19 Desember 2010

» Home » Opini » Solo Pos » Surakarta sudah istimewa…

Surakarta sudah istimewa…

Loh panjenengan tidak ikut nyengkuyung pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Surakarta ta Denmas Suloyo?” tanya Mas Warto negoro Sabtu malam Minggu lalu saat jangongan di hik berlabel News Café kampung kami.

“Ah… kula tak mboten melu-melu mawon. Nanti saya dikira ngiri... dikira latah. Lagi pula kalau menjadi daerah istimewa derajat saya juga belum tentu naik. Paling ya tetep seperti ini Mas... nggakngaruh. Yang penting sekarang iniayem tentrem kahanane wae,” jawab Denmas Suloyo kalem. Rupanya ontran-ontran soal pemilihan atau penetapan gubernur/wakil gubernur DIY, masih menjadi topik perbincangan hangat di kampung kami. Namun diskusi semakin gayeng kare nama salah itu ternyata kini “disu-supi” pembangkitan isu lama tentang pembentukan Daerah Istimewa Surakarta (DIS).”Lha ya ta Denmas, Solo ini kansudah ayem tentrem kok ada yang usul aneh-aneh. DIY tadinya juga ayem tentrem, malah disebut-sebut sebagai monarki dalam negara demokrasi... jadinya ya kisruh gitu itu ta,” timpal Mas Wartonegoro.” Makanya, saya tak milih meneng wae. Solo ini kurang istimewa gimana? Soal kemajuan? Tidak kalah dengan daerah lain. Wilayah kita ini kan juga dikenal sebagai kota wisata, kota budaya, kota batik... malah rajanya saja ada dua. Surakarta sudah sangat istimewa to,” kata Denmas Suloyo sambil mesam-mesem. Isu soal usulan pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Surakarta kembali mengundang pro dan kontra. Yang pro mungkin banyak, namun yang kontra puntak kalah banyak. Bagi kalangan pro DIS misalnya, menyebut peta politik apapun alasannya, bisa berubah. Jika dulu ada politik anti swapraja di Surakarta, maka sikap itu sesungguhnya telah hilang dengan para politisi dan organisasi pembawa aspirasi itu. Akan tetapi, bagi mereka, sejarah tidak akan berubah bahkan tidak akan bisa hilang dari ingatan. Sejarah mencatat, kata mereka yang pro, bahwa NKRI telah menganugerahkan Status Daerah Istimewa Surakarta kepada bekas Nagari Surakarta Hadiningrat, nyatanya hingga saat ini warga Surakarta belum pernah merasakan keistimewaan Surakarta itu sendiri. ”Oleh sebab itu, tentu tidak ada salahnya dan tidak ada kelirunya kalau warga bekas Nagari Surakarta Hadiningrat ini meminta sejarah NKRI dikembalikan dengan menganugerahkan lagi status daerah istimewa, seperti halnya saudara muda kita Daerah Istimewa Yogyakarta yang sama-sama lahir dari Kerajaan Mataram.” Begitu alasan mereka yang pro pembentukan DIS. Namun bagi yang kontra pembentukan DIS itu justru berpotensi mengeruhkan suasana wilayah Surakarta yang sudah kondusif. Sudah adhem ayem. Kelompokanti DIS ini bahkan menyebut isu itu sudah tidak aktual dilihat dari perspektif sejarahnya, itu hanya memanfaatkan momentum kontroversi status istimewa DIY yang sekarang sedang menghangat.” Sudahlah... rasah melu payu. Yang penting, marilah kita bersama-sama memajukan wilayah kita. Meningkatkan kerja sama antar wilayah di Soloraya ini agar masyarakatnya tambah bahagia, sejahtera, adil dan makmur. Wis ta pokokmen Solo ini sudah istimewa tanpa harus diberi label istimewa... tidak usah pake telur juga sudah istimewa,” kata Diajeng Rara Retno yang ikut nimbrung jagongan di