06 Januari 2011

» Home » Opini » Sinar Harapan » Siapa Penanggung Jawab Inflasi?

Siapa Penanggung Jawab Inflasi?

Suasana kegembiraan tahun baru 2011 dipe­cah oleh pengumuman Biro Pusat Statistik (BPS) tentang angka inflasi 6,96 persen.
Angka ini jauh di bawah target inflasi 5,3 persen tahun 2010 seperti disepakati pemerintah dan DPR serta didukung Bank Indonesia (BI).
BI menyatakan 5,3 persen masih dalam range kemampuan kebijakannya yaitu 5 persen plus minus 1 persen, di mana inflasi inti (core inflation) 4 persen plus minus 1 persen. Kesepakatan itu ke­mudian tertuang dalam UU APBNP 2010 yang disahkan Sidang Pari­purna DPR tanggal 3 Mei 2010.
Pelaksana UU adalah pe­merintah karena itu perlu ada penjelasan lebih rasional tentang kinerja khususnya terkait dengan sisi supply komoditas perekonomian sebagai pe­nyumbang inflasi. Misalnya, mengapa kenaikan harga-har­ga komoditas itu terjadi tanpa kendali kekuasaan pemerintah?  Mengapa kebijakan dan anggaran yang dimiliki peme­rintah tidak dija­lankan secara maksimal agar target inflasi yang telah ditetapkan oleh UU APBN/P dapat dicapai?
Selain pemerintah, BI sebagai lembaga negara yang independen juga atau bahkan seharusnya paling bertanggung jawab soal inflasi. Bunyi Pasal 7 Ayat 1 UU No 3/2004 tentang BI sangat tegas yaitu tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Pada penjelasan ayat ini ditegaskan ukuran kestabilan nilai rupiah adalah inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Pada Ayat 2 UU No 3/2004 ditegaskan bahwa untuk mencapai tujuan itu, BI melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Pada Pasal 21 UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, pemerintah pusat dan bank sentral (BI) diperintahkan untuk berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Bila tujuan stabilisasi nilai ru­piah dan/atau koordinasi gagal, yang menyebabkan angka inflasi meloncat ke wilayah tidak terkendali, siapa yang layak dimintakan pertang­gung­jawabannya? Inilah titik masalah.

Sebab Inflasi dan Penanggung Jawab
Secara teori, inflasi disebabkan perubahan sisi permintaan (demand) dan/atau penawaran (supply), yang masing-masing turunannya ber­variasi. Di sisi permintaan ter­kait misalnya dengan kebijakan uang beredar (money supply), ketersediaan uang dalam setiap transaksi (availability of money), dan biaya suku bunga intermediasi (interest rate) yang semuanya merupakan tanggung jawab BI. Kebijakan BI dalam konteks ini disebut kebijakan moneter (monetary policy) yang berpengaruh pada kestabilan nilai rupiah, khususnya tingkat inflasi (inflation rate).
Walau tidak pernah tegas diatur, BI tampaknya cenderung menganggap hanya inflasi inti (core inflation) yang layak menjadi wilayah tanggung jawabnya. Inflasi inti adalah angka inflasi yang dihitung dengan mengeluarkan faktor-faktor volatile food prices seperti bahan makanan atau makanan dan energi. Jadi, agak aneh bila BI menjelaskan harga-harga bahan makanan seperti harga cabai merah di mana kenaikannya karena pedagang ambil untung besar. Apalagi kalau penjelasannya karena cuaca buruk, sesederhana itukah?
Jauh lebih bijak bila BI menjelaskan faktor-faktor in­flasi inti apakah sesuai  target  4 persen plus minus 1 persen. Walau angka 1 persen dapat berarti BI membiarkan harga-harga terdeviasi sampai 25 persen, yang menunjukkan kelemahan sisi perencanaan kebijakan moneter, khususnya dalam konteks inflation targeting framework.
Di sisi penawaran, aspek produksi dan distribusi barang serta jasa adalah tanggung jawab pemerintah. Dari inflasi umum 6,96 persen seperti laporan BPS, 50 persen disebabkan kenaikan harga bahan makan­an dan kemudian diikuti ma­kanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (18 persen), perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar (15 persen), sandang (7 persen), transportasi, komunikasi dan jasa keuangan (7 persen), pendidikan, rekreasi dan olahraga (3 persen) dan kesehatan (1 persen). Bila bahan makanan dan makanan jadi dikeluarkan dalam perhitungan inflasi, angka inflasi tahun 2010 hanya sekitar 2,23 persen.
Cabai merah yang diusul­kan seorang pejabat pemerintah agar dihilangkan dari perhitungan inflasi hanya me­nyumbang 9 persen dari total kenaikan harga-harga bahan makanan atau 4,5 persen dari total angka inflasi 2010. Justru kenaikan harga beras perlu menjadi perhatian karena menyumbang 37 persen atas inflasi harga bahan makanan.

Apa yang Harus Dilakukan?
Internal Komisi XI DPR sepakat agar masalah inflasi ini serius ditangani Kemenkeu dan BI, yang menjadi mitra kerja komisi ini. Tetapi bila ditelusuri lebih jauh, apalagi bila dilihat barang dan jasa penyumbang inflasi seperti beras, cabai merah, bawang merah, ma­kanan jadi, listrik dan seterusnya ternyata melibatkan ba­nyak otoritas negara selain Ke­menkeu dan BI seperti Bulog, Kementerian Pertanian, Perda­gangan dan banyak lagi.
Paling tidak otoritas pe­merintahan di bidang pere­ko­nomian harus serius dan mam­pu menyelesaikan masalah ini. Bila keadaannya terus dibiarkan, pola inflasi seperti ini akan terus terjadi dan mengendus kecenderungan perbaikan dalam pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat.
Kita mengetahui bahwa kelompok masyarakat paling menderita bila inflasi tinggi adalah rakyat miskin dan berpendapatan tetap.
Apalagi, kelompok berpendapatan rendah ini sebagian besar porsi pendapatannya justru digunakan untuk belanja bahan makanan, yang tahun ini tingkat inflasinya 15,64 persen yang artinya daya beli pendapatannya tergerus sebesar itu.
Itulah sebabnya, beberapa ekonom sering menyebut in­flasi seperti “perampok” uang rakyat. Tidak ada pilihan lain, pemerintah harus mampu me­nangkap jenis “perampok” ini dengan mengendalikan harga-harga demi melindungi kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan yang lebih tegas dan terukur, terutama terhadap sumber-sumber penyebab in­flasi.
Itulah tugas pemerintah tertuang dalam Pembukaan UUD Tahun 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, termasuk terhadap inflasi!

OLEH: HARRY AZHAR AZIS
Penulis adalah Wakil Ketua Komisi XI (Keuangan Negara) DPR.
Opini Sinar harapan 6 Januari 2011