Jika boleh memberikan penilaian, inilah hasil kerja Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendekati keinginan mayoritas publik.
Mengapa tidak, nama yang dihasilkan panitia seleksi nyaris tidak ada yang meragukan sosok calon pengganti kursi ketua KPK yang telah lama ditinggalkan Antasari Azhar. Dua calon yang berhasil masuk “grand final” bahkan dapat dikatakan sedikit dari sejumlah nama yang masih diakui kredibilitasnya melanjutkan agenda pemberantasan korupsi. Karena capaian itu, panitia seleksi tersebut harusnya dipertahankan untuk proses seleksi empat pimpinan KPK tahun depan. Pertanyaan besar yang mengiringi terpilihnya Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas, bagaimana sikap DPR menghadapi hasil panitia seleksi?
Pertanyaan itu menjadi penting karena dua alasan pokok. Pertama, cara apakah yang akan dilakukan DPR untuk memilih kedua calon tersebut guna menjawab kebutuhan kelanjutan agenda pemberantasan korupsi dan kebutuhan internal KPK yang telah porak-poranda dalam beberapa waktu terakhir. Kedua, untuk waktu berapa lama masa jabatan pimpinan KPK yang akan segera dilakukan uji kelayakan (fit and proper test) ini.
Kepentingan Politik
Sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU No 30/2002), Presiden SBY telah menyerahkan nama yang dihasilkan panitia seleksi kepada DPR. Selanjutnya dalam tenggat waktu paling lama tiga bulan DPR wajib memilih dan menetapkan satu orang dari dua calon yang diajukan Presiden. Berdasarkan ketentuan itu, satu dari dua nama yang diajukan Presiden akan tersisih di ujung proses fit and proper test. Ketentuan itu mengamanatkan bahwa DPR harus memilih satu di antara dua nama yang dihasilkan panitia seleksi.
Penantian banyak kalangan yang concern atas kelanjutan agenda pemberantasan korupsi dan KPK: bagaimana proses pemilihan tersebut dilakukan Komisi III DPR sehingga mendapatkan pimpinan KPK yang paling tepat di antara dua nama terbaik yang diajukan Presiden. Pada titik itu, persoalan yang sesungguhnya adalah sulit menentukan standar baku untuk melakukan pemilihan. Merujuk pengalaman proses pengisian hampir semua jabatan publik yang melalui mekanisme fit and proper test di DPR, pertimbangan kepentingan politik fraksi jauh lebih menonjol dibandingkan dengan tujuan yang hendak dicapai dari proses yang dilakukan.
Melacak ketentuan pengisian pejabat publik dalam Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR, ruang bagi fraksi untuk mengedepankan kepentingan politik amat mungkin terjadi. Sebagaimana diatur dalam Tatib DPR, tata cara pelaksanaan seleksi dan pemilihan calon meliputi: (a) penelitian syarat administrasi, ( b) penyampaian visi dan misi, (c) uji kelayakan (fit and proper test), (d) penentuan urutan calon, (e) diumumkan kepada publik. Berdasarkan urut-urut proses tersebut, fit and proper test hanya menjadi salah satu rangkaian dari tahapan yang harus dilalui calon. Dengan tidak ada standar dalam menentukan pilihan, anggota Komisi III DPR harusnya dapat membuat standar atau kriteria yang lebih terukur.
Dengan penentuan kriteria tersebut, subjektivitas dapat dikurangi.Tanpa itu, sulit untuk menghindari faktor subjektif dan kepentingan sesaat anggota fraksi dan fraksi-fraksi yang ada di DPR. Bagaimanapun, dengan posisi KPK sebagai extra-ordinary body dalam pemberantasan korupsi, hampir dapat dipastikan, banyak pihak punya kepentingan dengan pimpinan KPK. Sekiranya pusaran kepentingan sesaat tersebut mengalahkan kepentingan agenda pemberantasan korupsi, pimpinan KPK yang baru akan kesulitan mengemban wewenang ekstra yang diamanatkan UU No 30/2002.
Bukan Menyembelih
Penetapan standar untuk menilai calon menjadi kebutuhan yang sangat mendesak agar proses fit and proper test tidak berubah menjadi arena pembantaian. Disadari, menguliti rekam jejak (track-record) calon perlu dilakukan sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk menelusuri sepak terjang calon menjadi pimpinan KPK. Bagaimanapun rekam jejak yang kontraproduktif dengan syarat yang harus dipenuhi akan menjadi lebih baik jika terlacak sejak awal.
