SETELAH hampir tujuh bulan terkatung-katung, kini kasus Century yang telah memaksa Sri Mulyani mundur dari kursi Menteri Keuangan kembali memanas. Pasalnya, melalui silaturahmi politik para petinggi Partai Golkar bersama mantan ketua umumnya, Jusuf Kalla, penuntasan kasus yang dianggap merugikan negara Rp 6,7 triliun kini kembali dipertanyakan.
Ketidaktegasan penegak hukum, baik aparat Polri maupun Kejakgung, bahkan KPK dalam menindaklanjuti rekomendasi DPR tentang adanya pelanggaran hukum, pelanggaran perbankan, pelanggaran pencucian uang, dan pelanggaran lainnya memang layak dipertanyakan. Terlebih penegak hukum terlalu dini menyatakan kurang adanya bukti padahal dugaan permulaan telah dilaporkan melalui investigasi BPK dan juga pengusul angket dalam Tim 9.
Silaturahmi politik dalam nuansa Lebaran kiranya tepat menjadi momentum penyadaran kasus yang telah menyedot energi bangsa. Dengan bersih hati, pikiran, lisan, dan perbuatan pada bulan Ramadan, semangat tanpa tendensi negatif dapat dikedepankan dalam mengawal kembali kasus Century agar tidak mati suri.
Siapa pun dapat memahami kekuatan silaturahmi politik yang dilakukan oleh Tim 9 pengusul awal hak angket Century. Tim yang didominasi anak-anak muda DPR itu punya peran kukuh. Silaturahmi politik sengaja dilakukan untuk mendobrak nurani ‘’kebenaran’’ anggota DPR yang lain. Dengan kata lain, diplomasi yang dilakukan melalui tatap muka dengan pendekatan emosional serta psikologis penuh penghargaan terhadap pihak yang ditemui pada akhirnya memberi dua keberhasilan.
Pertama, pembubuhan tandatangan dukungan lebih dari 500 anggota DPR menjadi bukti awal keberhasilan silaturahmi sehingga mengantarkan terbentuknya Pansus Kasus Bank Century. Kedua, legitimasi ‘’kebenaran’’ yang diperoleh melalui keterangan saksi beserta datanya, secara psikopolitik telah bersentuhan dengan ekspektasi publik dan lagi-lagi terkuatkan oleh diplomasi silaturahmi. Hasil akhirnya terungkap bahwa mayoritas anggota DPR menyetujui adanya pelanggaran hukum dan pelanggaran lain sehingga perlu dilanjutkan dalam ranahnya masing-masing.
Masuk akal dan normal jika dalam sidang paripurna, dukungan terhadap kesimpulan Pansus mengenai adanya indikasi pelanggaran hukum justru lebih besar dari kekuatan yang diperkirakan publik. Dibukanya keran silaturahmi politik merupakan salah satu pertanda yang esensial untuk mengawal demokrasi. Logis jika masing-masing pihak menawarkan klausul kebenaran berdasarkan kepentingannya, tetapi momentum, tata cara, dan proses itulah yang menandakan santun atau tidaknya silaturahmi.
Keinginan Elite Karut-marutnya kasus Century yang tidak jelas penuntasannya, mengindikasikan adanya proses tukar guling perkara hukum yang mengancam penegakan demokrasi. Hal demikian terlihat dari menurunnya kritisisme anggota DPR setelah kasus Century berhasil melengserkan Sri Mulyani.
Denny Indrayana sebagai Staf Ahli Presiden sekaligus anggota Satuan Tugas (Satgas) Antimafia Hukum pernah menyatakan bahwa ada upaya negosiasi perkara hukum antarpetinggi politik menjelang sidang paripurna pembahasan kasus Century.
Ironi demikian membangun memori kolektif publik bahwa supremasi dan kedaulatan hukum memang bisa diselingkuhi oleh kekuasaan politik. Hal ini menguatkan pendapat Marc Galanter kalau pemegang kuasa dominan cenderung mementingkan kekuasaan dan bisnis atau materi daripada penegakan hukum.
William J Chambliss dalam On the Take; From Petty Crooks to Presidents (1978) dan Richard Quinney melalui Critique of Legal Order (1973) menggambarkan bahwa hukum cenderung dibuat untuk menampung keinginan elite yang menguasai negara daripada untuk kepentingan masyarakat.
Dengan kekuatan uang, hukum dapat dipengaruhi, dan dengan kekuatan kekuasaan hukum juga dapat direkayasa. Dibutuhkan komitmen bersama untuk mengawasi agar tidak ada rekayasa politik dalam mengungkap kebenaran kendati disadari kebenaran memiliki relativitas. Hal itu dapat kembali dibangkitkan melalui silaturahmi politik, dilandasi kejernihan hati dan pikiran untuk kesejahteraan rakyat. (10)
— Muh Khamdan, peneliti pada Paradigma Institute, peserta Program Studi Agama dan Perdamaian Pascasarjana UIN Jakarta
Wacana Suara Merdeka 17 September 2010