19 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Kinerja Polri, KPK dan Keraguan Pemberantasan Korupsi

Kinerja Polri, KPK dan Keraguan Pemberantasan Korupsi

Adanya upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih kasus Gayus Halomoan Tambunan, harus bisa segera diwujudkan.
Sejauh ini, gerakan perkara skandal Gayus sudah sampai pada tahap yang berpeluang memandulkan hukum, akibatnya bisa menggerogoti kepercayaan pada pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Seperti diberitakan berbagai media, bahwa KPK akan memanfaatkan celah dari kelemahan dakwaan Kepolisian Republik Indonesia kepada mafia pajak Gayus. Hal itu merupakan pernyataan Wakil Ketua KPK Haryono Umar sebagai reaksi atas keputusan kepolisian, yang hanya menetapkan pasal "hadiah" untuk menjerat Gayus.
Sebelumnya, kepolisian memilih menggunakan pasal 12 b UU No. 20 Tahun 2001. Pasal tersebut memberikan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun serta pidana denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Yang memunculkan kegelisahan publik dan pengamat hukum adalah penggunaan pasal hadiah ini, akan berpeluang membuat kasus Gayus menjadi sangat sederhana dan menghilangkan aktor-aktor besar lain yang mungkin terlibat.
Menurut Wakil Ketua KPK Haryono Umar, pasal dakwaan itu tidak mengatur ancaman pidana untuk pihak pemberi "hadiah". Artinya, sumber uang Rp 28 miliar di rekening Gayus dan Rp 74 miliar lain di kediamannya bakal tidak terungkap. Jika pun kemudian bisa dibuktikan, hukuman maksimum bagi pemberi hadiah adalah pidana tiga tahun penjara atau denda Rp 150 juta. Nalar dan logika awam akan sulit menerima kata "hadiah" bagi seorang pegawai negeri yang mencapai ratusan miliar rupiah ini.
Dan, hukum seperti akan menentang logika dan kewarasan jika pasal hadiah ini dipaksakan. Indonesian Corruption Watch menyatakan, kasus Gayus seharusnya dikenai pasal suap untuk bisa mengungkap lebih banyak. Gayus pasti tidak sendiri dan tidak mungkin ada yang memberi "hadiah" sebanyak itu secara cuma-cuma. Apalagi, secara hukum penuntasan kasus Gayus sangat ditunggu masyarakat. Gayus sudah begitu leluasa mengangkangi hukum, dalam arti sebenarnya. Ketika seharusnya berada dalam tahanan, ia berjalan-jalan ke Bali.
Presiden pun dalam pidatonya, secara eksplisit sudah mengamanatkan agar kasus seperti ini menjadi perhatian dan dilaksanakan proses penyelesaiannya. Pada titik inilah, KPK memang sudah selayaknya turut dalam proses penyelesaian kasus Gayus. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, memberikan legalitas bagi KPK untuk melakukan "koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi", serta "supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi." Lebih jauh lagi, pada pasal 8 ayat 2 UU itu juga memberi kewenangan yang tegas kepada "KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan".
Proses hukum kasus Gayus akan menjadi bukti serius, setidaknya pemerintah dan pemenuhan janji presiden kepada rakyatnya dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Penuntasan hukum kasus ini, menjadi taruhan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan negara itu sendiri. Mengutip pernyataan ilmuwan besar Albert Einstein, tidak ada yang lebih merusak kepercayaan kepada pemerintah dan hukum, daripada membuat hukum yang tidak bisa ditegakkan.
Sarat Berbagai Kepentingan
Kasus Gayus menjadi cerminan bahwa betapa kinerja Kepolisian amat sarat dengan berbagai kepentingan dan masih sulit untuk merubah watak lamanya. Namun demikian, semangat pemberantasan korupsi jangan sampai surut. KPK sebagai lembaga yang paling dipercaya harus mengambil peran. Bagaimanapun, sudah menjadi rahasia umum bahwa perbuatan korupsi di Tanah Air tercinta ini tak pernah habis. Apa yang telah dilakukan pemerintah, juga KPK, tidak membuat jera. Penyebabnya adalah tidak seriusnya pemerintah dengan program yang selalu digembar-gemborkan, memberantas korupsi. Pemberantasan berjalan tanpa arah, terseok-seok.
Dan vonis bagi koruptor yang ringan merupakan alasan lain kenapa pejabat, aparat, dan pengusaha tak takut. Pelaku korupsi (koruptor) di Indonesia tak ubahnya hantu. Dirasakan-ditandai dengan merindingnya bulu kuduk- tapi tak kelihatan. Sekali dua ada yang mengaku melihat hantu pocong di tengah kelam buta, bak kerja KPK menciduk satu-dua kepala daerah, tapi lebih banyak yang lenyap tak tahu arah. Di kepolisian, misalnya, beberapa kasus korupsi menyebut beberapa nama, tapi hanya satu-dua orang yang ditindak dan hanya satu dua pula yang terus diobok-obok, seperti halnya kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Lainnya berlalu bak angin.
Banyak contoh bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini hanya tebang pilih. Beberapa kasus menyebut beberapa nama anggota DPR yang terlibat kasus suap, kepala daerah bermasalah dengan keuangan daerah, tapi hanya satu-dua yang diproses dengan cepat, sementara lainnya masih "jemawa" bahkan mempersalahkan penegak hukum. Tak sedikit pula kasus-kasus besar yang tak kunjung terselesaikan, seperti skandal Bank Century, kasus cek pelawat terkait pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda yang juga melibatkan sederet anggota DPR, dugaan rekening gendut milik perwira tinggi Polri, serta kasus mafia pajak Gayus HP Tambunan yang jalan di tempat.
Korupsi di Indonesia sudah sangat parah, bagai benang kusut, terkait satu sama lain antara eksekutif, legislatif, yudikatif. Semua sektor rawan korupsi. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono secara khusus meminta KPK untuk melakukan pengawasan khusus terhadap Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki dividen besar. Indonesia sudah amat dikenal di seantero dunia sebagai salah satu negara terkorup di Asia Pasifik.
Korupsi bisa terjadi dalam perizinan, pembelian/pengadaan barang, pemalsuan dokumen, dan banyak modus lainnya. Titik rawan korupsi sudah jadi rahasia umum. Sementara di pihak lain pemberantasan korupsi masih condong untuk pencintraan, hanya tegas dan galak di progrram, tapi tak pernah tuntas (tak serius) dalam penanganan. Ke depan, jika memang negeri ini tak ingin tenggelam dalam kebangkrutan, pemimpin tertinggi yakni Presiden SBY harus memberi contoh dalam memberantas korupsi. Bersihkan institusi penegak hukum, perintahkan penegak hukum melaksanakan tugas mereka, tanpa pandang bulu.
Presiden tidak boleh takut menekan penegak hukum menjalankan tugas mereka, karena Kapolri dan Jaksa Agung adalah bawahannya langsung. Jangan jadikan kasus Gayus sebagai senjata melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Bangsa ini sudah terlalu lama sengsara karena perbuatan para koruptor. ***

Opini Analisa Daily