”There are lies, damned lies, and statistics.” Mark Twain (1835-1920)
Proposisi yang lebih umum dan layak didengar sebenarnya bukanlah apa yang jadi judul tulisan ini, tetapi sebaliknya, ”kebohongan yang jujur”. Semacam ”kebohongan putih” (white lie): mengatakan sesuatu yang tidak benar demi kebaikan.
Seorang dokter, orang tua, atau pejabat publik perlu menyatakan ”kebohongan putih” demi menghindari, katakanlah, kekacauan psikologis pada komunikan yang diajak bicara.
Selain itu, terdapat kebohongan lain yang dalam hal tertentu dapat ”diterima” khalayak. Kebohongan itu ada dalam kesenian. Dalam buku kumpulan esai sastra saya, Dusta dan Kebenaran dalam Sastra (2003), saya mengutip ucapan Vincent Crummles, tokoh dalam novel Charles Dickens—kerap dikutip Pablo Picasso—”art is a lie that reveals the truth”. Kutipan itu menjelaskan, pada dasarnya karya seni adalah dunia dusta yang terimajinasi dan direka oleh penciptanya. Namun, pada akhirnya ia menyingkap (reveal) kebenaran dalam proses signifikansi atau kontemplasi pembacanya.
Dua proposisi di atas hendak meneguhkan bahwa peradaban tidak disusun hanya oleh kebenaran, apalagi sekadar kebenaran faktual, tetapi juga oleh kebohongan, oleh dusta yang sebagian besar berkembang jadi kebenaran tersendiri. Kebudayaan, di mana pun, menyimpan mitologi, mistisisme, legenda, fabel, dan sebagainya, yang selalu menyimpan dusta di dalamnya. Namun, dusta memberi kebenaran pada pemaknaan akhir.
Sebagian orang
mengatakan, kebohongan tetaplah kebohongan. Seberapa pun cepat kebohongan menyebar (have speed), kebenaran akan menang karena memiliki daya tahan (have endurance). Namun, peribahasa tua mengatakan, setengah kebenaran akan menjadi kebohongan sepenuhnya.
Dua kekontrasan tentang posisi dan fungsi kebohongan di atas bukanlah dilema. Ia lebih merupakan situasi yang ditentukan oleh moralitas landasannya. Secara profetis-etis mungkin dimafhumi—bahkan perlu—adanya kebohongan pada tingkat dan kasus tertentu. Namun secara rasional-materialistis, tidak ada tempat lagi bagi dusta karena fakta (material) atau data adalah landasan utamanya.
Dua pilihan akhir itulah yang kini berkembang menjadi dilema, khususnya bagi kekuasaan, bagi pemerintahan politik, di mana modernisme, rasionalitas, dan materialisme dianggap sebagai dasar moral mereka. Namun di bagian lain, ia pun harus menenggang kearifan tradisi, agama, fatsun, hingga rahasia intelijen, yang pada hal-hal tertentu tidak mengizinkan mereka menyatakan ”yang sebenarnya”, tapi lebih mengungkap ”yang seharusnya”.
Ironi kebenaran faktual
Apa yang berkembang menjadi ironi adalah kenyataan bahwa hampir semua kekuasaan politik—baca pemerintahan—lebih mengedepankan kebenaran material atau faktual. Kebenaran yang dilandasi data empiris baik secara kualitatif maupun kuantitatif (statistik). Sebuah imperasi modern yang berdasarkan ”ukuran”. Semua yang dikerjakan harus dinilai berdasarkan ”ukuran” yang sama. Dalam hal ini ilmiah, empiris, dan statistis.
Masalah yang kemudian timbul bukan pada ”ukuran” itu, tetapi pada proses kerja dan penilaian di baliknya. Bagaimanapun, materialisasi kehidupan, yang mengukur semua kenyataan kemanusiaan dan kebudayaan dalam realitas faktual dan material saja (dapat diindra dan ditimbang), sesungguhnya adalah kerja yang reduksionistik. Pada banyak kasus tertentu, ia merupakan artifisialisasi bahkan manipulasi dari realitas multidimensi yang sebenarnya.
