19 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Hentikan Standardisasi UN!

Hentikan Standardisasi UN!

Di pengujung 2010 ini, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menyatakan standardisasi Ujian Nasional (UN) tetap dipertahankan. Ini bisa kita lihat dari langkah Kemendiknas yang sedang melakukan pendataan peserta UN 2010-2011 di tiap-tiap provinsi. Pada Selasa, 13 Desember 2010, standardisasi UN 2011 dari Kemendiknas pun sudah dibahas di DPR Komisi X. Hasilnya, UN dijadwalkan berlangsung April 2011 dan kelulusan peserta didik ditentukan 60 persen Kemendiknas dan 40 persen sekolah. Penulis berharap hasil ini, belum final, mengingat masih ada waktu sekitar empat bulan lagi untuk sampai pada pelaksanaan UN 2011.
Pada pelaksanaan UN 2010, sebagian kalangan siswa, termasuk orang tua siswa, menyatakan tidak setuju dengan diberlakukannya aturan nilai yang diterapkan bagi peserta didik berkategori belum lulus yang berbunyi, nilai tertinggi akan diambil sebagai nilai yang tertera di SKHUN (Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional) dan peserta didik yang berkategori Belum Lulus bisa memperbaiki nilai yang kurang dari 6,00 menjadi nilai yang baru. Dengan adanya aturan itu, peserta didik yang berkategori lulus bisa dikalahkan/disalip nilainya oleh peserta didik yang berkategori (awalnya) belum lulus.
Sementara kalangan tenaga pendidik yang mengajar kelas VII dan VIII/kelas X dan XI merasakan adanya ketidakadilan pelaksanan tugas mengajar (selama satu tahun) jika dibandingkan dengan tenaga pendidik yang mengajar kelas IX/kelas XII. Mengapa demikian? Karena, kalender pendidikan 2009-2010 memuat rentang waktu proses belajar mengajar kelas VII dan VIII/kelas X dan XI selama satu tahun adalah sekitar dua belas bulan. Sementara pelaksanaan tugas mengajar (satu tahun) tenaga pendidik yang mengajar kelas IX/kelas XII adalah sekitar sepuluh bulan.
Sementara itu, sistem kelulusan UN 2011 ada dua. Pertama, menggabungkan nilai mata pelajaran ujian sekolah dan nilai UN dengan bobot 60 persen dari nilai UN dan 40 persen dari nilai ujian sekolah, tetapi nilai rata-ratanya harus tetap sesuai dengan standar kelulusan. Tidak ada nilai mati dan tidak ada UN ulangan. Kedua, menggabungkan nilai mata pelajaran ujian sekolah dan nilai UN dengan bobot 60 persen dari nilai UN dan 40 persen dari nilai ujian sekolah, tetapi nilai rata-ratanya harus tetap sesuai dengan standar kelulusan. Berlaku nilai mati dan ada UN ulangan.
Solusi
Semua aturan Permendiknas yang menstandarkan nilai kelulusan siswa pada UN 2011, termasuk sistem kelulusan UN 2011, harus segera direvisi karena bertentangan dengan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 Pasal 59 Ayat (1) yang berbunyi, "Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan".
Ada pun substansi revisi yang harus segera dilakukan Kemendiknas dan DPR adalah pengalihtugasan menilai hasil UN dari Kemendiknas kepada pendidik dan BSNP/lembaga mandiri. Kemudian, Kemendiknas segera menugasi aparatur yang biasa menilai UN, untuk mendata pendidik dan tenaga kependidikan yang sampai saat ini masih belum tercatat secara valid dan mendata sekolah-sekolah yang ambruk atau juga aparatur Kemendiknas mendata hasil UN di seluruh provinsi. Dari data yang terhimpun, bisa terukur tingkat mutu pendidikan di Indonesia.
Selanjutnya Kemendiknas dan DPR segera memfungsikan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) yang mengamanatkan pengevaluasian siswa harus dilakukan oleh pendidik dan BSNP/lembaga mandiri. Dengan berfungsinya pendidik dan BSNP, penilaian hasil UN siswa pasti akurat dan apabila terjadi kesalahan soal (antara ilustrasi soal dan alternatif jawaban tak nyambung), tentu saja akan segera teralat, mengingat keduanya bisa berada secara dekat dengan lokasi sekolah. Lebih dari itu, penilaian pendidik akan sempurna karena pendidik bisa menilai siswa dari berbagai segi, yaitu akademis, sikap/akhlak mulia, dan absensi siswa.
Secara ringkas, solusi yang penulis ajukan adalah pertama, UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 59 Ayat (1) dan Pasal 58 Ayat (1) dan (2) wajib dipertahankan. Kedua, Permendiknas tentang UN, yakni tugas Kemendiknas menanggung segala biaya UN dan menyosialisasikan materi soal UN/SKL UN serta jadwal UN, harus tetap diberlakukan. Sebaliknya, sistem kelulusan siswa pada UN yang ditentukan 60 persen Kemendiknas, segera dihilangkan dan diubah menjadi 100 persen ditentukan pendidik dibantu BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan)/lembaga mandiri.
UN ulangan sebagaimana diamanatkan Permendiknas 78 Tahun 2009 boleh saja diberlakukan. Asalkan, aturan penilaian yang berbunyi: nilai tertinggi (bagi siswa yang mengulang) akan diambil sebagai nilai yang tertera di SKHUN, nilainya itu tidak boleh melebihi siswa yang tidak mengulang. Nilai siswa yang mengulang harus lebih kecil/minimal sama dengan siswa yang tidak mengulang.
Dengan adanya pengevaluasian hasil UN oleh pemerintah, tentu saja akan menguras waktu yang panjang. Akibatnya, kalender pendidikan yang dibuat pemerintah, seperti di kalender akademik 2009-2010, menyesuaikan diri dengan penjadwalan UN. Artinya, jadwal tugas mengajar tenaga pendidik kelas VII dan VIII/kelas X dan XI dengan jadwal tugas mengajar tenaga pendidik kelas IX/kelas XII ada perbedaan yang mencolok, yakni berbeda dua bulan. Untuk itu, kalender pendidikan yang dibuat pemerintah (Kemendiknas) harus mengeliminasi kesenjangan rentang waktu antara PBM, kelas VII dan VIII/kelas X dan XI dengan PBM kelas IX/kelas XII. Contoh, Kemendiknas membuat kalender pendidikan yang hari efektif belajar bagi peserta didik kelas VII, VIII, dan IX/kelas X, XI, dan XII berjumlah relatif sama.
Dengan empat solusi/sikap tadi, penulis yakin dunia pendidikan Indonesia di era reformasi sekarang ini, akan bangkit, sekaligus menampakkan wajah baru nan cantik juga menarik, serta senantiasa diberkati oleh Tuhan yang Maha Esa.
Penulis berharap agar solusi/sikap yang penulis rekomendasikan dapat menjadi pengisi poin-poin penting dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah (Kemendiknas).***
Penulis, anggota Asosiasi Guru Penulis PGRI Jawa Barat, Ketua SDM MGMP Bahasa Indonesia Bandung Timur, Wakil Kepala Sekolah SMP YPU

Opini Pikiran Rakyat 20 Desember 2010