Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Yogyakarta memutuskan, posisi gubernur dan wakil gubernur adalah dengan penetapan. Semua fraksi, kecuali Fraksi Partai Demokrat (FPD), menyetujui penetapan. Tapi, pemerintah tetap bersikeras tidak akan mengubah Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta yang mengatur bahwa gubernur Yogyakarta melalui pemilihan.
Pemerintah Arogan
Sikap pemerintah yang tidak akan mengubah draf RUUK Yogyakarta itu menggambarkan betapa arogannya pemerintah pusat. Arogansi ini dimulai ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut Yogyakarta sebagai monarki, lalu membenturkannya dengan demokrasi. Wacana yang sebelumnya tidak ada tiba-tiba muncul begitu saja. SBY sepertinya cukup ‘cerdas’ membaca situasi Yogyakarta yang di internalnya tengah mengemuka wacana suksesi keraton, mengingat Sultan Hamengku Buwono (HB) X tidak memiliki putra mahkota.
Tapi, bisa juga dilihat dalam konteks politis, bahwa aktivitas Sultan HB X di Nasional Demokrat (ND) begitu kencang, sehingga membuat SBY dan tentunya Partai Demokrat (PD) cukup khawatir. Jika ini motif SBY membenturkan monarki dengan demokrasi, alangkah naifnya. Pada Pemilu 2014 SBY dipastikan tidak boleh lagi mencalonkan diri sebagai presiden, kenapa mesti repot-repot menjegal Sultan HB X? Toh ND bukan partai politik, meski tidak menutup kemungkinan jadi partai politik.
SBY bukan orang yang tidak mengerti sejarah Yogyakarta, seperti dikatakannya. SBY tentu tahu persis bagaimana peran Yogyakarta pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. SBY juga tahu persis bagaimana Yogyakarta telah mengikatkan diri pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan, pastinya SBY juga tahu persis bagaimana dari mulai Presiden Sukarno hingga Megawati, Yogyakarta menjadi daerah istimewa, sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap Yogyakarta, tanpa ada yang membentur-benturkan sistem yang ada di Yogyakarta dengan sistem kenegaraan. SBY juga tahu bahwa Yogyakarta tidak pernah memberontak pada negara. Dengan segala pengetahuan SBY soal Yogyakarta, tentu menjadi tanda tanya besar: kenapa SBY tiba-tiba ‘menggoyang’ Yogyakarta?
Yogyakarta belum lama mengalami bencana erupsi Merapi. Banyak sekali warga Yogyakarta yang tewas disapu awan panas. Harta benda dan rumah-rumah hancur. Hingga kini, recovery pasca bencana belum selesai. Bencana Merapi memang sudah lewat, tapi ‘bencana’ baru muncul: terusiknya keistimewaan Yogyakarta! Tentang keistimewaan Yogyakarta memang semua sepakat. Yang menjadi soal, apakah gubernur dan wakil gubernur itu melalui pemilihan atau penetapan? Sistem yang ada selama ini, dan itu berjalan sudah lama, tanpa ada yang mempersoalkannya, adalah melalui penetapan.
Masalah Krusial
Dengan semua gonjang-ganjing politik seputar keistimewaan Yogyakarta, yang pasti ketenangan yang selama ini terjaga berubah. Warga Yogyakarta yang tadinya adem ayem kini seperti tersengat, keluar rumah, berdemonstrasi, menuntut pemerintah membatalkan RUUK Yogyakarta. Mereka bahkan menantang pemerintah untuk menggelar referendum. Suasana Yogyakarta memanas, sampai-sampai Sultan HB X harus menenangkan masyarakatnya. Ia meminta pemerintah untuk menyerahkan keputusan tentang Yogyakarta kepada masyarakat Yogyakarta sendiri, dan itu sudah tergambarkan dari hasil paripurna DPRD Yogyakarta.
Kengototan pemerintah justru akan semakin meningkatkan sikap antipati masyarakat Yogyakarta terhadap pemerintah pusat. Mereka akan makin merasa tidak dihargai, karena keputusan DPRD DIY seperti tidak ada artinya. Jika citra pemerintah buruk di mata mereka, secara otomatis itu akan mempengaruhi reputasi Partai Demokrat di Yogyakarta. Lebih daripada itu, akan menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. SBY membenturkan monarki dengan demokrasi dan menganggap monarki tidak relevan lagi dalam sistem demokrasi. SBY menyebut dirinya demokrat sejati. Artinya ia menjunjung tinggi demokrasi. Karena itu, jika ia bersikap arogan dan mengabaikan aspirasi warga Yogyakarta yang tergambar dari hasil paripurna DPRD, itu justru akan merusak reputasinya sebagai demokrat sejati.
Mengenai kekuasaan dikenal teori Shang Yang, negarawan yang hidup di China sekitar abad V-IV SM. Ia mengatakan, tujuan negara adalah pembentukan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya. A weak people means a strong state and a strong state means a weak people. Therefore a country, which has the right way, is concerned with weakening the people. Bahkan, kebudayaan rakyat harus dikorbankan jika menghalangi kepentingan kebesaran dan kekuasaan negara. Teori ini umumnya dipakai di negara-negara komunis. Indonesia jelas bukan negara komunis dan sangat tidak layak jika kekuasaan digunakan untuk melemahkan rakyat atau melemahkan sistem yang sudah jadi budaya, apalagi jika sistem itu sama sekali tidak memiliki ekses negatif bagi bangsa dan negara.
Tidak ada masalah yang membahayakan negara karena status keistimewaan Yogyakarta dengan gubernur dan wakil gubernur melalui penetapan. Secara struktural, presiden tetaplah pemimpin NKRI, sementara sultan berada di bawahnya. Masalah yang jauh lebih membahayakan justru ketika rakyat masih banyak yang kelaparan dan nasib para TKI di luar negeri mengenaskan tapi pemimpin negara justru asyik bermanuver politik untuk hal-hal yang tidak krusial.
Fajar Kurnianto
Pengamat Sosial-Politik Indonesia
Institut Studi Agama Sosial & Politik (Isaspol) Jakarta
Opini Okezone 20 Desember 2010