Topik ini bisa jadi akan sejalan dengan persoalan RUU Keistimewaan  Yogyakarta yang selalu dikaitkan dengan lemahnya pemahaman sejarah  sekelompok orang, khususnya yang terkait dengan peran Yogyakarta dalam  terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Lebih dari persoalan tersebut, dalam berbagai kasus tampak sekali  lemahnya pemahaman sejarah bangsa pada kalangan generasi muda, bahkan di  antara para anak didik kita. Misalnya pelajaran sejarah, yang  semestinya sudah menjadi muatan pelajaran di tingkat sekolah dasar  maupun sekolah menengah pertama, malah tidak diketahui anak didik yang  berada di tingkat atasnya.  
Tidak percaya? Lihatlah misalnya pada ujian yang mereka ikuti, atau  uji pengetahuan yang sering kali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. 
Beberapa kali saya menonton acara Ranking 1 yang dipandu Ruben dan  Sarah Sechan dan setiap pagi disiarkan sebuah jaringan televisi,  kenyataan ini dapat kita temui. Pada acara yang ditayangkan pagi hari,  Jumat 10 Desember 2010 yang lalu, misalnya, sang juara yang ditanyai  soal Prabu Siliwangi itu dari Kerajaan Pajajaran atau Singosari, siswa  SLTA itu sama sekali tidak mengetahuinya. Demikian pula halnya dengan  pertanyaan berikut, tentang perang apakah di Sumatra Barat yang dipimpin  oleh Tuanku Imam Bonjol? Anehnya, pelajar yang ditanyai itu adalah  pelajar SLTA dari Sumatra Utara. 
Bisa dibayangkan bila pertanyaan itu dilontarkan pada mereka yang  bukan rangking satu atau yang tidak menjadi juaranya. Contoh ini tentu  bisa dilengkapi dengan beragam contoh lainnya, yang membuat lemahnya  penguasaan akan sejarah bangsa.   
Sesungguhnya kenyataan seperti ini juga kita hadapi pada anak-anak  kita. Mereka amat lemah pada pengetahuan sejarah bangsa, termasuk  hal-hal yang paling dasar sekali, seperti halnya nama Perang Paderi  tersebut. Apakah sudah demikian parahnya? Hemat saya memang demikian.  Walau, mungkin perlu kita lanjutkan dengan survei yang bersifat jujur,  bukan seperti jajak pendapat tentang sikap masyarakat Yogyakarta atas  keistimewaan DIY yang beberapa hari terakhir ini diperdebatkan atau  survei-survei lain yang cenderung menyesatkan.  
Kalaulah kenyataan ini benar, menurut pengamatan saya, disebabkan  beberapa hal. Yang paling mudah saya lihat adalah pikiran anak-anak  didik sekarang yang tidak lagi bisa terfokus pada mata pelajaran yang  seharusnya mereka hadapi atau kuasai. Terlalu banyak mainan, hiburan,  atau hal-hal luar yang harus mereka ingat atau perhatikan, sehingga  ingatan pada mata pelajaran menjadi terbatas. Dengan mudah kita lihat,  anak-anak sekarang amat banyak mencerna permainan yang datang dari luar,  sehingga menjauhkan pikiran mereka dari hal yang seharusnya mereka  kuasai. Sedari kecil mereka sudah diajari untuk mengingat dan mengetahui  tokoh-tokoh seperti Sinchan atau Doraemon, dan kini dilengkapi pula  dengan Upin dan Ipin serta teman-teman mereka. Meningkat sedikit, mereka  perlu pula mengingat tokoh-tokoh One Piece, atau permainan lainnya.  Yang suka pada lagu, mereka harus mengingat penyanyi-penyanyi yang  mereka senangi dan idolakan. Tak jauh beda dengan perhatian mereka  terhadap sinetron yang mereka gandrungi. Bersamaan dengan itu, mereka  perlu pula menguasai teknologi, khususnya teknologi informasi. Dalam hal  ini mereka malah lebih unggul daripada generasi sebelumnya. 
Akibatnya, perhatian mereka amat terbatas untuk kejadian-kejadian di  dalam negeri, termasuk yang menyangkut sejarah bangsa atau tokoh-tokoh  dalam negeri. Apalagi orang tua atau para pejabat pun menunjukkan bila  perhatian pada luar negeri lebih utama ketimbang di dalam negeri.  Termasuk penghargaan pada tokoh, pendidikan, atau sesuatu yang  berkembang dari luar. Terbatas sekali perhatian pada hasil pendidikan di  dalam negeri. Lulusan perguruan tinggi di luar negeri jauh lebih  dihargai daripada produk dalam negeri. Pimpinan negara pun dikelilingi  para ahli lulusan luar negeri yang acap kali terlepas dari penguasaan  atas keadaan di dalam negeri. Tak mengherankan bila banyak anggota  masyarakat yang memiliki kemampuan materi lebih terdorong mengirim  anak-anak mereka sekolah di luar negeri, yang produknya kian menjauhkan  diri dari kondisi di dalam negeri.  
Sementara itu, kemampuan para guru yang mengajarkan mata pelajaran  sejarah agaknya perlu ditingkatkan. Para guru sejarah, khususnya sejarah  Indonesia, harus mampu menggairahkan para anak didik dan menekankan  bahwa sejarah bangsa menjadi modal berharga untuk membangun negeri ini  ke depan. Jangan kita biarkan para anak didik bersikap EGP (emang gua  pikirin), atau melontarkan istilah yang kini semakin populer, "Ah,  enggak penting ini!"  
Tentu saja yang jauh lebih penting adalah bagaimana memberi makna  sejarah Indonesia terhadap pembangunan bangsa. Bagaimana mungkin  anak-anak menghargai sejarah Indonesia, jika para pemimpin bangsa  sendiri tidak peduli dalam penerapannya. Lihatlah misalnya dalam kasus  penyusunan RUU Keistimewaan Yogyakarta yang kini sedang berlangsung.  Persoalan utama justru kecaman pada pimpinan bangsa yang tidak peduli  pada sejarah bangsa atau sejarah nasional. Kalaupun dilengkapi dengan  penguasaan atas konstitusi negara, penyusunan konstitusi itu  sesungguhnya juga terkait dengan penguasaan atas sejarah bangsa. 
Jika para pemimpin bangsa dan para tokoh masyarakat sendiri tidak  peduli pada sejarah bangsa, bagaimana mungkin para anak didik tertarik  pada materi pelajaran ini? *** 
Oleh Baharuddin Aritonang  
Pengamat sosial
Opini Media Indonesia 20 Desember 2010
19 Desember 2010
Lemahnya Pelajaran Sejarah
Thank You!