kafe kelas kampung kami.” Betul diajeng... temen-temen saya di twitter juga pada gak setuju dengan DIS. Malah ada yang sinis bilang; mau membentuk provinsi untuk memberi makan keluarga kerajaan po? Sok yakin masih dicintai rakyat ah...” kata Mas Wartonegoro.Sulit diwujudkan” Itu terlalu melampaui batas harapan. Pokoknya NKRI harga mati... selama Retjo Gladag masih pegang penthungan, Solo masih istimewa. Sepanjang Jalan Slamet Riyadi masih ada rel kereta apinya, Solo tetap istimewa...” kata Diajeng Rara Retno sambil tertawa ngikik. Begitulah. Diskusi rakyat kelas bawah di kampung kami kemarin sungguh menyenangkan. Tidak ada beban, tidak ada pretensi, tidak ada keinginan apa-pun di balik unek-unek yang mereka sampaikan. Semuanya muncul dari lubuk hati yang paling dalam. Terlebih lagi dari sisi akademis maupun sistem adminitrasi kenegaraan kita, usaha untuk menjadikan Soloraya menjadi DIS itu tidak pasti gampang. Seperti dikemukakan analis po-litik dari UGM, Ari Dwipayana, misalnya. Dia berpendapat upaya membentuk Daerah Istimewa Surakarta sangat sulit. Ada beberapa faktor penyebabnya, antara lain sejarah dan sosiologi politik yang berbeda dengan Daerah Istimewa Yogyakarta.“ Kalau melihat ke sejarah awalnya, sebenarnya ada empat kerajaan yang mendapat piagam kedudukan keistimewaan yaitu Kesultanan Deli, Kesultanan Bone, Keraton Surakarta dan Keraton Jogja. Tetapi dengan proses berjalannya waktu hanya Keraton Yogyakarta saja yang bertahan,“ kata dia kepada wartawan beberapa waktu lalu. Menurut Ari, adalah keberhasilan Sultan Hamengku BuwonoIX yang memimpin Keraton Jogja melakukan proses demokratisasi. Yogyakarta berhasil meleburkan tata kesultanan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rahasia Jogja bertahan itu karena proses sejarah dan sosiologi masyarakat yang berbeda dengan tiga bekas kesultanan lain. “Misal kita bandingkan antara Surakarta dan Jogja. Di Surakarta pernah terjadi pemberontakan antiswapraja. Waktu itu para pemangku jabatan di Keraton dibunuh oleh mereka yang antiswapraja. Padahal di Yogyakarta, proses demokratisasi Keraton berjalan dengan mulus,“ ujarnya. Dilihat dari kondisi sosiologis politik masyarakatnya masa kini, lebih spesifik mengenai tingkat penerimaan masyarakat terhadap keberadaan Keraton dengan label istimewa antara Surakarta dan Yogyakarta juga jelas sangat berbeda. Karena untuk mengajukan atau mungkin menagih kembali hak istimewa untuk dijadikan sebagai sebuah proses politik nasional, menurut Ari perlu dilihat juga mengenai siapa yang menginginkan dan mengusulkan. “Untuk menjadi proses politik nasional sepertinya untuk Daerah Istimewa Surakarta sulit. Karena yang mengajukan untuk menjadi daerah istimewa adalah berdasar konsensus daerah bukan konsensus entitas,” katanya. Dari sisi administrasi pemerintahan, Sekretaris Ditjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri RI Sonny Sumarsono pernah menyebutkan bahwa dari 205 wilayah di Indonesia yang telah dimekarkan, 80 persen hasilnya dinyatakan bermasalah. Kondisi ini yang mendorong pemerintah menangguhkan permohonan pemekaran atau pun pembentukan wilayah baru baik berupa wilayah kabupaten, kota maupun provinsi. Apalagi daerah istimewa… - Oleh : Mulyanto Utomo Wartawan SOLOPOS

Opini Solo Pos 20 Desember 2010