SALAH satu topik yang saya asuh di Rhenald Kasali School for Entrepreneur adalah “Find the bright spot”. Ini adalah logika-logika yang harus dilatih secara rutin,baik oleh entrepreneur maupun eksekutif untuk menemukan celah.
Dan selalu saya mengingatkan tidak semua “crack” dapat dimasuki. Namun, yang terpenting dari semua itu, setiap orang harus mampu melihat “the brightest spot.” Celah yang paling berkilauan meski pepatah mengatakan, “Tak semua yang berkilauan itu adalah emas.” Cerita berikut ini disampaikan oleh rekan saya, seorang social entrepreneur yang ditugaskan oleh sebuah badan internasional untuk membantu mengatasi masalah kurang gizi di Kamboja. Mungkin dengan ilustrasi ini Anda lebih paham apa yang saya maksud dengan “Find the bright spot” dan bisa menggunakannya dalam bisnis Anda.
Di antara Anak-anak Kurus
Di Kamboja, saat pembangunan mulai dipacu, anak-anak berbadan kurus menjadi pemandangan sehari-hari. Selain anak-anak yang kakinya hilang dihantam ranjau-ranjau darat semasa perang, sehari-hari juga ditemui kasus anak-anak mati kelaparan dan kurang gizi. Pemerintah Kamboja sudah turun membantu dengan memberi 250 gram beras per anak setiap hari. Bagi para orang tua yang punya anak-anak, jumlah sebesar itu hanya cukup untuk makan anak kecil dua kali sehari.
Pemerintah tak punya cukup uang untuk bisa memberi lebih. Demikian pula dengan lembaga internasional yang menugaskan rekan saya. Tetapi, apa yang ia lakukan sangat menarik. Di tengah-tengah harapan besar untuk menghasilkan perubahan, para aktivis sosial di Kamboja rela melakukan kerja sosial apa saja asalkan ada sedikit saja cahaya yang menerangi langkah mereka. Kehadiran rekan saya, bagi mereka, adalah cahaya. Setelah seminggu berinteraksi ia pun mulai memberi instruksi.
”Apakah di antara rakyat biasa ada ditemui anak-anak yang sehat dan relatif lebih gemuk dari yang lain?” Tanpa menunggu lama, ibu-ibu aktivis sosial di Kamboja segera menjawab yang bunyinya kurang lebih: co-co-co. Belakangan kalimat itu dipahami sebagai yes, yes, yes atau ada, ada, ada. Ia kembali menegaskan maksudnya.”Maksud saya rakyat biasa. Bukan anak lurah atau camat yang punya akses terhadap jatah kupon yang lebih besar sehingga dapat lebih banyak jatah makan.”
Mereka kembali menganggukangguk: co-co-co. Rekan saya meminta agar anak seperti itu dicari dan dibawa pada pertemuan berikutnya. Esoknya anak-anak itu dibawa. Ternyata selalu ada anomali. Anak itu begitu ceria dan segar. Padahal jatah makanannya sama. Inilah yang saya sebut “the bright spot.” Sebuah titik anomali yang terang-benderang, namun tak ada orang yang menaruh perhatian.
Temukan dan pelajarilah, apa yang membuatnya tampak berbeda. Setelah berkali-kali dialog akhirnya ditemukan apa yang membuat anak ini menjadi tampak berbeda meski mereka hidup dengan jatah dari negara yang sama dengan yang lain dan tingkat kehidupan yang sama. Miskinnya sama, tetapi mengapa hasilnya berbeda? Rupanya ibu si bayi yang sehat ini membagi jatah beras itu menjadi tiga, sedangkan anak-anak yang lain hanya dibagi dua.
Jadi, kala anak-anak bayi lain makan beras jatah untuk dua kali sehari, anak yang ini diberi makan ibunya tiga kali. Cukup masuk akal karena perut anak-anak bayi tidak dapat menyerap gizi lebih dari kemampuannya yang terbatas. Lantas apa yang membedakannya? Rekan saya memutuskan untuk datang bertamu ke rumah keluarga bayi sehat ini. Di situ ia menemukan pemandangan yang berbeda. Keluarga itu ternyata sebuah keluarga yang berpengetahuan, menghargai ilmu, dan lebih kreatif dalam membangun masa depan.
