27 Agustus 2010

» Home » Jawa Pos » Ancaman Krisis Pangan

Ancaman Krisis Pangan

KALAU saat ini para ibu rumah tangga membeli daging ayam dan daging sapi dengan harga selangit, boleh jadi itu merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dunia yang tak lagi bersekat. Dunia kini tengah dirundung rasa cemas oleh bencana kekeringan yang melanda Rusia. Panas yang mencapai 38 derajat Celsius telah mengakibatkan kekeringan parah di negara tersebut. Selain mengakibatkan ratusan orang meninggal, bencana tersebut juga mengancam produksi pangan.

Pengumuman Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin untuk menghentikan sementara ekspor gandum dan barley telah menyulut kekhawatiran dunia akan terulangnya krisis pangan 2008. Masih segar dalam ingatan kita, krisis pangan 2008 lalu, antara lain, terjadi karena dipicu oleh tindakan banyak negara produsen pangan yang menutup keran ekspor karena khawatir pasokan pangan domestik berkurang.

Rusia adalah negara eksporter gandum nomor tiga di dunia dan eksporter barley (sejenis gandum untuk pakan ternak) terbesar kedua di dunia. Pasar gandum dunia segera merespons pengumuman tersebut. Saat ini harga gandum di sejumlah bursa melonjak hingga 50 persen dibandingkan harga pada awal Juli 2010 lalu.

Kenaikan harga gandum dan barley di pasar internasional ini akan membawa efek berganda (multiplier effects) naiknya harga komoditas lain. Salah satu di antaranya melejitnya harga daging sapi dan daging ayam beberapa waktu terakhir. Hal ini disebabkan barley merupakan bahan baku pakan ternak penghasil daging.

Kenaikan harga gandum ini juga memicu naiknya harga komoditas serealia lain di pasar dunia. Dilaporkan telah terjadi kenaikan harga serealia substitusi gandum, jagung naik 0,8 persen dan kedelai naik 0,2 persen. Hal ini berdampak pada kenaikan harga produk-produk turunannya, seperti minyak nabati dan daging.

Sinyal

Kondisi ini perlu diwaspadai dan diantisipasi sejak dini oleh pemerintah Indonesia. Hal ini mengingat konsumsi gandum masyarakat Indonesia saat ini sepenuhnya dari impor. Gandum merupakan tanaman subtropis yang tidak dapat tumbuh dengan baik di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Jadi, akan semakin banyak pundi devisa yang harus dibelanjakan untuk mengimpor bahan baku roti dan mi ini.

Sinyal agar dunia waspada terhadap kemungkinan terjadinya krisis pangan jilid dua telah diberikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Belum lama ini FAO mengumumkan tren kenaikan harga pangan dunia bila dibandingkan dengan tahun lalu. Menurut laporan FAO, pada Juli 2010 indeks harga pangan dunia mencapai 165,5. Angka ini jauh lebih tinggi daripada Juli tahun lalu yang besarnya 147.

Inflasi yang diakibatkan oleh melambungnya harga bahan pangan merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Hal ini disebabkan pengeluaran warga miskin untuk pangan menempati persentase yang sangat besar dari total pengeluaran keluarga. Presiden Bank Dunia Robert B. Zoelick pernah mengatakan bahwa krisis pangan dunia lebih berbahaya ketimbang krisis yang terjadi di pasar keuangan.

Mau tidak mau, pemerintah Indonesia harus mengantisipasi secara serius berbagai peringatan tersebut. Tanpa antisipasi yang serius, boleh jadi gejolak harga pangan ini akan menjelma menjadi bola liar yang sangat membahayakan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Banyak upaya yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk memperkukuh bangunan ketahanan pangan agar kalis dari gejolak pangan dunia saat ini. Pertama, perlu mengefektifkan upaya stabilisasi harga bahan pangan yang kian membebani masyakarakat. Upaya ini, antara lain, dapat ditempuh dengan memperluas jangkauan operasi pasar dan pasar murah beberapa komoditas pangan pokok masyarakat. Selain itu, perlu dipikirkan bantuan pangan bagi kelompok rawan pangan transien maupun kronis.

Kedua, perlu dilakukan percepatan penganekaragaman (diversifikasi) konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal yang terintegrasi dan berkesinambungan. Indonesia sangat kaya varian sumber pangan biji-bijian dan umbi-umbian yang dapat menggantikan gandum. Sentuhan teknologi pengolahan dan kampanye nasional yang berkelanjutan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor gandum.

Ketiga, penguatan stok pangan nasional. Selain stok pangan yang dikuasai pemerintah pusat (Bulog), sudah waktunya pada era otonomi daerah seperti sekarang ini pemerintah kabupaten/kota/provinsi memiliki stok pangan sendiri di wilayah masing-masing. Pemerintah daerah bekerja sama dengan Bulog/Dolog yang memiliki sarana dan prasarana memadai dan telah berpengalaman dalam pengelolaan stok pangan.

Keempat, pengawasan dan penegakan hukum. Saat bulan puasa dan menjelang Lebaran seperti sekarang, banyak pihak yang memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan setinggi-tingginya dengan jalan menimbun dan mengoplos barang. Karena itu, pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas merupakan kata kuncinya.

Kelima, pembangunan iklim usaha tani yang kondusif. Pemerintah harus membangun dan memperbaiki berbagai sarana infrastruktur produksi maupun distribusi, menjamin ketersediaan sarana produksi, mempermudah akses kredit berbunga lunak, serta memperkenalkan berbagai inovasi teknologi produksi terkini.

Keenam, pemerintah menjamin harga jual yang menguntungkan bagi produk yang dihasilkan petani. Insentif harga jual yang memadai akan berpengaruh sangat signifikan terhadap kegairahan petani dalam meningkatkan produksi.

Ketujuh, pengembalian fungsi Bulog seperti saat lembaga ini dilahirkan, yaitu sebagai lembaga stabilisasi harga kebutuhan pokok. Cakupan komoditas juga lebih diperluas, bukan hanya beras seperti saat ini, tetapi juga kebutuhan pokok lain seperti gula, kedelai, minyak goreng, bahkan daging. Jika semua upaya ini telah dilakukan dengan sungguh-sungguh, fondasi ketahanan pangan bangsa akan kukuh tak tergoyahkan oleh turbulensi harga pangan di pasar dunia. (*)

*) Toto Subandriyo, alumnus IPB dan MM-Unsoed
OPini Jawa Pos, 27 Agustus 2010