination, 2006), adalah ideologi maupun aspirasi negara-bangsa. Kewenangan dan kedaulatan suatu negara berasal dari kekuasaannya untuk mengontrol suatu wilayah. Kedaulatan itu bisa berasal dari bekas kerajaan yang bersifat monarki, bisa juga berasal dari wilayah yang dulu dikuasai bangsa penjajah. Semua itu menunjukkan bahwa negara-bangsa ini harus segera menghidupkan imajinasi politik ruang untuk mampu mengenali batas teritorialitasnya. Imajinasi terhadap politik ruang dapat dilihat dari kemampuan pihak penguasa dalam memilih utopia (ruang yang indah dan menawan) atau membuang heterotopia (batas teritorialitas yang sering kali dilupakan).
Apabila utopia yang lebih banyak diambil, kita harus bersiap menghadapi ancaman pencaplokan dari negeri tetangga, sebagaimana terbukti pada keberhasilan Malaysia mengklaim kepemilikan Sipadan dan Ligitan. Sebaliknya, jika heterotopia yang dipilih, niscaya nasionalisme yang hanya memanas ketika ada wilayah kita yang dicaplok dan warga kita yang dianiaya tidak akan berulang-ulang terjadi. Mengurus batas teritorialitas sebagai heterotopia bermakna bahwa negara-bangsa ini peduli pada kekayaan alamnya dan kesejahteraan semua warganya di mana pun berada. (*)
*) Triyono Lukmantoro, dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang
OPini Jawa Pos 18 September 2010
17 September 2010
Nasionalisme di Batas Teritorialitas
Thank You!