Pada dasarnya monarki adalah personalisasi kedaulatan pada penguasa  (atau the sovereign). Dalam konteks ini seluruh jabatan strategis  ditetapkan penguasa karena status genealogis atau alasan lain, termasuk  suksesi kekuasaan secara turun-temurun.
Negari Ngajogjakarta  Hadiningrat berwatak demikian meski berstatus daerah swapraja  (Zelfbesturende landschaap) dan pengaruhnya dibatasi Gubernur Jenderal  Hindia Belanda. Karena diberi tempat oleh Pasal 18 UUD 1945  praamendemen, maka penguasa Negari Ngajogjakarta Hadiningrat bergabung  dengan Republik Indonesia pada 5 September 1945 dan memilih status  daerah istimewa. Menurut eks penjelasan Pasal 18 UUD 1945, DIY bukanlah  staat, apalagi monarki absolut.
Hal ini semakin terbukti setelah  pada awal kemerdekaan Indonesia raja-raja Yogya itu berbagi kuasa dengan  lembaga perwakilan lokal (DPRD) dan yudikatif nasional. Mereka sudah  bertransformasi dan kehilangan watak monarkisnya sejak menyatu dalam  Republik Indonesia. Maka tak tepat melawankan konsep “monarki kultural”  di tingkat subnasional dengan republik sebagai sistem politik nasional  atau bentuk negara.
Institusi Negari Ngajogjakarta Hadiningrat  tidak menggantikan atau jadi institusi pemerintahan lokal di DIY. Relasi  integratif tersebut menyelamatkan pemerintahan baru RI. Setelah bendera  Belanda berkibar lagi di Jakarta (Oktober 1945) dan ribuan pejuang  terbunuh, pemerintahan dipindahkan ke Yogya.
Negari Ngajogjakarta  Hadiningrat jadi ibu kota RI (Januari 1946-Desember 1949) dan ibu kota  Negara Bagian “RI Yogya” dalam Republik Indonesia Serikat (Desember  1949-Agustus 1950). Konstitusi RIS 1949 (Pasal 64-65), UUD 1945 di  wilayah “RI Yogya” dan UUD Sementara 1950 (Pasal 132) menjamin  keberadaan daerah istimewa.
Politik Legislasi
Sejak 1945  politik legislasi juga mengakui keistimewaan Yogya. Pasal 1 UU Nomor  3/1950 menetapkannya sebagai daerah istimewa setingkat provinsi. DIY  menangani urusan yang setara dengan daerah lain (Pasal 23-24 UU No  22/1948) dan kewajiban lain yang ditetapkan sebelum UU Nomor 3/1950,  serta memikul semua utang-piutang sebelum pembentukannya.
UU  Nomor 19/1950 (14/8/1950) memperluas urusan wajib DIY. UU Nomor 1/1957  mengatur khusus status kepala daerah istimewa dan wakilnya serta  kedudukan keuangannya (Pasal 25-29 joPasal 73). Setelah Dekrit Presiden  1959 memberlakukan kembali UUD 1945, pengakuan terhadap daerah istimewa  diatur Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6/1959 yang substansinya sama  dengan UU Nomor 1/1957. UU Nomor 18/1965 mengulangnya dan menegaskan  bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY tak terikat ketentuan  masa jabatan dalam UU ini.
UU Nomor 5/1974 melanjutkan pengaturan  tersebut sampai Presiden Soeharto mundur dari jabatannya (1998).  Pemerintahan BJ Habibie menerbitkan UU Nomor 22/1999 yang tetap mengakui  keistimewaan DIY (dan Aceh) meski penyelenggaraan pemerintahannya  berdasarkan UU ini. Setelah amandemen UUD 1945 berakhir tahun 2002, UU  Nomor 32/2004 menentukan bahwa daerah-daerah berstatus istimewa tunduk  kepada UU ini dan tunduk kepada ketentuan khusus dalam UU lain.
Keistimewaan  DIY diatur Pasal 226 ayat (2) UU Pemda 2004 dengan merujuk penjelasan  Pasal 122 UU Nomor 22/1999, yaitu gubernur diangkat dari keturunan  Sultan Yogyakarta dan wagub dari keturunan Paku Alam yang memenuhi  syarat sesuai dengan undang-undang ini. Namun masa jabatan maupun  kekuasaan gubernur-wagub dibatasi dan dikontrol DPRD. Mereka bahkan  dapat dimakzulkan (Pasal 29-35) maupun diproses pidana (Pasal 36).
Rumusan  tersebut dihasilkan oleh sembilan fraksi di DPR yang pada tahun 2000  menghasilkan amandemen konstitusi bahwa gubernur, bupati dan walikota  dipilih secara demokratis namun mengakui dan menghormati daerah istimewa  (Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945). Rumusan UU Pemda  2004 berfungsi sebagai daily constitution. Kepada DPR periode 2004- 2009  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memajukan RUU Keistimewaan  Yogyakarta, yang antara lain mengatur pemilihan gubernur dan wagub DIY.
Partai  Demokrat sebagai fraksi baru mendukung politik legislasi dari  pemerintah. Usul pemerintah ditolak “fraksi amandemen konstitusi” yang  masih memiliki kursi di DPR (PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai  Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan  Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang) ditambah  dua fraksi baru (Bintang Reformasi dan Bintang Pelopor Demokrasi).
Demokrasi Lokal
RUUK  digulirkan kembali tahun 2010. Meski SBY akan mengangkat Sultan  Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai gubernur dan wagub DIY untuk  lima tahun ke depan, pemerintah mengusulkan pengisian jabatan  selanjutnya melalui pemilihan dan keluarga Negari Ngayogyakarta  Hadiningrat dapat mengikutinya. Faktor keturunan (hereditary) bukan lagi  satu-satunya cara menjabat gubernur dan wagub DIY.
Pilihan  politik legislasi untuk mengubah keistimewaan Yogya pada UU Pemda 2004  ini telah memicu guncangan sosial-politik dalam hubungan Yogya-Jakarta.  Konon pemerintah didukung 70 persen responden hasil survei. Mungkin  hasil survei tentang dukungan terhadap pemilihan gubernur-wagub dan  penolakan terhadap penunjukannya oleh Presiden telah ditafsirkan untuk  mendelegitimasi keistimewaan Yogya. Rakyat Yogya dikabarkan siap  melaksanakan demokrasi langsung (referendum) untuk menentukan cara  pengisian kepala daerahnya.
Jajak pendapat tandingan bahkan  dilakukan dan konon 90 persen mendukung penetapan gubernur- wagub, bukan  pemilihan. Demokrasi lokal juga bekerja lebih lanjut untuk mengimbangi  politik legislasi di Jakarta. Meski Fraksi Demokrat di DPRD DIY menunggu  RUUK Yogyakarta, mayoritas fraksi resmi bersikap (13/12) bahwa Sultan  Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX ditetapkan sebagai gubernur-wagub  tanpa pemilihan.(*)
Mohammad Fajrul Falaakh
Dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
Opini Okezone 20 Desember 2010 
19 Desember 2010
Keistimewaan Yogya dan Demokrasi Lokal
Thank You!