Kasus Gayus tidak ubahnya dengan kasus Urip Tri Gunawan-Arthalyta, tidak  ubahnya dengan kasus Anggodo. Kasus ini juga tidak ubahnya dengan kasus  cek pelawat yang melibatkan anggota DPR RI, tidak ubahnya dengan kasus  lain yang tersangkut tindak pidana korupsi.
Dalam UU Antikorupsi  di Indonesia, unik dan berbeda dengan UU yang sama di negara lain,  korupsi diartikan secara luas, termasuk tindak pidana suap dan delik  jabatan lainnya yang diatur dalam KUHP, ditambah dengan gratifikasi. Di  negara lain tidak dikenal tindak pidana korupsi, melainkan tindak pidana  suap.
Bahkan, dalam praktik, hampir seluruh tindak pidana yang  berkaitan dengan keuangan negara didakwa dengan UU Antikorupsi No 31  Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001. UU itu mencakup  tindak pidana di bidang perpajakan, perbankan, dan bahkan semua  ketentuan pidana di UU Sektoral jika dilanggar termasuk tindak pidana  korupsi.
Gratifikasi dan Suap
Gayus merupakan seorang PNS  Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Dalam UU No 28 Tahun 2007  tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang  Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan secara khusus ditentukan, “Jika dari  bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi pegawai  Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut  ketentuan hukum tindak pidana korupsi (Pasal 43 A ayat 3).” Kasus Gayus  dari kacamata UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 jelas termasuk  tindak pidana suap dalam lingkup UU tersebut.
Uang suap itu  diterima Gayus ketika berada dalam posisi sebagai fiscus (petugas pajak)  sehingga berlaku ketentuan Pasal 43 A. Otomatis terhadap yang  bersangkutan diberlakukan Pasal 5 ayat (2) ) UU No 20 Tahun 2001, yaitu  ketentuan mengenai suap pasif (passive bribery) dengan “ancaman pidana  paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau  pidana denda paling sedikit Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan  paling banyak Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)”.
Atau  dapat diberlakukan ketentuan Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001, yaitu  ketentuan mengenai gratifikasi. Namun batas waktu 30 hari (sesuai Pasal  17 UU No 30 Tahun 2002) untuk melaporkan kepada KPK tidak dilakukan oleh  Gayus sehingga kepadanya otomatis berlaku ketentuan pidana dalam Pasal  12 B ayat (2), yaitu ancaman “pidana penjara seumur hidup atau pidana  penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)  tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000 (duaratus juta  rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”. Jika  dilihat dari ancaman pidana maka pemberlakuan ketentuan gratifikasi  lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana suap. Namun tampaknya hal  tersebut tidak diperhatikan kalangan masyarakat luas.
Ganjil
Masalah  pembuktian kasus suap tidak mudah kecuali dalam keadaan tertangkap  tangan sebagaimana sering dilakukan KPK. Sekalipun Gayus mengakui dan  menyebut nama-nama pemberi suap hanya tiga perusahaan nasional,  perusahaan asing lainnya yang juga terlibat dalam penyuapan tersebut  tidak diungkap oleh Gayus dan luput dari pemberitaan pers nasional. Jika  kita mau mengekspos perusahaan asing itu sesungguhnya gaungnya secara  internasional sangat signifikan untuk menunjukkan kesungguhan pemerintah  cc penegak hukum di Indonesia.
Mengapa? Hal ini disebabkan  perusahaan asing tersebut tunduk terhadap hukum negaranya yang juga  mengharamkan perbuatan suap terhadap pejabat publik nasional atau  pejabat publik asing. Peraturan ini sejalan dengan ketentuan Konvensi  PBB Antikorupsi 2003 tentang “bribery of national public officials”  (Pasal 15) dan “bribery of foreign public officials” (Pasal 16), baik  suap aktif maupun pasif. Menurut informasi, perusahaan asing tersebut  termasuk multinational corporation yang besar dan ternama di dalam  aktivitas bisnis internasional.
Menjadi pertanyaan, mengapa Gayus  hanya mau membuka mulut untuk perbuatan suap perusahaan nasional saja?  Hasil pemeriksaan Bareskrim Polri sudah tentu mencatat semua perusahaan  yang terlibat dalam kasus suap Gayus. Keganjilan berikutnya adalah PPATK  seketika mengetahui keterlibatan Gayus dalam kasus perpajakan dan  notabene adalah kasus korupsi seharusnya melakukan langkah hukum  proaktif berkerja sama dengan Bareskrim Polri menelusuri dan memblokir  akun Gayus di beberapa rekening bank nasional.
Bahkan PPATK telah  memiliki kewenangan besar dalam penelusuran akun tersangka sekaligus  menelisik aliran uangnya (follow the money). Pemblokiran yang tidak  dilakukan secara total terhadap akun Gayus, termasuk kartu kredit Gayus  dan istrinya, mengakibatkan terjadinya peristiwa keluar rutan dan  jalan-jalan ke Bali. Jika semua langkah hukum dilakukan oleh lembaga  penegak hukum yang ada termasuk PPATK sesuai dengan ketentuan UU yang  telah diberlakukan sejak lama berkaitan dengan suap, gratifikasi  (korupsi) dan pencucian uang maka perkara Gayus tidak menjadi misterius  seperti kejadian sekarang ini.
KPK dalam kasus Gayus juga  memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi. Jika koordinasi proaktif  telah dilakukan KPK kepada Polri sejak awal, juga dilakukan supervisi  (Pasal 6 huruf a dan b; Pasal 7, Pasal 8 UU KPK) mengingat perkara Gayus  bukan perkara kecil, maka proses pengambilalihan kasus Gayus oleh KPK  tidak akan tersendat (Pasal 9 UU KPK).
Semua langkah hukum telah  ada protapnya di dalam UU KPK yang telah berlaku sejak Tahun 2002 dan  telah disosialisasikan ke seluruh instansi termasuk instansi penegak  hukum. Iklim penegakan hukum saat ini, sekalipun dalam keadaan “babak  belur”, KPK tetap masih merupakan tumpuan penuntasan kasus korupsi  sesulit apa pun karena memiliki kewenangan luar biasa dan masih bersikap  independen dibandingkan dengan dua lembaga penegak hukum lainnya.  Singkatnya, sesungguhnya tidak ada yang sulit untuk mengungkap tuntas  kasus tindak pidana apapun termasuk korupsi jika dilakukan dengan  kesungguhan, amanah, jujur, penuh integritas, dan “zero kepentingan”,  termasuk masyarakat penonton di luar arena.(*)
Romli Atmasasmita
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
Opini Okezone 20 Desember 2010 
19 Desember 2010
Sulitnya Kasus Gayus
Thank You!