19 Desember 2010

» Home » Opini » Suara Merdeka » RUUK Yogya: Antara Data dan Fakta

RUUK Yogya: Antara Data dan Fakta

BEBERAPA abad silam Sokrates dijatuhi hukuman mati. Seolah menjadi penerus, Giordano Bruno pun bernasib sama. Mereka berdua berperan menjadi figur herois perkembangan filsafat berkat keberanian merevolusi tataran pemikiran. Seperti ingin mengulang revolusi tataran pemikiran itu, SBY pun berspekulasi. Lewat isu monarki Yogya beberapa waktu lalu SBY mencoba ’’mengusik’’ masyarakat Yogyakarta, dengan menganggap telah terjadi penyimpangan nilai-nilai demokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang secara budaya berbentuk kerajaan (monarki).
Langkah SBY kemudian dipertanyakan beberapa orang, mengapa baru sekarang mempersoalkan keistimewaan DIY. Timbul beragam spekulasi, sampai-sampai GBPH Prabukusumo (adik Sultan HB X) mengundurkan diri dari keanggotaan Partai Demokrat. Prabukusumo menilai SBY mengkhianati sejarah. Memang, masalah keistimewaan Yogya sering dikaitkan dengan masalah sejarah. Amanat 5 September 1945 kemudian menjadi argumen dasar mengenai keabsahan keistimewaan itu.

Amanat tersebut dikeluarkan oleh Sultan HB IX dan Paku Alam VIII.
Manusia tak pernah lepas dari sejarah. Lewat sejarah, kebudayaan manusia pun terbentuk. Persoalan Yogya juga tak lepas dari integral sejarah, bukan sejarah yang dipahami sebagai realitas mati.

Menyitir pemikiran Ziauddin Sardar, sejarah merupakan serangkaian peristiwa masa lampau, keseluruhan pengalaman manusia. Sejarah sebagai suatu cara yang dengannya fakta diseleksi, diubah-ubah, dijabarkan, dan dianalisis. Muncullah pengertian sejarah objektif dan sejarah subjektif.

Keistimewaan Yogyakarta ltahun 1945 dapat dimaknai sebagai peristiwa sejarah secara objektif. Hal tersebut kemudian dikuatkan dengan Amanat 5 September 1945. Menurut perspektif ini, jelas bahwa keistimewaan Yogyakarta sah. Namun perlu dipahami, sejarah bukan melulu peristiwa masa lampau. Sejarah merupakan realitas bergerak. Seperti dialektika Hegel, bahwa sejarah terus bergerak dan membentuk sistem tesis-antitesis-sintesis (Budi Hardiman, Filsafat Modern, 2004).

Boleh jadi polemik isu keistimewaan Yogya tak terlepas dari dialektika Hegel. Amanat 5 September 1945 adalah tesis, opini SBY sebagai antitesis. Pertanyaannya, lalu di mana sintesisnya? Sintesis (pendapat ketiga) dapat disimpulkan merupakan pendapat baru, bahkan bisa jadi meniadakan kedua oposisi (tesis dan antitesis).

Fakta Sejarah

Seturut tinjauan filsafat sejarah, ada dua hal yang harus dipahami, yaitu data sejarah dan bukti sejarah. Dalam diskusi beberapa waktu lalu, Dekan Fakultas Filsafat UGM, Mukhtasar Syamsuddin mengemukakan perbedaan dua hal itu.
Data sejarah merupakan catatan atas peristiwa sejarah, sedangkan fakta sejarah merupakan kejadian; kebenaran suatu peristiwa. Ia juga menambahkan, bahwa Amanat 5 September 1945 tergolong dalam data sejarah. Jadi, fakta sejarah mengenai keistimewaan Yogyakarta lah yang harus dicari.

Menurut Patrick Gardiner, bukti sejarah belum tentu menggambarkan fakta sejarah. Hal ini yang kemudian sering menimbulkan salah pemahaman. Pro-kontra terhadap keistimewaan Yogya hanya bertarung pada wilayah data sejarah, bukan fakta sejarah. Idealnya, kedua belah pihak sama-sama mencari fakta dari keistimewaan Yogyakarta tersebut. Fakta sejarah ini dapat diperoleh ketika membaca bukti sejarah; mencari kebenaran. Tentu pembacaan bukti sejarah mengundang interpretasi, maka dibutuhkan pihak-pihak pelaku sejarah dalam pembacaan tersebut. Bisa jadi, fakta sejarah ini kemudian memunculkan sintesis baru atas polemik Yogyakarta.

Persoalan karut-marut tentang polemik keistimewaan DIY sebenarnya muncul karena pertarungan baru berputar-putar pada data sejarah tentang keistimewaan. Fakta sejarahlah yang harus dicari (dengan kata lain harus dicari bukti sejarah tentang keistimewaan), kalau memang pihak-pihak yang berpolemik benar-benar ingin mencari titik temu, berupa sintesis.

Mungkin bisa dipahami niatan SBY untuk menegakkan nilai demokrasi, tapi ’’mengoreksi’’ sistem pemerintahan di Yogyakarta pasti berbuah protes. Alih-alih menegakkan demokrasi, koreksi itu justru mengundang permasalahan baru.
Kini, pemerintah bahkan sedang membahas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta. Tanpa kita sadari, sudah berapa dana yang dikucurkan untuk menegakkan nilai demokrasi. Demokrasi perlu ditegakkan, namun demokrasi bukanlah tujuan bangsa ini. Kesejahteraan rakyat jelas merupakan tujuan yang tertuang dalam UUD 1945. Hal inilah yang perlu dikaji pemerintah. Jangan sampai, dengan berdalih demokrasi, lalu uang rakyat habis sia-sia. (10)

— Banu Prasetyo, Ketua Lembaga Mahasiswa Filsafat UGM Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 20 Desember 2010