07 Januari 2011

» Home » Opini » Sinar Harapan » “Quo Vadis” WTO?

“Quo Vadis” WTO?

Setelah mandek hampir lima tahun, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencoba bang­kit kembali pada tahun 2011.
Pertanyaannya: apakah bisa?
Momentum yang digunakan terutama adalah komitmen politik negara-negara maju dan emerging economies, seperti yang dikonsolidasikan pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 dan APEC pada akhir 2010.
Direktur Jenderal WTO Pascal Lamy menjadi pelobi ulung—yang akhirnya akan diterjemahkan pada perundingan intensif di markas WTO, Jenewa pada kuartal pertama tahun ini.
Jika diibaratkan pertandingan sepak bola, saat ini si bundar sudah diletakkan di titik putih. Masalahnya, siapa yang akan menendang? Sejak krisis ekonomi di akhir dekade lalu, hampir seluruh negara berkutat menguatkan perekonomian dalam negeri. Para pemain kunci pun tiarap, seperti Amerika Serikat (AS) yang mengulur-ulur negosiasi. Jepang pun dihantam krisis ekonomi hingga politik. Uni Eropa juga tak luput karena beberapa anggotanya yang rapuh.
Di lain pihak, perdagangan bebas multilateral selalu dipertanyakan keberadaannya, terutama terkait keadilan dan pemerataan kemakmuran di tingkat global. Setiap ada negosiasi, selalu muncul re­sistensi. Perdagangan bebas dinyatakan hanya membuat untung sebagian kecil negara-negara maju saja. Ketidak­adilan masalah subsidi terus mengemuka. Kele­bihan produksi barang pertanian dan industri negara maju juga terus didumping ke negara-negara miskin dan berkembang. Sangat ironis, karena putaran WTO saat ini—dise­pakati pada 2001 di Doha, Qatar—dijuluki “Agenda Pem­bangunan” (Doha De­ve­lop­ment Agenda).

AS Pemain Utama
Jika dilihat dari dinamika terakhir, AS adalah pemain utama yang akan melakukan kick off. Dengan alasan menggairahkan ekonomi domestik serta membuka lapangan ker­ja, strategi ofensif tampaknya akan dijalankan. Dalam hal ini, kemampuan ekspor Paman Sam akan terus digenjot.
Kunjungan Barack Obama ke India, Indonesia, Korea Selatan, dan Jepang telah mengisyaratkan hal ini. Dalam beberapa pernyataannya, pe­merintah AS ingin negara-negara yang dikunjunginya ini membuka pasarnya. “We want access to your market–we think we have good products to sell....” kata Obama secara eksplisit pada kunjungannya ke India pada 8 November 2011.
AS juga agresif dalam perdagangan bilateral dan regional. India dan Indonesia menandatangani Strategic Partnership Agreement, yang hanya beberapa langkah lagi dari Free Trade Agreement (FTA). Korea Selatan sudah memasuki negosiasi FTA dengan AS sejak tahun 2006. Dalam APEC, negara adidaya ini adalah salah satu anggota Trans-Pasific Partnership (TPP)—yang akumulasinya digadang-gadang mencapai 90 persen perekonomian dunia.
India dan Brasil dari kelompok G-20 di dalam WTO adalah pemrakarsa lanjutan negosiasi pada tahun 2008. Dibandingkan keterlibatan aktif mereka kala itu, mereka tampak tak bersemangat kali ini. Catatan penting harus kita berikan pada Brasil yang baru saja berganti presiden. Butuh beberapa saat untuk menyusun strategi dan terjun secara aktif lagi dalam rezim perdagangan multilateral ini.

Pertanian Tetap Sandungan Utama
Dalam sejarah WTO, negosiasi pertanian adalah kunci kesepakatan. Dalam banyak kesempatan, sektor pertanian sering disebut-sebut sebagai deal breaker. Fast-track yang digagas WTO tahun ini pun bernasib sama. Masalah-masalah yang merupakan limpahan dari negosiasi sebelumnya, yakni seputar subsidi negara maju yang tak adil, masalah kapas terutama untuk negara Afrika, serta usulan produk khusus dan mekanisme pengamanan khusus (Special Product and Special Safeguard Mechanism atau disingkat SP/SSM) adalah batu sandungan utama.
Masalah yang terakhir disebut bisa menjadi senjata andalan negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Filipina. Secara taktis, posisi tawar yang kuat bisa menguntungkan dalam negosiasi (trade off). Namun, sayangnya, posisi kedua negara yang mewakili kelompok G-33 ini sangat lemah terhitung pasca-2005. Indonesia dan Filipina adalah good boys negara-negara maju.
Dalam posisi terakhir pada teks modalitas Desember 2008, SP/SSM melemah, bahkan cenderung menjadi bumerang bagi negara-negara yang mengandalkan sektor pertanian.
Kelompok G-20 seperti India, Brasil, dan China hanya akan bermain jika akses pasar negara-negara maju dibuka. Sebagai negara dengan ekonomi yang  sedang bagus-bagusnya, posisi ini bisa menjadi sandungan bagi ambisi AS.
Selanjutnya, Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah negara dengan subsidi perta­nian luar biasa. Subsidi AS yang terhitung di dalam WTO (2007-2008) adalah US$ 58 miliar, sementara Uni Eropa sekitar 49 miliar euro.
Jika komoditas pertanian antara negara-negara ini diadu dengan milik negara miskin dan berkembang dalam WTO, maka penggambaran yang tepat adalah seperti tinju kelas berat diadu de­ngan kelas bulu. Produk ne­gara miskin dan berkembang pasti kalah. Hal ini dapat kita lihat dari kasus daging serta susu dan produk turunannya di Indonesia.
Sebagai catatan, hasil si­mu­lasi sebuah lembaga bernama Research and Information Sys­tem for Developing Coun­tries menyatakan bahwa dengan skema saat ini keuntungan da­ri pertanian dalam WTO akan “menambah” pundi-pundi negara berkembang sebesar US$ 9 miliar. Ini kurang dari 0,1 persen rata-rata GDP negara-negara tersebut.
Sementara itu, negara maju diperkirakan menda­patkan 25 kali dari jumlah tersebut atau sebesar US$ 225 miliar. Dalam negosiasi intensif yang direncanakan Pascal Lamy, dijadwalkan muncul teks modalitas baru yang lebih ambisius pada April 2011. Hal ini memunculkan pertanyaan karena banyak pasal modalitas pada teks sebelumnya (De­sember 2008) yang sangat ber­bahaya, terutama bagi ne­gara-negara berekonomi lemah.
Jika bola negosiasi ditendang AS, permainan mau tak mau akan berjalan. Namun, tim yang kekuatannya tak solid pasti tak akan bertahan lama. Di belakang, banyak anggota yang tertinggal—tidak hanya dari negara-negara berkembang macam Indonesia dan Filipina, namun bila kita lihat lagi ada negara-negara miskin seperti kelompok Small and Vulnerable Economies (SVEs) dan Least Developed Countries (LDCs).
Jika pun bertahan dengan skema ini, Putaran Pem­bangunan Doha WTO di masa yang akan datang pasti akan terus berjalan timpang dan akan sulit bertahan lama. Tentunya penyataan selanjutnya yang muncul adalah: “bahwa kita butuh skema perdagangan multilateral yang lebih adil!”

OLEH: MUHAMMAD IKHWAN
Penulis adalah anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Opini Sinar harapan 7 Januarai 2011