Herpratiwi
Dosen FKIP Unila
Tulisan ini ada karena serunya menonton AFF. Semua klub bola yang ikut ajang AFF mengambil pemain dari luar negeri dan dijadikan warga negara, di mana klub tersebut berada. Begitu juga Indonesia ikut menyambut baik adanya naturalisasi dalam bidang olahraga, yang dimulai dari olahraga sepak bola, yang menurut pengakuan Menpora juga akan merambah pada jenis olahraga lainnya. Naturalisasi yang dilakukan adalah dengan menghadirkan dua pemain asing, dengan harapan pemain lainnya akan terhipnotis oleh gaya pemain yang dinaturalisasikan, sehingga dapat menjebol gawang lawan. Artinya, prinsip naturalisasi adalah untuk meningkatkan kinerja suatu proses kegiatan yang akan menghasilkan output secara efektif sesuai dengan harapan semua orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Andaikan konsep naturalisasi diterapkan dalam dunia pendidikan, baik secara makro dan mikro, sepertinya juga akan sama pada saat konsep tersebut diterapkan di dunia olahraga sepak bola. Sudah hukum alam, jika ada individu baru dan individu tersebut mempunyai potensi yang pas dengan bidang nya, maka semua orang yang ada di sekitarnya akan memberi perhatian lebih, dan akhirnya akan terinspirasi. Ini merupakan salah satu bukti bahwa teori socio cultural Vygotsky tidak dapat diragukan lagi. Ketika mayoritas individu yang memiliki kemampuan ada di ambang rata-rata bertemu dengan individu lain yang lebih matang dan dewasa, maka mayoritas individu tersebut akan termotivasi untuk menjadi seperti individu yang dewasa tersebut. Dengan demikian, potensi yang dimilikinya akan dapat berkembang menuju ke yang lebih baik. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika individu yang di ambang rata-rata selalu bertemu dan bergaul dengan individu juga ada di ambang rata-rata? tentunya akan tetap berada di ambang rata-rata.
Pendidikan harus selalu progresif, harus selalu berorientasi ke depan. Semua pihak yang terlibat di dalam pengambil kebijakan harus selalu memiliki visi bahwa pendidikan adalah investasi yang harus disiapkan melalui kajian yang bermutu, yang komprehensif, melibatkan berbagai pihak dan berbagai lintas ilmu, sehingga akan menghasilkan SDM yang menguasai antardisiplin ilmu untuk memecahkan masalah kompleks yang harus dianalisis dari berbagai sisi. Pendidikan harus dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, dan didukung dengan kebijakan tanpa kepentingan lain yang tidak berpihak pada pendidikan. Kalau toh SDM sebagai pemegang kebijakan tidak siap dan tidak mampu untuk mengakomodasi semua kebijakan dan aturan, didatangkan SDM lain yang lebih mampu, walaupun harus dibayar mahal. Mengapa mahal? Menghasilkan suatu kinerja yang sesuai dengan harapan tidak gampang, menghasilkan karya yang menyenangkan orang lain memang mahal. Perlu sarana dan prasarana yang mendukung pencapaian sasaran, perlu dukungan lingkungan (sosial) yang memudahkan bagi semua pihak yang terlibat dalam suatu program untuk menuangkan ide dan membumikan ide.
Apakah selama ini pendidikan tidak pernah ada naturalisasi? Pertukaran pelajar, mendatangkan tamu dari sekolah dan negara lain sebagai konsultan, pertukaran guru antardaerah, dll, dapat dikerucutkan sebagai contoh konsep "naturalisasi". Tetapi kenapa kemajuan pendidikan tidak menggigit? Kelemahannya adalah kurangnya pemaknaan atas program-program tersebut, dan akhirnya hanya berlalu begitu saja. Program yang hanya dimaknai untuk kepentingan produk, dan mengabaikan proses akan bertahan tidak lama, karena tidak menanamkan pentingnya nilai dibalik suatu program. Sebenarnya dasar berpijaknya dari berbagai program tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas kinerja dengan mementingkan nilai-nilai karakter yang sebenarnya memang melekat pada diri pelaksana program. Karakter sebagai makhluk sosial dan individu, serta karakter sebagai human learning, karena manusia mempunyai akal, daya cipta, emosi, dan imajinasi.
Naturalisasi dalam bidang pendidikan akan mengantarkan semua pelaku pendidikan untuk mewujudkan asas ingin menjadi/to be yang pada prinsipnya dimiliki oleh semua manusia. Semua objek kehidupan jika dipandang sebagai milik diri/to have, maka manusia cenderung ingin menguasai dan menjadi miliknya dengan semua cara, dan sayangnya cenderung dengan cara yang egois, merusak dan tidak mau berbagi. Tetapi jika manusia menempatkan dirinya untuk menjadi seperti objek kehidupan, maka ia akan menjaga, memelihara objek tersebut agar dapat dipandang, dinikmati, dan akan dipelihara sehingga bermanfaat bagi semua orang.
Seseorang akan berhasil dalam hidup tidak hanya tergantung dari variabel nature, tetapi juga nurture. Rekayasa pola asuh memberi sumbangan yang signifikan terhadap bakat, minat, dan potensi yang dibawa anak. Pola asuh merupakan pendekatan yang mementingkan subjek yang diasuh, strateginya berorientasi pada cara pengasuhan secara pemecahan masalah berkelompok/grup discoveri learning dengan mengutamakan kegiatan simulasi, dan diskusi. Anak yang memiliki potensi dalam bidang tertentu tidak akan berkembang jika tidak ada pola asuh yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Mudah-mudahan kebijakan naturalisasi sebagai strategi pola asuh yang tepat
OPini Lampung Post 18 Januari 2011