BEBERAPA abad silam Sokrates dijatuhi  hukuman mati. Seolah menjadi penerus, Giordano Bruno pun bernasib sama.  Mereka berdua berperan menjadi figur herois perkembangan filsafat berkat  keberanian merevolusi tataran pemikiran. Seperti ingin mengulang  revolusi tataran pemikiran itu, SBY pun berspekulasi. Lewat isu monarki  Yogya beberapa waktu lalu SBY mencoba ’’mengusik’’ masyarakat  Yogyakarta, dengan menganggap telah terjadi penyimpangan nilai-nilai  demokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang secara budaya  berbentuk kerajaan (monarki).
Langkah SBY kemudian dipertanyakan beberapa orang, mengapa baru sekarang  mempersoalkan keistimewaan DIY. Timbul beragam spekulasi, sampai-sampai  GBPH Prabukusumo (adik Sultan HB X) mengundurkan diri dari keanggotaan  Partai Demokrat. Prabukusumo menilai SBY mengkhianati sejarah. Memang,  masalah keistimewaan Yogya sering dikaitkan dengan masalah sejarah.  Amanat 5 September 1945 kemudian menjadi argumen dasar mengenai  keabsahan keistimewaan itu. 
Amanat tersebut dikeluarkan oleh Sultan HB IX dan Paku Alam VIII. 
Manusia tak pernah lepas dari sejarah. Lewat sejarah, kebudayaan manusia  pun terbentuk. Persoalan Yogya juga tak lepas dari integral sejarah,  bukan sejarah yang dipahami sebagai realitas mati. 
Menyitir pemikiran Ziauddin Sardar, sejarah merupakan serangkaian  peristiwa masa lampau, keseluruhan pengalaman manusia. Sejarah sebagai  suatu cara yang dengannya fakta diseleksi, diubah-ubah, dijabarkan, dan  dianalisis. Muncullah pengertian sejarah objektif dan sejarah subjektif.  
Keistimewaan Yogyakarta ltahun 1945 dapat dimaknai sebagai peristiwa  sejarah secara objektif. Hal tersebut kemudian dikuatkan dengan Amanat 5  September 1945. Menurut perspektif ini, jelas bahwa keistimewaan  Yogyakarta sah. Namun perlu dipahami, sejarah bukan melulu peristiwa  masa lampau. Sejarah merupakan realitas bergerak. Seperti dialektika  Hegel, bahwa sejarah terus bergerak dan membentuk sistem  tesis-antitesis-sintesis (Budi Hardiman, Filsafat Modern, 2004). 
Boleh jadi polemik isu keistimewaan Yogya tak terlepas dari dialektika  Hegel. Amanat 5 September 1945 adalah tesis, opini SBY sebagai  antitesis. Pertanyaannya, lalu di mana sintesisnya? Sintesis (pendapat  ketiga) dapat disimpulkan merupakan pendapat baru, bahkan bisa jadi  meniadakan kedua oposisi (tesis dan antitesis). 
Fakta Sejarah
Seturut tinjauan filsafat sejarah, ada dua hal yang harus dipahami,  yaitu data sejarah dan bukti sejarah. Dalam diskusi beberapa waktu lalu,  Dekan Fakultas Filsafat UGM, Mukhtasar Syamsuddin mengemukakan  perbedaan dua hal itu. 
Data sejarah merupakan catatan atas peristiwa sejarah, sedangkan fakta  sejarah merupakan kejadian; kebenaran suatu peristiwa. Ia juga  menambahkan, bahwa Amanat 5 September 1945 tergolong dalam data sejarah.  Jadi, fakta sejarah mengenai keistimewaan Yogyakarta lah yang harus  dicari.
Menurut Patrick Gardiner, bukti sejarah belum tentu menggambarkan fakta  sejarah. Hal ini yang kemudian sering menimbulkan salah pemahaman.  Pro-kontra terhadap keistimewaan Yogya hanya bertarung pada wilayah data  sejarah, bukan fakta sejarah. Idealnya, kedua belah pihak sama-sama  mencari fakta dari keistimewaan Yogyakarta tersebut. Fakta sejarah ini  dapat diperoleh ketika membaca bukti sejarah; mencari kebenaran. Tentu  pembacaan bukti sejarah mengundang interpretasi, maka dibutuhkan  pihak-pihak pelaku sejarah dalam pembacaan tersebut. Bisa jadi, fakta  sejarah ini kemudian memunculkan sintesis baru atas polemik Yogyakarta.
Persoalan karut-marut tentang polemik keistimewaan DIY sebenarnya muncul  karena pertarungan baru berputar-putar pada data sejarah tentang  keistimewaan. Fakta sejarahlah yang harus dicari (dengan kata lain harus  dicari bukti sejarah tentang keistimewaan), kalau memang pihak-pihak  yang berpolemik benar-benar ingin mencari titik temu, berupa sintesis. 
Mungkin bisa dipahami niatan SBY untuk menegakkan nilai demokrasi, tapi  ’’mengoreksi’’ sistem pemerintahan di Yogyakarta pasti berbuah protes.  Alih-alih menegakkan demokrasi, koreksi itu justru mengundang  permasalahan baru. 
Kini, pemerintah bahkan sedang membahas Rancangan Undang-Undang  Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta. Tanpa kita sadari, sudah berapa dana  yang dikucurkan untuk menegakkan nilai demokrasi. Demokrasi perlu  ditegakkan, namun demokrasi bukanlah tujuan bangsa ini. Kesejahteraan  rakyat jelas merupakan tujuan yang tertuang dalam UUD 1945. Hal inilah  yang perlu dikaji pemerintah. Jangan sampai, dengan berdalih demokrasi,  lalu uang rakyat habis sia-sia. (10)
— Banu Prasetyo, Ketua Lembaga Mahasiswa Filsafat UGM Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 20 Desember 2010
19 Desember 2010
RUUK Yogya: Antara Data dan Fakta
Thank You!