Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan dengan Kadin hari Jumat (3/9) memunculkan kembali wacana pemindahan pusat pemerintahan. Apakah hal tersebut telah menjadi kebijakan nasional atau hanya upaya testing the water—menguji opini publik—adalah bagian dari politik pembangunan. Yang jelas, hal itu telah memicu diskursus kebijakan yang perlu ditanggapi serius.
Betapa tidak, kegiatan ekonomi yang tercipta di Provinsi DKI Jakarta terus naik mendekati angka 20 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Apabila digabungkan dengan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, keseluruhan PDB wilayah Jabodetabek mencapai 30-35 persen dari PDB Indonesia. Hal ini menjadikan wilayah Jabodetabek magnet ekonomi luar biasa bagi pembangunan Indonesia.
Kesempatan mobilitas vertikal bagi status sosial, ekonomi, dan politik tersedia semua di Jakarta dan menyisakan wilayah lain di Indonesia sebagai penyedia sumber daya bagi pertumbuhan Jabodetabek yang dihuni lebih kurang 30 juta orang (sensus penduduk 2010) atau 13 persen dari penduduk Indonesia.
Kurangi tekanan
Daya tarik ekonomi Jakarta dan Bodetabek tak tertahankan sehingga hampir tidak ada wilayah lain di Indonesia yang mampu menarik perhatian pengusaha untuk investasi sebesar di wilayah Jabodetabek. Penelitian oleh ekonom UI/ANU menunjukkan, tingkat konsumsi penduduk DKI Jakarta adalah empat kali wilayah lain di Indonesia. Itu berarti, pendapatan penduduk di Jakarta sangat besar, bahkan juga pada kelompok masyarakat miskin yang tinggal di bantaran sungai, kolong jembatan, dan permukiman kumuh.
Apabila mobilitas penduduk merupakan salah satu refleksi dari kesempatan ekonomi, perlu ada komitmen kuat untuk menciptakan wilayah-wilayah baru yang secara ekonomi kuat. Untuk itu, ada dua isu penting di sini.
Isu pertama adalah kenyataan bahwa ekonomi Jabodetabek selama 10 tahun terakhir pasca- Undang-Undang Otonomi Daerah tak lagi bergantung pada anggaran pemerintah pusat, tetapi terjadi akibat interaksi bisnis dan kegiatan perdagangan di Jakarta.
Isu kedua adalah perlunya kota-kota di Indonesia dikembangkan untuk mengurangi urban primacy ke Jakarta yang terbukti membebani biaya publik demikian besar.
Oleh karena itu, gagasan memindahkan pusat pemerintahan ke luar Jakarta akan menimbulkan dua masalah besar: biaya pembangunan fisik bangunan dan infrastruktur administrasi pemerintahan serta relokasi keluarga pegawai pemerintah. Selain itu, kemacetan Jabodetabek juga tetap akan menjadi masalah utama yang perlu diagendakan dan membebani anggaran negara. Kedua masalah tersebut menjadi tantangan kebijakan yang harus dipecahkan bersama.
Dari segi transportasi, kemacetan yang akan terjadi pasca-pemindahan pusat pemerintahan dan penataan transportasi pada pusat pemerintahan baru akan membuat pemerintah pusat berbeban ganda. Apalagi dengan perencanaan dan pengelolaan yang belum tertata baik.
Oleh karena itu, mengurangi tekanan mobilitas Jabodetabek dengan mendorong pertumbuhan metropolitan baru, seperti Surabaya, Makassar, dan Medan, merupakan pilihan logis. Tidak saja bagi peningkatan pendapatan masyarakat di daerah-daerah tersebut, tetapi juga bagi daya saing ekonomi nasional.
Perhatian pemerintah bagi pertumbuhan perkotaan di tiga wilayah tersebut akan memperbaiki ketahanan ekonomi nasional, sekaligus mendorong Jakarta menjadi kota jasa, khususnya jasa keuangan yang siap berkompetisi dengan Bangkok, Mumbai, dan Kuala Lumpur. Insentif bagi investasi usaha dan industri di tiga kota besar Indonesia harus diciptakan melalui berbagai kebijakan fiskal dan nonfiskal yang progresif.
