Berdasar hasil survei yang dilakukan lembaga pemerintah Inggris, United Kingdom Trade & Investment (UKTI), pada 2010 ini Indonesia berada di peringkat kedua negara berkembang (emerging market) yang menjadi tujuan investasi global di bawah Vietnam. Meski kalah oleh Vietnam, posisi Indonesia lebih baik jika dibandingkan dengan negara berkembang yang lain.
Sebelumnya, pada Juli lalu, Indonesia mendapat perbaikan peringkat investasi menjadi level investment grade oleh lembaga pemeringkat Japan Credit Rating Agency (JCR). Dalam survei UKTI terbaru bertajuk Great Expectation: Doing Business in Emerging Market dilaporkan, dunia internasional melihat pasar di negara berkembang akan menjadi mesin pertumbuhan global pada masa mendatang. Laporan itu juga menyebutkan, responden yang disurvei menyatakan siap melakukan bisnis atau membuat rencana bisnis di negara emerging market dalam dua tahun ke depan. Diperkirakan, pada 2030, sekitar 93 persen dari kelas menengah di dunia akan hidup di negara emerging market.
Hasil survei UKTI tersebut tampaknya sejalan dengan laporan World Investment Report 2010. Gambaran aliran investasi global ke Indonesia mulai menunjukkan peningkatan dalam beberapa bulan terakhir pada tahun ini, namun belum kembali ke level prakrisis. Laporan World Investment Report 2010 yang dipublikasikan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menunjukkan pula bahwa peningkatan aktivitas investasi ini ditunjukkan Global Foreign Direct Investment Quarterly (GFDIQ) Index yang dirumuskan UNCTAD.
GFDIQ Index untuk Indonesia sempat mencapai titik tertinggi pada triwulan IV 2007 yang menggambarkan tingginya aktivitas investasi yang terjadi pada waktu itu. Sejalan dengan mulai memburuknya kondisi ekonomi global, aktivitas investasi juga melambat. Itu ditandai dengan jatuhnya indeks tersebut ke level terendah sejak 2006 pada triwulan I 2009. Sejak triwulan II 2009 hingga triwulan I 2010, indeks cenderung bergerak menguat yang menggambarkan pemulihan pada aktivitas investasi global. Kelompok negara berkembang menjadi penopang utama pemulihan itu.
Pada 2007, aliran investasi ke kelompok negara berkembang hanya 26 persen dari total aliran investasi di seluruh dunia. Pada 2009, nilainya meningkat signifikan menjadi sekitar 43 persen. Dalam konteks itu, Indonesia menjadi negara yang turut menikmati peningkatan aliran investasi tersebut. Berdasar data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi di Indonesia pada semester I 2010 meningkat jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2009. Nilai realisasi investasi di semester I tercatat Rp 92,9 triliun atau 58 persen dari target realisasi investasi 2010 sebesar Rp 160 triliun.
Komponen penanaman modal asing (PMA) menyumbang sekitar 76 persen dari total nilai realisasi investasi tersebut. Arus investasi itu masih berpotensi terus meningkat ke depannya sejalan dengan peningkatan kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi dan instrumen investasi yang tersedia di Indonesia. Langkah lembaga-lembaga pemeringkat utang dunia yang menaikkan peringkat Indonesia beberapa waktu terakhir bisa menggambarkan peningkatan kepercayaan tersebut.
Manfaatkan Momentum
Sudah seharusnya Indonesia tak menyia-nyiakan momentum peluang investasi global. Bahkan, pemerintah kini tengah menyiapkan beberapa strategi untuk menangkap peluang terasebut. Beberapa langkah yang tengah disiapkan, antara lian, adalah, Pertama, pemberian tax holiday. Kementerian Keuangan belakangan ini menyusun rencana pemberian insentif fiskal baru bagi investasi perdana berskala besar dengan memilih pembebasan pajak penghasilan untuk jangka waktu tertentu (tax holiday) sebagai bentuk yang ideal (Bisnis Indonesia, 16 September 2010). Namun, sayang, pemberian pemberian insentif baru bagi investasi pionir masih terkedala perbedaan prinsip mengenai sasaran bidang usahanya. Namun, bentuknya sebenarnya sudah mengerucut. Yakni, tax holiday untuk jangka waktu tertentu hingga investor memperoleh keuntungan.
Pemberian tax holiday tersebut merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia untuk menyiapkan beragam fasilitas fiskal untuk bisa menarik minat investor yang cukup tinggi. Karena itu, jika potensi investasi tersebut diabaikan, Indonesia akan merugi karena kehilangan dua keuntungan ekonomi, yakni kehilangan potensi wajib pajak pada masa mendatang dan benefit ekonomi yang ditimbulkan [dari kegiatan investasi baru tersebut] juga hilang.
Kedua, pemerintah juga akan menfokuskan pemberian insentif pajak kepada empat sektor industri. Keempat sektor industri itu akan terakomodasi dalam merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62 Tahun 2008 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau Daerah-Daerah Tertentu.
Sektor pertama yang ingin diperdalam tersebut adalah industri energi terbarukan, seperti etanol. Kemudian, industri karet, seperti ban, kemudian farmasi, dan petrokimia. Langkah pemerintah merevisi PP 62 Tahun 2008 itu dilatarbelakangi adanya tawaran dari sejumlah investor yang ingin menanamkam modalnya di Indonesia, namun sektornya belum terakomodasi aturan tersebut.
Meskti pemerintah tengah menyiapkan dua strategi besar dalam rangka memanfaatkan momentum investasi global, strategi itu saja belumlah cukup. Hal itu disebabkan Indonesia juga masih dihadapkan pada kendala masalah infratruktur. Bahkan, persoalan infrastruktur dan peraturan masih menjadi kendala peningkatan daya saing Indonesia. Berdasar laporan Global Competitiveness Report (GCR) pada 2010-2011 yang diumumkan dalam World Economic Forum pada 9 September lalu, Indonesia tercatat berada di peringkat ke-44 di antara 144 negara. Berdasar gambaran itu, ke depan pemerintah juga perlu segera membenahi infrastruktur, terutama masalah listrik, gas, dan lain sebagainya. Pemerintah juga perlu membenahi masalah kepastian hukum investasi. (*)
*) Makmun, peneliti dan pengamat ekonomi
Opini Jawa Pos 27 September 2010
27 September 2010
Menangkap Peluang Investasi Global
Thank You!