30 Agustus 2010

» Home » Jawa Pos » Hibernasi Politik Diplomasi

Hibernasi Politik Diplomasi

HEBOH tragedi Tanjung Berakit menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan RI beberapa minggu lalu membawa efek yang berkepanjangan. Demonstrasi anti Malaysia terus bergulir dari hari ke hari di sejumlah daerah di Indonesia, terutama di Jakarta.

Efeknya bagi politik dalam negeri pun cukup kuat. Tiga pegawai DKP yang menjadi korban tragedi Tanjung Berakit dimintai keterangan oleh Komisi I DPR. Tidak hanya itu, Menlu Marty Natalegawa juga dipanggil oleh Komisi I DPR untuk menjelaskan lemahnya politik diplomasi RI di hadapan Malaysia. Gugatan kian menguat hingga berujung pada permintaan penarikan Dubes RI di Malaysia dan pemulangan Dubes Malaysia dari Indonesia. Tidak hanya itu, Presiden SBY juga melakukan sidang kabinet terkait dengan kasus tersebut.

Pada sisi lain, di harian Jawa Pos (28/8/2010) Abubakar Eby Hara, seorang "TKI intelektual" di Malaysia, memaparkan bahwa demonstrasi anti Malaysia yang berlangsung di Jakarta justru mendapatkan respons negatif dari warga Malaysia. Walaupun ditampilkan foto bendera me­reka diinjak-injak dan kantor kedubes dilempari kotoran, justru orang Malaysia semakin terbiasa dengan kemarahan orang Indonesia. Bahkan, mereka juga tidak terlalu dipusingkan dengan berbagai ancaman di tanah air. Mereka menganggap semua itu permainan media.

A. Eby Hara lantas mempertanyakan apakah yang hendak dicapai dengan mobilisasi anti Malaysia? Melihat dinamika politik di dalam negeri, benar apa yang disampaikan oleh Eby Hara. Bukan tidak mungkin kita akan terus menyaksikan demonstrasi yang berulang-ulang, protes, dan kebencian dalam hubungan dengan Malaysia. Tidak lebih dari itu.

***

Apa yang disampaikan oleh Eby Hara itu sangat masuk akal. Di tengah gelombang tekanan dalam negeri yang memprotes Malaysia, pemerintahan RI tampaknya tidak banyak berkutik dengan konstelasi politik diplomasi dengan Malaysia. Hingga saat ini, RI masih memiliki "ketergantungan" cukup besar dengan negeri jiran itu. Betapa tidak, ratusan warga RI di Malaysia terancam hukuman mati. Ribuan TKI kita masih terus mengadu hidup di negeri jiran tersebut. Tidak hanya itu, sejumlah investasi dari negeri jiran di bidang perbankan dan sektor bisnis yang lain juga memiliki arti strategis dalam menggerakkan ekonomi Indonesia.

Itulah yang tampaknya dalam jangka panjang akan menjadikan politik diplomasi RI dengan Malaysia terus terjebak dalam situasi hibernasi. Hibernasi merupakan situasi politik diplomasi kita yang terjebak dalam ruang sempit atas nama "saudara serumpun". Dalam situasi tersebut, politik diplomasi kita pada akhirnya jatuh dalam pilihan yang hibernate. Kendati dibalut dengan prinsip yang mulia: "banyak kawan dan sedikit musuh", kita tidak punya banyak pilihan dan tidak memiliki posisi yang kuat di mata negara lain. Ruang sempit politik diplomasi tersebut juga kian membuat Menlu sulit mengambil pilihan yang radikal dalam menyikapi tuntutan demonstrasi anti Malaysia pascatragedi Tanjung Berakit.

Menlu tentu akan dihadapkan pada situasi politik yang penuh simalakama apabila mengambil kebijakan radikal. Pemutusan diplomatik dengan Malaysia jelas akan membawa risiko yang cukup besar bagi posisi RI di kawasan Asia Tenggara. Dilema yang muncul tidak hanya terkait dengan isu TKI dan kerja sama bisnis.

Persoalan lain juga akan terus melebar ke isu-isu budaya serta pertahanan dan keamanan nasional. Sebagai negara bekas persemakmuran Inggris Raya, Malaysia jelas sangat diuntungkan dengan solidaritas sesama negara jajahan Inggris Raya yang tersebar di wilayah Asia Pasifik. Di sini Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda jelas terkepung dan berdiri sendirian. Di selatan ada Australia. Di utara ada Singapura yang lebih maju dalam segala hal.

Hampir sebagian besar negara persemakmuran itu memiliki instrumen pertahanan yang lebih maju jika dibandingkan dengan Indonesia. Pemutusan diplomasi dengan Malaysia juga tidak mungkin berdampak pada konstelasi politik diplomasi Indonesia di kawasan Asia Pasifik. Dari sejumlah aspek penting, pemerintahan RI jelas kurang siap dengan pilihan radikal semacam itu.

Di sisi lain, jika pemerintahan RI tidak mengambil sikap tegas atas sejumlah potensi yang menjadi akar persoalan diplomasi RI-Malaysia, api pemicu konflik sangat mungkin terus terjadi pada masa depan. Dalam hal teritori, persoalan batas wilayah laut dan darat hingga saat ini belum terselesaikan dengan baik. Dalam hal kekuatan ekonomi nasional, pemerintah RI masih belum mampu memberikan jalan alternatif bagi para TKI dalam mendapatkan peluang kehidupan yang lebih baik di dalam negeri.

Memang, mental superior generasi baru Malaysia juga kian mengagumkan, namun sekaligus sekilas tampak "menjengkelkan". Jika dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia walau hanya dihuni tidak lebih dari 28 juta orang -lebih besar daripada penduduk Jawa Timur- memiliki akselerasi generasi yang lebih maju dan cepat dalam pergaulan internasional.

Dengan tingkat kemakmuran yang lebih, mereka jauh lebih konfiden jika dibandingkan dengan generasi kita dan para TKI kita yang mayoritas bermental under dog. Hal itu jelas kurang menguntungkan.

Kondisi tersebut tentu cukup pahit dan menyakitkan. Pemerintah RI memang tidak memiliki banyak pilihan politik diplomasi yang menyenangkan. Meski demikian, sudah seharusnya pemerintah mampu keluar dari masalah itu. Butuh strategi jangka panjang yang jitu utuk mengatasi hibernasi politik diplomasi kita. Tidak hanya dengan Malaysia, bukan tidak mungkin persoalan diplomasi lainnya juga akan terus menghantui kedaulatan NKRI. (*)

*) Ahmad Nyarwi , staf pengajar Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Jogjakarta
Opini Jawa Pos 30 Agustus 2010