Salah satunya, seorang pimpinan KPK tidak boleh sedikit pun pernah terperosok dalam praktik korupsi dan perilaku koruptif lainnya. Membiarkan mereka yang pernah terperosok dalam praktik demikian berpotensi menggadaikan masa depan agenda pemberantasan korupsi dan ujung-ujungnya akan melemahkan KPK. Meski demikian, yang harus dihindari dalam proses fit and proper test adalah menjadikan mekanisme tersebut sebagai arena pembantaian (penyembelihan) calon. Kalau memang calon tidak punya track record negatif demi kelanjutan agenda pemberantasan korupsi, anggota Komisi III DPR tidak perlu pula mencari-cari kesalahan.
Perlu dicatat, melestarikan upaya mencari-cari kesalahan akan semakin memberikan image negatif bagi DPR. Ujung-ujungnya, banyak kalangan akan makin takut berhadapan dengan proses-proses internal DPR termasuk proses fit and proper test. Sekiranya dikaitkan dengan dua calon pimpinan KPK yang dihasilkan panitia seleksi, yang paling mungkin dilakukan oleh anggota Komisi III DPR adalah mendalami kembali arah penegakan hukum pemberantasan korupsi yang akan mereka dilakukan. Misalnya, bagaimana pendirian calon terhadap kelanjutan skandal suap yang terjadi dalam pemilihan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Meskipun telah menetapkan 26 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 sebagai tersangka, hal tersebut penting mengetahui sikap calon karena sampai saat ini KPK belum menetapkan status apa pun bagi pemberi suap. Begitu juga dengan skandal Bank Century, sampai sejauh ini KPK belum menentukan sikap atas laporan DPR. Padahal, hasil Pansus DPR menemukan ada penyalahgunaan wewenang saat pemberian dana talangan kepada Bank Century. Dari bangunan hukum yang ada, KPK menjadi satu-satunya lembaga yang mungkin melanjutkan hasil temuan Pansus DPR. Karena itu, Komisi III DPR harus mencari jawaban dan kepastian sikap calon pimpinan KPK atas megaskandal ini. Tanpa kejelasan sikap itu, sulit akan ada tiupan angin baru di internal KPK.
Ujian Pertama
Sebetulnya agak lebih mudah membaca niat baik DPR maupun Komisi III DPR dalam proses pemilihan calon pimpinan KPK dibanding dengan proses pemilihan sebelumnya. Sebagaimana disebut di atas, untuk calon, Komisi III DPR saat ini hanya perlu pendalaman. Karena itu, ujian sesungguhnya terkait dengan lama masa jabatan pimpinan KPK yang baru. Sampai saat ini masih menjadi polemik, apakah pimpinan yang baru hanya melanjutkan masa jabatan Antasari atau penuh empat tahun. Sejauh yang bisa diamati, banyak kalangan di DPR menginginkan masa jabatan satu tahun lebih.
Melihat calon dari hasil proses panitia seleksi dan posisi KPK sebagai lembaga independen, jauh lebih bermanfaat jika masa jabatan pimpinan yang baru adalah empat tahun. Merujuk UU No 30/2002, secara jujur harus diakui bahwa tidak ada pengaturan yang menegaskan masa jabatan jika terjadi pergantian/kekosongan jabatan pimpinan KPK. Satu-satunya ketentuan yang menyebut masa jabatan adalah Pasal 34 yang menyatakan bahwa pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Ketentuan tersebut tepat dirumuskan setelah Pasal 33 Ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi kekosongan pimpinan KPK, Presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR. Dengan melihat susunan itu, dalam “Selamat(kan) Jalan KPK” (SINDO,10/6) saya kemukakan, karena hanya ada ketentuan tersebut, menjadi sulit menerima bangunan argumentasi yang menyatakan bahwa masa jabatan pengganti Antasari adalah meneruskan masa jabatan yang tersisa yaitu sekitar satu tahun. Jika dibaca dengan cermat, tidak satu pun norma yang menegaskan bahwa pengganti yang mengisi kekosongan pimpinan adalah meneruskan atau melanjutkan sisa masa jabatan yang sebelumnya.
Dengan tidak adanya ketegasan itu, masa jabatan empat tahun dalam Pasal 34 UU No 30/2002 berlaku terhadap siapa saja yang dipilih menjadi pimpinan KPK. Dengan selesainya proses di sisi Presiden, kini bola berada di tangan DPR. Banyak kalangan berharap, DPR melakukan proses pemilihan secara benar sehingga harapan terhadap agenda pemberantasan korupsi tetap tumbuh.
Untuk menumbuhkan itu, proses yang tersisa jangan dijadikan sebagai arena penyembelihan termasuk menyembelih masa jabatan pimpinan yang baru menjadi hanya sekitar satu tahun. Selamat bekerja untuk anggota Komisi III DPR.(*)
Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur PUSaKO FH Unand, Padang
Opini Okezone 16 September 2010
17 September 2010
DPR, Memilih Bukan Menyembelih
Thank You!