19 Desember 2010

» Home » Opini » Sinar Harapan » Problem Kronis di Sektor Transportasi

Problem Kronis di Sektor Transportasi

Para penumpang kereta api belakangan ini resah. Mereka diperlakukan seperti ikan pindang, terpaksa naik ke atap gerbong seperti di Bangladesh atau menggunakan moda angkutan yang lain.
Penyebabnya karena PT Kereta Api sedang memperbaiki armadanya.
Kalau saja armada kereta api mencukupi, sedikitnya 500.000 penumpang tidak perlu mengalami nasib serupa itu setiap hari. Kini, mereka harus berdesakan, terlambat sampai tempat tujuan, namun tetap harus membeli karcis dengan harga yang sama.
Kesemerawutan pelayanan jasa kereta api merupakan salah satu contoh buruk sektor jasa. Pemandangan serupa dapat dijumpai pada bis kota, metromini, bahkan angkutan kota. Hak-hak penumpang untuk memperoleh keamanan dan kenyamanan diabaikan.
Persoalan di sektor transportasi ini bukan sekadar realisasi hukum permintaan dan penawaran. Persoalan ini jauh berakar pada strategi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan dengan membangun kutub-kutub pertumbuhan.
Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan menjadi kutub pertumbuhan karena kalangan pebisnis memilih kota besar, dengan alasan fasilitas infrastruktur yang lebih baik. Kecenderungan ini menyebabkan puluhan pendatang baru berdatangan. Kebanyakan di antara mereka tidak mempunyai keahlian yang diperlukan kalangan pebisnis.
Kedatangan para pendatang menyebabkan jumlah penduduk bertambah dengan pesat. Ini menimbulkan tekanan besar, sebab pemerintah daerah mesti menyediakan fasilitas pendidikan, peru­mahan, kesehatan, transportasi, infrastruktur, dan lainnya.
Pemerintah daerah tidak sanggup mengatasi tekanan itu. Permintaan masyarakat terlalu cepat dan terus membesar. Padahal, pemda terkendala ketersediaan dana dan langgam birokrasi yang menyimpang. Belum lagi kewenangan yang saling tumpang tindih dengan pemerintah pusat, sesuatu yang sebetulnya bisa diatasi asal ego sektoral atau pribadi dihilangkan.
Pemerintah DKI, misalnya, sudah membuat berbagai riset me­ngenai transportasi, namun realisasinya jauh panggang dari api. Realisasi jaringan TransJakarta tersendat-sendat, sementara monorel mungkin hanya akan tinggal tiang-tiangnya saja. Yang dilakukan malah membuat jalan layang atau bebas hambatan yang memberi manfaat bagi pihak tertentu, tetapi mendorong masyarakat mem­beli mobil. Akhirnya, ini tak memecahkan masalah, sebab kemacetan terjadi di mana-mana dan tingkat pengotoran udara meningkat.
Pemerintah pusat juga harus bertanggung jawab dengan kelancaran dan kenyamanan transportasi, sebab PT KA, misalnya, merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Kementerian BUMN. Tambahan lagi, perusahaan ini mempunyai fungsi strategis, di mana setiap keputusan berdampak sosial-politis terhadap Jakarta sebagai barometer nasional.
Pemerintah pusat, dalam hal ini departemen teknis, pernah mendatangkan beberapa set rangkaian kereta bekas dari Jepang dan lokomotif penarik rangkaian dari Amerika Serikat. Namun, ternyata itu tidak mencukupi.
Ketersediaan dana masih merupakan persoalan yang kronis dan tak pernah terpecahkan dalam penambahan rangkaian kereta api. Seolah tak pernah ada kreativitas dalam menemukan model-model   pembiayaan  yang tepat. Padahal, hal itu bisa dilakukan asal terdapat disiplin dalam pengelolaan keuangan. Bukankah negara lain juga biasa melakukannya?
PT KA tampaknya masih jauh dari mampu untuk menyediakan armada kereta api sesuai kebutuhan konsumen baik, di masa sekarang maupun mendatang. Hal itu disebabkan masih banyaknya kendala-kendala yang beum terpecahkan.
Kita menilai dalam situasi ini, PT KA sebaiknya menggalakkan bu­da­ya melayani hingga, walaupun terdapat terbatasan, kenyamanan dan kelancaran perjalanan KA terjamin. Setidaknya penumpang tak perlu lagi dibungkam dengan alasan yang sama: wesel rusak, sinyal ter­­ganggu, atau kabel listrik putus karena  ditimpa pohon tumbang.

Opini Sinar Harapan 20 desember 2010