17 Februari 2011

» Home » Opini » Sinar Harapan » Spirit Perdamaian Maulid Nabi

Spirit Perdamaian Maulid Nabi

Tanggal 12 Rabiul Awal merupakan hari bersejarah bagi umat Islam di seluruh dunia, karena pada saat itulah Nabi Muhammad SAW dilahirkan ke dunia ini.
Hari kelahiran Beliau sangat istimewa bagi umat Islam, sehingga setiap tanggal kelahirannya diperingati sebagai hari Maulid Nabi. Maulid sejatinya merupakan upaya mengingat kembali pesan historis dari misi perjuangan Rasulullah yang dikenal ramah, santun, dan selalu menjunjung tinggi arti sebuah perdamaian dalam setiap syiar agama-Nya.
Dalam konteks kekinian, Maulid setidaknya sangat tepat untuk dijadikan media reaktualisasi penyadaran bagi seluruh umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan membedah kembali literatur perjuang­an dakwah rasulullah. Di mana Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam tidak pernah melakukan pemaksaan, apalagi menggunakan kekerasan.
Rasulullah berdakwah dengan lebih mengutamakan sisi humanisme dan jauh dari radikalisme. Islam disampaikan oleh Rasulullah lewat perdamaian dan pendekatan secara individu lewat hati ke hati. Dengan begitu, perlahan namun pasti ajaran Islam dapat diterima masyarakat setempat dan terus bertambah pengikutnya.
Strategi dakwah tersebut merupakan kunci nyata keberhasilan Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam di bumi ini. Islam dengan mudah mendapatkan tempat serta diterima oleh banyak kalangan karena mampu ditransformasikan lewat kedamaian dan kasih sayang. Dengan begitu, pelbagai elemen masyarakat secara cepat dan pesat bisa menerima keberadaannya. Kesuksesan tesebut juga tergambar pada awal masuknya Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Islam yang dibawa oleh Wali Songo dengan corak kedamaian dan disesuaikan dengan tradisi masyarakat setempat dapat berjalan dengan mudah dan lancar.
Wali Songo menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa dengan ramah dan santun. Langkah tersebut menjadikan ajaran Islam mendapat posisi strategis di mata masyarakat dan pada akhirnya menyebar secara luas di bumi Nusantara ini. Namun, belakangan ini mucul dakwah Islam yang tidak sejalan dengan ajaran Islam itu sendiri. Di mana instrumen dakwah yang digunakan sangat berbeda jauh dengan dakwah yang telah diajarkan oleh Rasulullah maupun Wali Songo. Fenomena dakwah yang muncul di masyarakat  sekarang lebih berbentuk pemaksaan dan intimidasi.
Gerakan-gerakan yang mengatasnamakan diri sebagai pembela agama Islam justru tampil memberi penodaan terhadap agama itu sendiri. Lebih tepatnya mereka mendustai agama dengan tindakan radikal dan bentuk kekerasan yang mereka sajikan kepada publik. Kita tentu masih ingat pada peristiwa kekerasan yang menimpa saudara kita di Cikeusik, yang menyebabkan hilangnya tiga nyawa. Juga pembakaran tiga gereja di Temanggung, Jawa Tengah, beberapa hari yang lalu. Sangat miris sekali, hanya untuk menegakkan ajaran agama, mereka tega menghilangkan tiga nyawa saudaranya dan meruasak tempat ibadah orang lain.
Mestinya mereka sadar bahwa hal itu sudah di luar ajaran agama. Ini karena tindakan tersebut sudah tidak berbanding lurus dengan ajaran Rasulullah yang selalu mengajak orang ke jalan kebaikan. Perilaku demikian justru telah menodai citra agama itu sendiri, khususnya agama Islam sabagai “rahmatan lil ‘alamin”, yakni agama yang selalu menjuntung tinggi persaudaraan dan kedamaian. Islam tidak pernah mengajarkan jalan kekerasan dan upaya penindasan terhadap sesamanya. Yang ada hanyalah ajaran yang menuntun umatnya bersikap santun dan rukun terhadap sesamanya. Jadi, sa­ngat ironis sekali jika ada sebuah gerakan yang mang­atasnamakan dirinya sebagai pembela agama yang justru menindas saudaranya.
Tindakan demikian kiranya wajib hukumnya untuk segera diakhiri. Ini karena di samping telah berlawanan dengan ajaran Islam, juga telah mencoreng kemurnian esensi ajaran Islam itu sendiri yang mengajak menuju jalan kebenaran. Intinya, praktik kekerasan maupun radikalisme, apa pun namanya, tidak bisa dibenarkan dan harus dicegah. Jika tidak, kekerasan atas nama agama akan terus berlanjut dan berkembang menjadi tradisi masyarakat tertentu sebagai pelampiasan sentimen atas ibadah umat yang lain. Faktor inilah yang sering membuat manusia tak kenal saudara, sehingga cenderung berbuat aniaya terhadap sesamanya.
Kecenderungan pola pikir sempit itulah yang sering membuat manusia buta. Di sisi lain, egoisme bermotif kepentingan mengejar pemuasan hidup di dunia juga menjadi pendorong timbulnya karakter ambigu manusia, sehingga orientasi mengejar kehidupan dunia selalu dikedepankan ketimbang memperoleh kehidupan yang abadi (akhirat). Orientasi kehidupan itulah yang membuat manusia menjadi serakah dan kejam terahadap lingkung­an dan sesamanya. Pada puncaknya, ini akan melahirkan perpecahan antarsaudara dan menghilangkan kerukunan antarumat muslim. Hal ini harus kita cegah bersama mulai detik ini.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi persaudaraan dan perdamaian dituntut mampu menegakkan spirit perdamaian, kerukunan, dan tolerannsi yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Untuk itu, momentum peringatan Maulid Nabi kali ini perlu dijadikan sebagai sarana menegakkan kembali spirit perdamaian yang telah dicontohkan Rasulullah. Maulid setidaknya dapat menggugah hati kita untuk lebih berbuat positif lagi guna menjadikan bangsa ini penuh dengan kedamaian dan ketentraman.
OLEH: IKSAN BASOEKY
Penulis adalah peneliti di Center for Religion and Culture Studies (CRCS), Yogyakarta.
Opini Sinar harapan 16 Februari 2011