Melihat judul di atas, penulis hendak menggambarkan  sedikit  wacana pemikiran suatu tindakan yang sepertinya disebut sebagai  "korupsi." 
Dalam memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia yang  baru kita  lalui, terlihat melalui beberapa media elektronik, tersiar  bagaimana anak-anak  sekolah dasar diikutkan dalam beberapa acara anti  korupsi. Di mana muncul wacana  definisi kocak dan polos namun jujur dan  rasanya sebenarnya menyentuh hati  nurani (Pendekatan Universalitas  Hukum kalaulah boleh saya ajukan menjadi wacana  Publik), tentang apa  yang disebut sebagai KORUPSI. 
Sekelumat kata  yang dipilih oleh "bocah-bocah" kecil ini yang  mengartikan korupsi  sebagai pengambilan hak yang lebih jikalau disuruh membeli  barang,  dengan harga yang lebih dan sisanya diambil pribadi namun dilapor lebih.   (tertawa hati ini mendengar hal ini). Namun kembali lagi "Ini Jujur  dan  Benar"
Beberapa perkembangan keadaan yang  tampak dalam memperingati  anti korupsi di antaranya adalah  demonstrasi, friksi di sana sini, bahkan  mengarahkan diri pada konflik  bersitegang antara aparat dengan masyarakat yang  terkadang terlalu  berlebihan dalam mengekspresikan kegemasannya sehingga timbul   friksi-friksi bahkan bentrokan fisik.
Di sisi  lain menilik lebih jauh beberapa kegiatan Komisi  Pemberantasan Korupsi  (KPK) yang menggelar beberapa kegiatan dalam memperingati  hari yang  katanya simbolik namun notabene haruslah sebenarnya diartikan sebagai   momentum penguatan mental dan Universalitas Anti Korupsi, dengan cara  menggelar  "kampung atau mungkin saya melihatnya sebagai Desa Anti  Korupsi" di mana  terdapat beberapa informasi, stand, foto, poster dan  kegiatan anti korupsi yang  dikemas sangat apik dan sangat muda dicerna  publik sebagai bentuk edukasi Anti  Korupsi. Mungkin kalau ditanya lebih  jauh kepada kita, setuju tidak dengan hal  ini, rasanya jawabannya  "SETUJU" karena lebih banyak benarnya daripada  tidak.
Kembali  lagi pada persoalan dalam judul di atas, dalam satu  kesempatan  berdiskusi dengan teman di salah satu Media, tentang wacana bagaimana   sistem pemberantasan korupsi di Indonesia dan harus dimulai dari mana?
Rasanya  saya belum layak menjawab hal ini, namun jikalau boleh  saya ajukan  suatu wacana pemikiran akan hal ini secara pendekatan   Dogmatisme-Fragmatis berdasarkan asas Universalitas Hukum.
Begini,  asumsi dari pemikiran ini adalah bahwa "Korupsi itu  salah dan harus  diperangi untuk kepentingan publik yang lebih baik sebagai A  better  Country, Better Government and Better life. Dalam pemikiran ini kita   mencermati pemimpin-pemimpin Lembaga Negara secara government wise  sepakat untuk  membentuk lembaga anti korupsi. 
Kita  melihat hal itu di Indonesia di mana ada lembaga yang  sangat kredible  KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan lainya yang selalu "Says No to   Corruption". Bahkan lebih jauh lagi ada WASKAT sebagai lembaga  pengawasan  melekat di setiap instansi pemerintahan. Namun lagi-lagi  dilanggar dan  seolah-olah tidak ada habisnya korupsi terjadi (kita  dengar kabar terakhir  adalah prakteknya terjadi dalam pengadaan barang  dan jasa). Wacana ini dikatakan  sebagai kesalahan ‘oknum" bukan  kesalahan sistem kelembagaan.
Begini, kalau  melihat lebih jauh lagi. Sebagai seorang sarjana  saya berasumsi dan  mungkin benar sesuai hati nurani (Universalitas Hukum) pelaku  korupsi  (koruptor) tidak benar dan ini salah. Namun seolah ada "pembenaran"   masyarakat yang melihat pola korupsi ini secara pragmatisme saja  (sekilas/di  atas permukaan) bahwa setelah koruptor dihukum dan  menjalani hukuman maka akan  kembali ke masyarakat dan diterima. Apakah  benar? 