Penataan ruang kota
Tantangan penataan ruang kota Jakarta sudah berubah. Penataan yang diarahkan untuk meningkatkan ruang terbuka hijau yang akan memberikan kenyamanan bagi masyarakat Jakarta ternyata tidak lagi mencukupi. Penataan ruang kota harus pula diarahkan untuk saling mendukung pembangunan angkutan umumnya. Pembangunan pusat tarikan transportasi seperti kantor dan mal harus didorong lebih mendekat pada koridor angkutan umum agar masyarakat yang ingin menggunakan angkutan umum dimudahkan.
Rencana pembangunan fase I mass rapid transportation (MRT) Jakarta yang akan dimulai tahun 2011 dan mulai beroperasi tahun 2016 menyisakan pekerjaan besar untuk mengubah struktur pemanfaatan ruang kota. Pada semua pengoperasian MRT yang sukses secara finansial, seperti Hongkong, Singapura, Tokyo, Seoul, dan Taipei, investasi MRT berlangsung dengan konsep pengembangan bisnis properti di sekitar stasiun.
Di Tokyo, misalnya, pendapatan dari properti adalah 50 persen dari seluruh pendapatan Tokyo Metro. Sementara pada Hongkong Mass Transit Railway, pendapatan operasi transportasi yang defisit ditutup dengan pendapatan penggunaan properti dan menjadikan Hongkong MRT sebagai operator MRT paling untung di dunia.
Kegagalan memanfaatkan konsep ini tidak saja akan mengakibatkan hilangnya kesempatan (missed development opportunity), tetapi juga menjadi tanggungan biaya besar pemerintah daerah untuk subsidi. Padahal, biaya ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk program pembangunan lain. MRT Jakarta, misalnya, saat ini hanya memperkirakan non-farebox revenue 7 persen dan membutuhkan sekurangnya Rp 85 miliar komitmen subsidi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama 10 tahun.
Demikian pula modernisasi dan peningkatan kapasitas kereta api komuter Jabodetabek yang akan menelan biaya Rp 10 triliun-Rp 15 triliun akan lebih bermanfaat apabila di sekitar stasiun juga dikembangkan berbagai fasilitas perkantoran dan pusat ekonomi baru. Dengan begitu, masyarakat pengguna akan secara langsung terkurangi biaya transportasi umumnya yang dibutuhkan untuk melanjutkan perjalanan. Hal ini menjadi penting karena saat ini biaya penggunaan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor, lebih murah daripada angkutan umum, kecuali pemerintah bersedia secara radikal mengubah kebijakan subsidi BBM.
Optimalkan MRT
Alangkah sayang jika biaya pembangunan MRT sebesar Rp 1 triliun per kilometer dengan dana pinjaman Pemerintah Jepang tersebut hanya ditujukan untuk mengangkut penumpang kurang dari satu juta per hari. Bandingkan dengan seluruh jumlah perjalanan penumpang di wilayah Jabodetabek yang mencapai 40 juta per hari. Artinya, jumlah penumpang yang akan diangkut MRT Jakarta dan KA komuter Jabodetabek hanyalah 6-8 persen dari seluruh perjalanan sehingga tumpuan harapan akan tetap di angkutan jalan raya, baik angkutan umum maupun pribadi, yang mengangkut lebih dari 40 persen pelaku perjalanan.
Kelebihan angkutan umum berbasis rel yang telah terbukti di kota-kota Asia yang berkepadatan tinggi adalah kemampuannya mengubah struktur ruang kota dan orientasi pembangunan agar lebih mendekat pada koridor angkutan umum. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari analisis di atas? Menata transportasi memiliki perspektif jangka panjang. Banyaknya inisiatif pembangunan transportasi dan perkotaan bagi Jakarta harus betul-betul dikaji dengan partisipasi banyak pihak untuk memastikan adanya no-regret scenario yang disepakati pemangku kepentingan.
Pembangunan Jabodetabek tidak bisa dilepaskan dari strategi pembangunan perkotaan, khususnya kota metropolitan di Indonesia. Sementara itu, berbagai program transportasi yang akan dilakukan di Jakarta tidak boleh melewatkan kesempatan dalam mengubah struktur ruang kota yang akan kita tinggali ini.
Danang Parikesit Guru Besar Transportasi Universitas Gadjah Mada; Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia; dan Ketua Bidang Transportasi Persatuan Insinyur Indonesia
Opini KOmpas 17 September 2010