Mahasiswa Magister Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana FKIP Universitas Lampung
Tidak semua yang bermutu itu harus mahal. Tidak selalu yang tidak  bermutu itu murahan. Pun tidak semua yang mahal, pasti bermutu. Jadi,  sangat tergantung dari mana memandangnya. Penyedia barang atau jasa  memiliki ukuran atau kriteria sendiri terhadap apa yang disebut mutu,  atas hasil produksinya atau jasa yang ditawarkannya. Dalam istilah lain  disebut mutu sesungguhnya (quality in fact). Sedangkan pengguna barang  atau pemanfaat jasa juga memiliki ukuran sendiri terhadap barang atau  jasa yang dibelinya.
Repotnya, kalau dalam barang atau jasa itu menyangkut kepentingan  dasar, dan saling terkait dengan banyak pihak. Contohnya adalah di  bidang pendidikan. Setiap orang membutuhkan pendidikan. Penyedia jasa  pendidikan juga menjamur. Pemerintah yang memiliki kewajiban menyediakan  jasa publik (public services) menggandeng peran dan partisipasi  masyarakat (swasta).
Edward Salis dapat dipandang sebagai pelopor yang paling rajin  mengaitkan proses penentuan mutu dalam industri, diterapkan dalam  pendidikan. Dapat dimengerti karena memang rangkaian proses penentuan  mutu pada dunia industri, sesungguhnya tak jauh berbeda dengan  pendidikan. Introdusir dalam konsep mutu adalah pada semua titik-titik  proses produksi atau pada semua mata rantai proses pelayanan. Konsep  mutu kemudian berkembang sebagai proses perbaikan terus-menerus.
Di media, sekarang ini dipolemikkan soal ujian nasional, akreditasi  bagi sekolah, dan akreditasi bagi program studi dan perguruan tinggi.  Ujian nasional berkutat pada persoalan kegunaan dari dilaksanakannya  ujian itu sendiri. Akreditasi sekolah berpusar pada problem daya dukung  pelaksanaan mengingat banyaknya sekolah yang harus diakreditasi dan  target waktu yang terbatas.
Sementara di perguruan tinggi, Badan Akreditasi Nasional Perguruan  Tinggi (BAN-PT) berkukuh dengan mekanisme, prosedur, dan kriteria yang  menjadi tugas dan fungsinya. Segenap instrumen pengukuran kuantitatif,  yang diharapkan lebih objektif, disiapkan sebagai perangkat untuk  melakukan proses akreditasi suatu perguruan tinggi atau program studi.
Sebenarnya ada kata kunci untuk penjaminan mutu pendidikan, khususnya  di pendidikan tinggi: input, proses, output. Segala perangkat terkait  harus benar-benar direncanakan. Selanjutnya apa yang disebut bebas dari  kecacatan (zero defects), selalu baik sejak awal (righ first time and  every time), perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement),  menentukan standar, perubahan kultur, perubahan organisasi, dan  mempertahankan hubungan dengan pelanggan. Yang juga penting adalah  komitmen dan kesadaran akan makna mutu itu sendiri.
Para pengelola perguruan tinggi, sebagian menuding kinerja lembaga  pengakreditasi kurang cepat dan tanggap terhadap situasi dan kondisi  kekinian yang dihadapi program studi maupun perguruan tinggi. Kriteria  yang disusun sebagai acuan untuk mengukur dimensi-dimensi dalam proses  akreditasi, dianggap tidak seirama dengan berbagai keterbatasan yang  ada.
Diskusi ini melibatkan banyak pakar dan guru besar, yang juga  pengelola perguruan tinggi. Sementara masyarakat adalah pihak yang  paling rentan dengan risiko “ketidakjelasan” status akreditasi suatu  program studi. Masyarakat di sini adalah para calon mahasiswa,  mahasiswa, maupun pengguna.
Di sisi lain, ada banyak warna dalam pengelolaan program studi,  menghadapi kebutuhan akreditasi. Tapi tentu saja, berbagai cara ditempuh  dalam rangka menyiapkan persyaratan akreditasi. Di sini, tidak menutup  kemungkinan ada pihak yang menyiapkan segala sesuatunya secara instan.  Namun ada juga yang menyiapkan perangkat keras dan perangkat lunak yang  menjadi prasyarat mutlak suatu pengelola pendidikan tinggi dengan  sepenuh hati.
Penulis mengkhawatirkan dibelokkannya akreditasi oleh pihak-pihak  tertentu. Selama ini, hasil akreditasi dijadikan sales point, dan  seakan-akan itu merupakan mutiara. Memang secara legal formal, hal ini  dapat menjadi jaminan. Tetapi secara faktual, jika pemenuhan persyaratan  akreditasi dilakukan secara instan, itu sangat berisiko.
Pemenuhan terhadap persyaratan minimum, terkadang sulit dibedakan  dengan level kriteria di atasnya. Apalagi jika terjadi dinamika dalam  jumlah pengguna/pemanfaat jasa, yang tidak dibarengi dengan penyediaan  sumber daya yang sebanding.
Dalam situasi persaingan memperebutkan pelanggan, simbol-simbul mutu  menjadi penting bagi suatu institusi. Tidak salah memang apabila  menjadikan simbol-simbol tersebut sebagai maskot dalam mempromosikan  produk/jasanya. Bahkan hampir semua media promosi, selalui dilekatkan  dengan simbol-simbol yang mengaitkan suatu institusi dengan konsep mutu  yang dicitrakan oleh penyedia jasa. Dengan demikian, diharapkan para  pelanggan dan calon pelanggan dapat memahami dan kemudian memilih jasa  mereka. Yang penting adalah kebenaran faktual antara yang dijanjikan  dengan proses dan sarana/prasarana yang disediakan dan tetap  menyelaraskan dengan tuntutan perkembangan.
Dalam kondisi banyak penyedia jasa pendidikan, tidak hanya di  perguruan tinggi, maka pada dasarnya masyarakat memiliki banyak pilihan.  Untuk itu, diperlukan pengetahuan untuk dapat menentukan pilihan yang  terbaik dan sesuai. Institusi pendidikan itu sendiri dituntut untuk  dapat memberikan informasi yang sebenarnya. Karena ini menyangkut  pendidikan yang berimplikasi jangka panjang maka alangkah bijaksana jika  kita bertindak cermat, seperti kata pepatah; teliti sebelum membeli.  Kita tahu, untuk mengikuti pendidikan, biasanya suatu keluarga  mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki, demi pendidikan anaknya.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam rangka menjaga konsistensi  antara fakta, data, proses, dan hasil dari proses assesment dalam  akreditasi. Diharapkan dampaknya sesuai dengan filosofis diterapkannya  akreditasi itu sendiri. Yang juga penting adalah sosialisasi tentang  kriteria institusi pendidikan.
Opini Lampung Pos 20 Desember 2010
19 Desember 2010
Siapa Menjamin Mutu Pendidikan?
Thank You!