Begini, alasan korupsi jikalau boleh  saya asumsikan sebagai  alasan ekonomi yang terbesar. Setelah melakukan  korupsi ada keuntungan secara  material. Jikalau kita setuju ini benar.  Namun perlu disikapi. Dan sebenarnya  perlu dijujur-jujurkan secara hati  nurani. KERUGIANNYA BESAR. Kita akan untung  di saat melakukan korupsi  namun ujung-ujungnya sebenarnya RUGI. Layakkah untung  sementara ini  kita ambil? Dan jikalau hendak ditanya kembali ke anak-anak  Sekolah  Dasar itu apakah yang lebih baik untuk sementara dan setelah itu rugi   atau kita harus bersusah payah dahulu dan menikmati hasil kemudian hari.   Menjawab hal ini kita pasti bertanya setuju untuk menikmati untung  yang timbul  di akhir.
Hal ini telah kita  ketahui namun selalu kita tutup mata dan  tidak munafik mengambil  keuntungan singkat. Apakah benar Bangsa ini demikian?  Jawabnya secara  pendekatan Universalitas hukum berdasarkan asas ini jawabnya  TIDAK.  Bangsa ini adalah Bangsa yang BESAR, PUNYA Hati Nurani, Malu akan  Korupsi  dan Sederhana Namun Mau Maju". 
Di  dalam masyarakat adat, mengingat pendapat beberapa Profesor  di  antaranya Prof Rehngena Purba, Prof Runtung dan para guru bangsa lainnya   bahwa hidup, berkembang dan terus ada di dalam masyarakat kita adat  "Anti  Korupsi". Pranata hukum seperti dalihan Natolu dan sebagainya ada  dan merupakan  lembaga hukum yang hidup untuk memberikan solusi hukum. 
Pertanyaannya  apakah lembaga ini efektif mengalahkan yang  namanya KORUPSI. Bukankah  wacana koruptor dihukum Mati, koruptor Dimiskinkan  (Mahfud MD), dan  sebagainya dengan hal ekstrim ini lebih menakutkan sang maestro   koruptor itu? 
Kalaulah boleh saya memberi  ide, jawabannya TIDAK. Hal ekstrim  itu bukanlah merupakan suatu konsep  pencegahan korupsi yang paling efektif.  Menurut saya, berdasarkan asas  Universalitas Hukum (hati nurani dan nilai-nilai  kemanusian yang diakui  oleh bangsa-bangsa yang beradab) adalah Pendekatan   Grounded/dogmatis-pragmatis. Saya sepakat dengan pendapat Prof. M Solly  dan Prof  Herman Rajagukguk. 
Maksud  pendekatan ini begini, sistem kelembagaan anti korupsi  (Kepolisian,  Kejaksaan, KPK dsb) tidak terlepas dari seluruh sub sistem yang ada   (Instansi Waskat dll). Namun koordinasi yang diperlukan. Mungkin ini  juga  merupakan masukan bagi kementerian MENKOPOLHUKAM untuk  mengoordinir kegiatan  anti korupsi dalam kelembagaan yang lebih efektif  di bawah Presiden. 
Satgas Mafia hukum  sebagai sub-sistem pemberantasan anti  korupsi pernah memaparkan wacana  Tebang Matang (kasus hukum yang timbul  berkenaan dengan korupsi yang  impactnya besar akan diberantas), hal ini  merupakan konsep pragmatisme  hukum. Namun ini benar dan memang harus dilakukan  oleh Satgas. 
Saya  setuju dengan pola ini. KPK mamaparkan program edukasi ke  masyarakat  sejak usia dini dikenalkan bahwa korupsi itu perbuatan salah dan   melanggar hukum. Inilah momentum itu. "Gerbong" anti korupsi telah  dimulai, dan  kereta atau mesin pemberantasan ini akan tetap jalan.  Inilah Optimisme  Pemberantasan Korupsi. Walaupun di sana-sini ada  korupsi yang terjadi namun  gerbong pemberantasan korupsi telah jalan.  Dan ini akan terus berjalan.
Pendekatan  grounded/dogmatism pragmatisme inilah yang harus  dipacu. Perpaduan  pendidikan hukum pemberantasan korupsi yang hasilnya mungkin  hanya bisa  terlihat satu atau dua generasi akan datang haruslah dimulai saat ini   ditambah dengan pola Tebang Matang tadi.
Semoga  wacana ini bisa menjadi inventaris konsep anti korupsi  yang sebenarnya  merupakan "Happy Ending" namun memang bersakit-sakit dahulu. Ayo  Para  pendekar Anti Korupsi, Tetap Semangat. Pasti Bisa!! 
Opini Analisa Daily