Tahun 2010 yang sebentar lagi ditutup sesungguhnya merupakan bagian dari trajectory (lintasan) politik dari capaian awal demokrasi di tahun 2009 saat pemilu dan pilpres dilangsungkan dengan “sukses”.
Rakyat yang percaya demokrasi, berharap tahun 2010 menjadi penentuan komitmen politik elite negara dalam mengonsolidasi demokrasi.
Namun, ekspektasi besar rakyat ini ditikam kegamangan konstruksi politik kita. Pada saat nilai-nilai otoriter dan destruktif politik hendak dicabut dari ruang kekuasaan kita untuk diganti dengan nilai-nilai demokratis, justru kita melihat proses pengalihan nilai itu mengalami anomali.
Anomali ini terjadi dari pusat sampai daerah-daerah. Penyebabnya sangat kompleks, di antaranya: pertama, euforia kebebasan politik baik di tingkat pusat maupun daerah tanpa disertai penguatan kapasitas masyarakat sipil (societal capacity). Kedua, praktik penyelenggaraan kekuasaan yang tidak punya visi besar alias politik minimalis. Ketiga, politik yang mengedepankan power is privilege. Keempat, politik tragedy of common. Kegagalan yang sesungguhnya berakar pada integritas politik personal politikus.
Dunia politik kita tidak lebih sebagai pariah persinggahan kepentingan dengan tujuan-tujuan miopik tidak jelas yang sibuk menyelebrasi diri. Elite bekas Orde Baru bisa leluasa menyusup berbaur dengan elite reformis karena kanal normatif yang dibangun juga sangat kompromistis. Dengan begitu, setiap orang dengan isu liberalisasi politik merasa berhak mengeroyok kekuasaan dengan cara menyeberang dari parpol satu ke parpol lain, atau mereka yang tersangkut korupsi lekas-lekas mencari suaka ke parpol penguasa.
Di daerah-daerah, pelaksanaan pilkada sepertinya melecutkan spirit konsumerisme politik para elite lokal tanpa ada implikasi kematangan berdemokrasi, sehingga nyaris selalu ricuh. Partai atau Komisi Pemilihan Umum Daerah (KUPD) yang diharapkan mengelola ketegangan malah “ikut bermain”, ditambah lagi fanatisme putra daerah, agama, atau isu sektarian lainnya. Partai mestinya mampu mengedepankan kearifan dan kecerdasan menyikapi isu-isu sensitif ini, bukan bersikap bifurkatif: di satu kaki secara normatif mewakili rakyat, tetapi di kaki yang lain loyal pada kekuatan modal. Ini sebuah negativitas bagi lokomotif demokrasi kita.
Terbiasa menguliti kejujuran berdemokrasi dengan alasan irasional membuat kita sulit jujur pada diri sendiri, apalagi pada sejarah bangsa, seperti kontroversi RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengkonfrontasi anasir sejarah kemerdekaan RI oleh Yogyakarta dengan monarki. Padahal, penetapan sultan sebagai gubernur Yogyakarta merupakan bentuk self government sebagai kreasi demokrasi untuk mengurangi tensi penyeragaman yang identik dengan tabiat rezim Orde Baru.
Amnesia sejarah membuat album perjalanan politik kekuasaan 2010 miskin ilham, pikiran, terobosan dan brilian lewat gagasan kritis-visioner-evokatif yang menghentak militansi generasi kini.
Politikus tampak tidak memiliki indeks ekslusivitas berpolitik: nihil konsep perubahan yang ditawarkan atau yang bisa dibanggakan selain sebagai “pejuang kata” yang dibungkus kekuatan uang. Denga begitu, yang dilakukan hanya berimplikasi pada nominalitas kekuasaan, kekuatan ekonomi-politis sempit maupun politik devide et impera.
Dalam situasi demikian, kita mahfum kenapa elite kekuasaan selalu dikritik sikap dan kebijakannya. Ini tidak terlepas dari mentalitas power is privilege seorang pemimpin yang memandang kekuasaan dalam kacamata kuda feodal wisdom sehingga lebih ingin dilayani ketimbang melayani.