Hasil penelitian, bagaimanapun hebatnya, masih menyimpan error dan diskusi tentang metodenya. Beberapa penelitian terkemuka pun sering dipengaruhi oleh kepentingan pemodalnya (bisnis, militer, politik, dan sebagainya). Artinya, statistik pun, jika tidak mereduksi manusia dan kenyataan dalam pengertian fisik belaka, hanya mampu menyampaikan sebagian kebenaran, yang dalam peribahasa di atas berarti ”dusta keseluruhannya”.
Ironi kedua terjadi ketika ”kebenaran tak lengkap” ternyata selalu berhadapan dengan realitas sehari-hari yang justru berlawanan. Boleh jadi, semua indikator ekonomi kita (secara makro) menunjukkan angka dan ukuran menggembirakan (pemerintah khususnya). Namun dalam realitas sehari-hari, kesulitan hidup, rasa aman, dan jaminan serta fasilitas sosial justru dirasakan kian berat oleh masyarakat. Di titik ini, ”kebenaran tak lengkap” dari pemerintah pun menjadi ”dusta” bagi rakyatnya.
Ironi ketiga lebih menggemaskan lagi, yakni ketika dusta atau ”kebenaran tak lengkap” itu kita nyatakan, pertahankan, bahkan wacanakan terus-menerus dalam retorika yang semakin sederhana sehingga ia pun berkembang jadi kebenaran baru. Inilah metode propaganda Hitler, ”Buatlah dusta menjadi besar, jadikan sederhana, ucapkan selalu, dan kita pun akan memercayainya”.
Alangkah arif jika seorang penguasa, yang semestinya memiliki visi dan daya kontemplasi tinggi, memahami ironi kebenaran ini, bahkan untuk data dan fakta yang ia yakini.
Kebenaran sebenarnya
Apa yang kita dengar dari komunike bersama para pemimpin agama di markas Muhammadiyah mungkin lebih afdal jika diposisikan dalam pemahaman kebohongan dan kebenaran di atas. Mereka menyodorkan beberapa fakta kebohongan pemerintah—dielak pemerintah dengan kebenaran lain—yang sebaiknya kita renungi sebagai pernyataan profetis-etis dalam dimensi yang lebih dalam ketimbang dimensi material.
Secara logis dan rasional pernyataan para pemuka agama itu mengingatkan, ukuran yang digunakan pemerintah bukan hanya mereduksi, tetapi juga bertentangan dengan realitas sehari-hari yang multidimensi.
Di lain hal, kebenaran statistis bukanlah kebenaran itu sendiri, karena itu jangan menjadi kebenaran baru. Kita bisa menyetujui aforisme dari Frank Lloyd Wright, arsitek terbesar abad ke-20, ”kebenaran itu lebih penting dari fakta”.
Kebenaran terpancang lebih dalam karena menyimpan idealisme yang tak terjangkau, kecuali manusia mengejarnya. Fakta adalah kenyataan yang temporer, begitu pun kebenaran yang diwakilinya bersifat fakultatif dan sementara.
Apa yang diinginkan dan dibayangkan para pemuka agama itu adalah kebenaran, bukan sekadar fakta dengan sekian ironinya. Kebenaran yang berdiam dalam tubuh dan jiwa masyarakat, yang dituntut dan menuntut oleh sejarah dan konstitusi.
Karena itu, sanggahan pemerintah menjadi apologetis, terlebih jika hanya mengandalkan sumirnya data BPS. Kepemimpinan yang arif akan melihat lebih dalam dari sekadar fakta: kebenaran. Kebenaran yang ada di jalan becek dan macet, banjir, pasar yang mahal, pekerjaan yang sulit, serta biaya kesehatan yang mahal.
Kita membutuhkan pemimpin yang mengetahui kebenaran. Kita butuh negarawan.
Radhar Panca Dahana Budayawan
Opini KOmpas 17 Januari 2011