Wacana koalisi poros tengah kembali muncul dalam perpolitikan nasional yang diinisiasi oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Yang menarik, PKS merupakan anggota Sekretariat Gabungan (Setgab) di DPR sebagai wadah koalisi pendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Boediono.
Pada 1999, koalisi poros tengah pernah hadir dalam perpolitikan Indonesia dan bahkan telah berhasil memecahkan kebekuan politik ketika itu antara kubu BJ Habibie dan kubu Megawati Soekarnoputri. Poros tengah kemudian berhasil menjadikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai orang yang diterima kedua belah pihak sehingga terpilih menjadi presiden Republik Indonesia.
Akankah isu koalisi poros tengah sekarang ini akan mengkristal dan kemudian menjadi alternatif politik di tengah ketidakseimbangan politik yang terepresentasikan di parlemen? PKS sendiri sebagai penggagas kemudian mengajak partai-partai menengah lainnya di Setgab untuk bergabung, bahkan berkomunikasi pula dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang notabene merupakan partai oposisi.
Apa yang dilakukan PKS di atas setidaknya menyiratkan dua hal. Pertama, situasi tersebut agaknya dilatarbelakangi adanya kekecewaan di kalangan partai anggota Setgab khususnya partai-partai menengah. Salah satu faktor kekecewaan tersebut, seperti yang ditegaskan salah seorang elite PKS, adalah adanya dominasi Demokrat dan Golkar dalam menyikapi berbagai kebijakan.
Dalam ungkapan lain, Setgab dikerdilkan fungsinya oleh kedua partai tersebut menjadi hanya sebagai stempel kebijakan pemerintah. Sementara itu, partai-partai menengah jarang sekali dilibatkan. Sering kali Setgab memutuskan suatu kebijakan secara tertutup dengan hanya melibatkan Demokrat dan Golkar. Dalam situasi seperti ini, partai-partai menengah hanya diminta persetujuannya saja. Ini, misalnya, terjadi pada kasus RUU DIY di mana anggota Setgab diminta mendukung usulan pemerintah itu.
Kedua, fenomena ini memperlihatkan bahwa koalisi partai pendukung SBY-Boediono memang sangat rentan, karena lebih banyak didasarkan pada kepentingan politik pragmatis. Koalisi yang kuat sesungguhnya harus didasarkan pada kesamaan idelogis dan program, sehingga kohesivitas yang dibangun betul-betul rekat dan tidak mudah goyah.
Sayangnya, orientasi kekuasaan jauh lebih menonjol dalam koalisi pendukung SBY-Boediono. Untuk itu, ketika persoalan kekuasaan tersebut mendapat ancaman, pihak-pihak yang terancam akan segera bereaksi keras. Bagaimanapun, isu perombakan kabinet (reshuffle) sampai saat ini belum mereda sehingga cukup menghantui partai-partai menengah di dalam Setgab. Apalagi sejumlah menteri dari partai-partai tersebut dipandang berbagai kalangan tidak lagi layak mendampingi SBY sampai 2014.
Kecenderungan ini berbeda dengan yang dialami Golkar. Partai beringin ini memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat terhadap Demokrat. Bahkan, masing-masing pihak memegang kartu truf yang siap dimainkan kapan pun diperlukan. Golkar memegang kartu kasus Bank Century dan PT Krakatau Steel Tbk, sedangkan Demokrat memegang kartu kasus pengemplangan pajak. Belakangan kedua partai tersebut memperlihatkan kecenderungan untuk cooling down yang menandakan bahwa keduanya akan lebih banyak berdamai.
Kecemburuan Politik
Namun, memprediksi bahwa fenomena di atas akan berakhir dengan munculnya koalisi poros tengah mungkin terlalu jauh. Menurut hemat penulis, agaknya keinginan itu sulit terwujud. Apa yang dilakukan PKS sesungguhnya lebih merupakan manuver politik dalam rangka menaikkan daya tawarnya di hadapan Demokrat. Lagi-lagi orientasi kekuasaan yang menjadi pertimbangan utamanya.
Hal ini, misalnya, terlihat dari respons balik yang diberikan PKS kepada Demokrat yang menanggapi gagasan dibentuknya koalisi poros tengah. Ketika Demokrat mengatakan bahwa seharusnya PKS keluar dari Setgab dan menarik menteri-menterinya dari kabinet sebagai konsekuensi atas gagasannya, PKS menjawabnya dengan mengatakan bahwa Demokrat arogan. Ini jelas memperlihatkan bahwa PKS tidak serius dengan gagasannya tersebut.
Apalagi ketika PDIP yang diajak bergabung membentuk koalisi poros tengah juga meminta syarat yang senada. Sebagaimana ditegaskan salah seorang elite PDIP, Tjahyo Kumolo, PKS harus keluar terlebih dahulu dari barisan koalisi pendukung pemerintahan jika ingin menggandeng PDIP pada Pemilu 2014. Kalau tidak, PDIP tidak akan bersedia. Sementara itu, di kalangan internal sendiri baru elite PPP yang sudah memberikan respons positif.
Dari paparan di atas jelas bahwa koalisi poros tengah yang digagas PKS akan sulit terwujud karena bukan merupakan wacana yang serius. Bahkan, dalam derajat tertentu, ini lebih merupakan keluhan untuk tidak mengatakan kecemburuan politik terhadap Demokrat dan Golkar yang kian menunjukkan kemesraannya.
Penulis adalah Deputi Direktur the Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Komunikasi Unpad.
Opini Sinar harapan 5 Januari 2010
04 Januari 2011
Wacana Poros Tengah
Thank You!