Kalau sudah begini, pemerintahan machiavelian pasti mudah terjadi karena tanggung jawab moral terhadap keluhuran kekuasaan sebagai instrumen melayani dikubur. Kekayaan bangsa ramai-ramai dijarah dengan menggadaikan perangkat aturan demi menyelamatkan diri. Prinsipnya every body fight for himself.
“Tragedy of Common”
Bayangkan, negara seluas dan sekaya kita pendapatan masyarakatnya hanya dikuantifikasi dengan US$ 1 (Rp 9.000/hari). Apakah US$ 1 ini bisa mendukung hidup rakyat yang berkualitas? Ironisnya, di sisi lain ada 40 orang terkaya di negeri ini dengan total kekayaan Rp 650 triliun. Bagi penulis, ini kecerobohan elite-elite dalam mengelola negara. Elite kita merasa tidak berurusan dengan dampak-dampak negatif kekuasaannya bagi rakyat. Karena keserakahan kolektif, korupsi di bangsa ini bak berada di jalan tol sebagai kultur deterministik keseharian. Inilah politik tragedy of common yang mengakibatkan aset negara digerojok oleh insting banal konspiratif kekuasaan.
Kasus Bank Century, misalnya, yang merugikan negara Rp 6,7 triliun, ditelikung menjadi ajang transaksi politis yang tidak pernah serius dituntaskan secara hukum. Untuk meredamnya, dibentuklah Setgab politik yang diketuai Aburizal Bakrie, yang menurut penulis lebih sebagai ajang penentuan posisi tawar Partai Golkar ketimbang menguatkan dukungan efektif koalisi partai terhadap kebijakan konstruktif pemerintah. Mirip pendapat GWF Hegel (1870-1931), bahwa kekuasaan politik adalah kekuasaan yang terorganisasi dari suatu golongan tertentu untuk menindas golongan yang lain.
Hukum dan kekuasaan saling berkonspirasi mengerdilkan fungsi kerja lembaga-lembaga superbodi pemberantasan korupsi semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika saja presiden memiliki visi besar terhadap perwujudan negara yang bebas korup, kriminalisasi KPK, kasus rekening gendut Polri, atau kasus Gayus tidak mungkin didramatisasi seperti sekarang. Dua kasus ini bukan sebatas persoalan pelemahan institusional dan korupsi lagi, tetapi merupakan konspirasi besar politik di tingkat elite yang ingin memisahkan negara dan rakyat ini dari hukum dan prinsip demokrasi yang tulen.
Louis Allen (1964: 3) mengatakan, tantangan zaman adalah tantangan kepemimpinan. Pada tahun 2011 Indonesia membutuhkan strong leadership yang tidak menunda-nunda pemenuhan target pematangan konsolidasi demokrasi, perwujudan pemerintahan yang bersih dan pro rakyat. Mestinya ini dilampaui oleh pemimpin. Kalau pemimpin berani mengambil risiko (risk taker) terhadap kebijakan yang pro rakyat, elemen-elemen negara di bawahnya akan mudah dimobilisasi ke dalam cita-cita kolektif.
Bukankah di tataran empiris masyarakat kita punya modal sosial yang bagus? Jangankan untuk mendengar pemimpinnya, berbuat solidaritas bagi sesamanya yang ditimpa bencana, meski di tengah kekurangannya saja mereka mampu.
Ini tamparan buat elite-elite bangsa untuk lebih banyak terhubung dengan rakyat demi menuai inspirasi kepemimpinan transformatif yang mampu dan berani meretas solusi bangsa seperti Lula da Silva di Brasil, Nestor Kirchner di Argentina, Tabare Vasquez di Uruguay, Evo Morales di Bolivia, atau Michele Bachellet di Cile. n
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM, Dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Opini Sinra Harapan 29 Desember 2010
28 Desember 2010
Anomali Politik 2010
Thank You!