19 Desember 2010

» Home » Opini » Republika » PR untuk Busyro

PR untuk Busyro

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan lembaga penegak hukum yang mendapatkan dukungan publik yang sangat besar. Bukan hanya dukungan, publik juga meletakkan harapan yang besar kepada KPK. Hal ini tidak lain karena kegigihan KPK dalam memberantas korupsi. Salah satunya dengan melakukan proses hukum orang-orang yang dianggap sebagai "musuh bersama masyarakat", yaitu koruptor, mulai dari anggota DPR, anggota DPRD, wali kota, bupati, juga gubernur hingga mantan menteri. Semua kasus yang diproses dan diadili pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) divonis bersalah. Tidak pernah sejak pendirian Republik ini ada institusi yang telah berhasil melakukan kerja sedemikian rupa seperti yang telah dilakukan KPK. Namun, apakah penilaian  ini menjadi satu-satunya indikator keberhasilan kerja KPK? Mengapa selama hampir delapan tahun kiprah KPK, justru semakin banyak orang yang maju ke meja hijau mendapat stempel sebagai koruptor? Mengapa Indeks Persepsi Korupsi kita hanya mencapai 2,8 poin, menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari 178 negara?

Trigger mechanism

Pendirian KPK tidak lain karena institusi penegak hukum yang lain, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tidak mendapatkan kepercayaan dan legitimasi yang kuat  dalam menangani kasus korupsi. Kedua institusi ini juga masih dihadapkan pada problem internal, mewujudkan kelembagaan yang bersih. Sebagai jalan keluar, dibentuklah KPK ini, yang memiliki mandat yang sangat besar. Sebagaimana Prof Romli Atmasamita pernah berujar, tidak ada satu pun penegak hukum di dunia, yang memiliki kewenangan sebesar KPK: sebagai penyelidik, penyidik, ataupun penuntut umum sekaligus.

Perlu dicatat, pendirian KPK ini merupakan a temprorary way out, jalan keluar sementara. Sejatinya, KPK bukan menjadi bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia. KPK didesain untuk tidak menggantikan peran kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum. Sehingga keberadaannya bersifat temporal. Untuk itu, keberadaannya juga harus memperkuat keberadaan institusi lain, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Dalam konteks inilah, terdapat tunggakan pekerjaan terhadap fungsi KPK yang lain, yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap penegak hukum yang lain sebagai yang belum kunjung dikerjakan dengan baik oleh KPK periode lalu dan yang sekarang. Tunggakan pekerjaan yang lain, menurut saya, adalah meredefinisikan fungsi KPK dalam mencegah terjadinya korupsi.

Bentuk mandat yang besar KPK bukan hanya terimplementasikan dalam fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sekaligus, namun juga fungsi  koordinasi dan supervisi dalam konteks pemberantasan korupsi terhadap penegak hukum yang lain, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Realisasi fungsi ini tidak secara mudah dicerna dan dipahami-untuk tidak dibilang tidak ada--oleh publik dan bahkan oleh DPR RI (yang menjadi satu-satunya lembaga pengawas eksternal lembaga ini). Pada saat ini, yang dicerna dan dipahami oleh publik, adalah hubungan yang kurang harmonis antara KPK dengan kepolisian dan kejaksaan. Hal ini terefleksi dalam kasus Masaro yang menyeret Pimpinan KPK Bibit-Chandra sebagai tersangka. Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian karena disangka menerima suap melakukan pemerasan terhadap direktur PT  Masaro. Langkah kepolisian ini diartikan sebagian LSM sebagai bentuk krimininalisasi terhadap KPK sehingga menambah daftar permusuhan publik kepada kepolisian dan kejaksaan. Contoh lain adalah kesungkanan KPK  untuk mengambil alih kasus Gayus, walaupun ini menjadi kewenangannya.

Komisi III DPR RI telah berhasil memilih Ketua KPK baru, Buysro Muqoddas. Keberadaan Buysro Muqoddas melengkapi jumlah pimpinan KPK menjadi lima orang, sebagaimana amanat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Walaupun kepemimpinan KPK bersifat kolektif dan kolegial, keberadaan ketua KPK semestinya dapat menjadi penggerak perubahan institusi ini.

Untuk itu, sebagaimana uraian sebelumnya, PR besar Ketua KPK baru, Busyro Muqqodas adalah mengoptimalisasi fungsi koordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum lain. Selama ini KPK terkesan arogan sebagai single fighter, menempatkan dirinya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. Padahal, sekali lagi, lembaga ini didesain sebagai lembaga sementara. KPK bagaimanapun harus memahami psikologi kedua lembaga penegak hukum lain yang sudah malang melintang puluhan tahun lamanya. Selain itu, KPK juga mesti menyadari keterbatasan yang dimiliki oleh lembaga lain, seperti dana penanganan kasus yang jauh lebih kecil dari KPK. Jawaban dari masalah ini tidak cukup dengan dibuatnya MoU antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan dalam fungsi koordinasi, namun lebih dari itu mengatasi psycological barrier, hambatan psikologi KPK dengan kepolisian dan kejaksaan. Mudah terbaca, walaupun menjadi kewenangannya, keengganan atau kesungkanan KPK mengambil alih kasus Gayus karena faktor ini.

PR Busyro lain adalah meredefinisikan kembali fungsi preventif KPK. Banyaknya koruptor yang masuk ke bui, ternyata tidak serta-merta menjadikan yang lain jera. Sehingga, penghukuman tidak menimbulkan efek jera. Untuk itu, upaya pencegahan menjadi sesuatu yang penting. Saat ini, KPK terkesan hanya melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang korupsi dan mewajibkan calon pejabat negara atau daerah menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) tanpa melakukan verifikasi atas kebenaran data yang disampaikan. Memang betul, butuh dana, sumber daya manusia, dan waktu yang tidak sedikit untuk melakukan hal ini. Namun, perlu terobosan dari pimpinan KPK, khususnya ketua KPK yang terpilih untuk menggagas ini. Untuk itu, KPK harus memformulasikan kembali fungsi preventif lembaga ini, termasuk juga pengawasan terhadap lembaga pemerintahan, legislatif dan yudikatif.

Satu tahun bukanlah waktu yang lama, namun juga bukan waktu yang sedikit untuk membuat perubahan yang berarti.

Selamat bekerja bagi ketua KPK yang akan dilantik pada Senin. Semoga KPK lebih baik lagi dengan kepemimpinan Buysro Muqoddas. Semoga.

Opini Republika Online