Teddy Lesmana, Peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi LIPI dan USAID Forecast Indonesia Scholar
Kenaikan harga komoditas pertanian seperti cabai dan beras belakangan ini mengingatkan masih banyak persoalan mendasar dalam sektor pertanian yang belum tersentuh.
Hal itu ditandai fenomena berulang naiknya harga-harga komoditas pertanian. Terlebih dengan fenomena perubahan iklim saat ini yang sedikit banyak berpengaruh terhadap pertanian. Kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan dan melambungnya harga pangan seperti yang terjadi pada 2008 juga menghantui berbagai negara.
Laporan FAO (2011) yang mencermati pergerakan 55 komoditas pangan untuk ekspor menyebutkan adanya kenaikan harga mencapai 3,4% pada Januari 2011 yang menyentuh level tertinggi sejak 1990. Volatitas harga pangan tidak terlalu berpengaruh terhadap negara-negara yang tidak bergantung pada impor pangan. Di sisi lain, kenaikan harga komoditas pangan akan memukul negara-negara pengimpor pangan dengan jumlah penduduk miskin yang cukup besar, termasuk Indonesia.
Empat penyebab utama terjadinya volatilitas komoditas pangan tersebut adalah cuaca, tingginya permintaan (terutama China dan India), rendahnya output (keluaran), dan konversi komoditas pangan menjadi bioenergi. Bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi tingginya harga pangan seperti sekarang ini?
Revolusi Hijau
Jika berbicara mengenai pertanian, selama ini kita hanya mengacu ke hal-hal yang bersifat positif terkait dengan pertanian. Di sisi lain, ada dampak negatif yang sering kali tidak kita sadari dari kegiatan pertanian. Memang tak bisa dimungkiri, secara biologis manusia selalu memerlukan pangan dan komoditas pertanian lainnya. Namun, praktek pertanian yang mengabaikan kelestarian lingkungan berpotensi mengancam kesinambungan penyediaan komoditas pangan dan pertanian lainnya yang sangat dibutuhkan banyak orang.
Kebutuhan untuk memenuhi pangan dan upaya peningkatan produktivitas komoditas pertanian dapat ditelusuri dengan dimulainya secara intensif Revolusi Hijau sejak akhir dekade 1960-an. Revolusi di bidang pertanian itu ditandai adanya berbagai penerapan teknologi pertanian, penggunaan bibit unggul hibrida, penggunaan pupuk kimia dan pestisida, dan pembangunan infrastruktur penunjang pertanian.
Gerakan Revolusi Hijau itu awal mulanya di Meksiko, dengan dipelopori Norman Borlaug. Klaim akan kesuksesan Revolusi Hijau dapat dicermati pula ketika pada 1961 India berada di ambang kelaparan massal (mass famine). Pencetus konsep itu, Borlaug, diundang untuk menjalankan pilot project penanaman bibit unggul di Punjab yang akhirnya menyelamatkan India dari ancaman bencana kelaparan.
Istilah Revolusi Hijau pertama kali dipopulerkan William Gaud, mantan Direktur USAID, pada 1968. Di Indonesia penerapan teknologi ala Revolusi Hijau dikenal melalui program pemerintah di era Orde Baru, yakni Bimas dan Inmas. Melalui gerakan masif yang melibatkan penyuluh pertanian dan penyeragaman pola produksi pangan yang dikomandoi dari pusat, Indonesia akhirnya dapat mencapai swasembada pangan pada 1984.
Namun, kemampuan kita dalam berswasembada tidak bertahan lama. Penggunaan teknologi dan input (masukan) pertanian yang berbasis kimiawi tersebut tanpa kita sadari merusak lingkungan. Matinya biota tanah dan hilangnya kesuburan tanah membuat petani makin terjerat dengan penggunaan pupuk kimia yang menyebabkan lapar tanah. Secara gradual tanah makin tergantung pada asupan masukan kimia yang berharga tidak murah. Meskipun pemerintah menyubsidi pupuk, bukan rahasia lagi jika pupuk bersubsidi tersebut sangat sulit diperoleh ketika petani membutuhkannya. Pada akhirnya terjadi proses pemiskinan petani yang tak terlihat, ketika harga jual komoditas pertanian tidak sebanding dengan biaya yang diperlukan untuk menghasilkannya.
Pertanian Ramah Lingkungan
Makin terasanya dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian memerlukan perubahan cara pandang dalam menjaga kesinambungan usaha pertanian di Indonesia. Pertanian merupakan kegiatan langsung yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Praktek usaha tani yang tidak mengindahkan kaidah keseimbangan ekosistem dan pelestarian lingkungan, pada gilirannya juga akan berdampak terhadap pertanian itu sendiri. Kita saat ini sering melihat dan mendengar terjadinya kegagalan panen akibat pengaruh iklim.
Untuk memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim sekaligus dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan, ada baiknya melihat konsep pertanian berbasis ekologi atau yang dikenal sebagai ecoagriculture. Konsep itu pertama kali dikemukakan Sara Scherr dan Jeffrey McNeely pada 2000. Visi ecoagriculture ini berupa pengelolaan sumber daya yang terdapat di perdesaan. Tujuannya peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan, pelestarian keanekaragaman hayati, dan layanan ekosistem serta pengembangan sistem pertanian yang lebih produktif dan berkelanjutan.
Inti pertanian berbasis ekologi itu mendekatkan usaha atau aktivitas pertanian yang selaras dengan berjalannya fungsi ekosistem sesuai sifat alamiahnya. Siklus gizi/unsur hara tanah dan struktur keanekaragaman hayati terjaga sehingga mampu menciptakan sistem pertanian yang tahan terhadap gangguan hama dan memiliki sistem pemelihara unsur hara tanah yang alami. Dengan demikian, petani tidak akan bergantung lagi pada pengadaan masukan pertanian dan pengendali hama yang berbasis bahan kimia.
Di samping itu, dengan penerapan sistem pertanian yang ramah lingkungan itu, bibit-bibit lokal yang selama ini tergusur oleh bibit hibrida produksi pabrik bisa dihidupkan kembali. Ketergantungan petani terhadap bibit hibrida yang selama ini artifisial diproduksi perusahaan–perusahaan multinasional penghasil benih dapat dikurangi atau bahkan sama sekali dihilangkan sehingga petani memiliki kemerdekaan untuk menanam benih yang sesuai dengan kondisi alam setempat dan tidak berbiaya mahal. Ongkos produksi pertanian pun pada gilirannya dapat ditekan, sementara keluaran pertaniannya dapat memenuhi persyarataan komoditas pertanian organik yang berharga tinggi yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani. Diharapkan pula, komoditas pertanian yang bebas bahan kimia dan rekayasa genetik itu dapat menghasilkan bahan makanan yang aman dan sehat untuk dikonsumsi manusia.
Singkatnya, konsep ecoagriculture ini memadukan strategi konservasi alam dan pembangunan secara simultan. Petani dan masyarakat perdesaan merupakan aktor kunci dalam menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem. Tentunya, untuk menyukseskan konsep itu, diperlukan koordinasi dan kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan, dalam menciptakan lanskap pertanian yang berkelanjutan.
Opini Lampung Post 21 Februari 2011
20 Februari 2011
Menciptakan Tradisi Pertanian Berkelanjutan
Thank You!