Setiap pagi ibu anak ini pergi ke ladang mengumpulkan ubi-ubi merah, dan suaminya mencari udang-udang kecil di sungai. Ubi, udang, dan ikan-ikan halus, dikumpulkan dan dijadikan menu tambahan anak. Setelah dimasak lalu dihaluskan, ditumbuk, dan disaring. Upaya ini memerlukan kerja keras dan kebiasaan. Jadi anak mendapat volume makan sedikit lebih banyak dengan menu lebih bergizi.
Selebihnya Anda bisa mengerti dengan sendirinya. Rekan saya menggunakan metode yang diterapkan di keluarga sehat ini pada keluarga-keluarga lain. Ia membentuk kelompok ibu-ibu yang terdiri atas 10 orang dan mereka dilatih mencari ubi, menangkap ikan di sungai, menumbuk, dan menyaring makanan.
Mereka juga dilatih memasak dan menyuapi anak. Waktu berjalan, hasilnya bisa diduga. Tanpa biaya tambahan dari negara, masalah kurang gizi teratasi. Satu per satu anak yang dilahirkan terselamatkan, bukan dengan uang santunan yang lebih besar, tetapi dengan cara yang berbeda. Perubahan terjadi karena seseorang mampu melihat “the brightest spot”.
Pasar yang Kusam
Tidak dapat disangkal kita tengah berada di era pasar yang crowded dan semakin tua. Di mana-mana yang kita lihat adalah produk-produk lama yang kembali didaur ulang dan diremajakan. Saya berpikir inilah saatnya bagi kita untuk memperbaharui industri. Dari pengalaman saya berinteraksi dengan banyak perubahan wajah industri, saya hanya menemukan satu jawaban: mereka pandai membaca the brightest spot, dan mereka bergerak ke sana.
Itulah sebabnya kita perlu melatih kaum muda mampu melihat the brightest spot ini. Tanpa itu mereka hanya bisa mengeluh dengan kalimat yang sama, yaitu: “modalnya tidak ada,” “susah!” ”semua pintu tertutup,” ”saya tidak punya koneksi yang memadai” atau “kita cuma orang kecil yang miskin.” Banyak orang lupa, peristiwa-peristiwa dan perusahaan-perusahaan besar, hampir semuanya dibangun bukan dari kekuatan uang, melainkan dari orang yang mampu melihat the brightest spot.(*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Dan selalu saya mengingatkan tidak semua “crack” dapat dimasuki. Namun, yang terpenting dari semua itu, setiap orang harus mampu melihat “the brightest spot.” Celah yang paling berkilauan meski pepatah mengatakan, “Tak semua yang berkilauan itu adalah emas.” Cerita berikut ini disampaikan oleh rekan saya, seorang social entrepreneur yang ditugaskan oleh sebuah badan internasional untuk membantu mengatasi masalah kurang gizi di Kamboja. Mungkin dengan ilustrasi ini Anda lebih paham apa yang saya maksud dengan “Find the bright spot” dan bisa menggunakannya dalam bisnis Anda.
Di antara Anak-anak Kurus
Di Kamboja, saat pembangunan mulai dipacu, anak-anak berbadan kurus menjadi pemandangan sehari-hari. Selain anak-anak yang kakinya hilang dihantam ranjau-ranjau darat semasa perang, sehari-hari juga ditemui kasus anak-anak mati kelaparan dan kurang gizi. Pemerintah Kamboja sudah turun membantu dengan memberi 250 gram beras per anak setiap hari. Bagi para orang tua yang punya anak-anak, jumlah sebesar itu hanya cukup untuk makan anak kecil dua kali sehari.
Pemerintah tak punya cukup uang untuk bisa memberi lebih. Demikian pula dengan lembaga internasional yang menugaskan rekan saya. Tetapi, apa yang ia lakukan sangat menarik. Di tengah-tengah harapan besar untuk menghasilkan perubahan, para aktivis sosial di Kamboja rela melakukan kerja sosial apa saja asalkan ada sedikit saja cahaya yang menerangi langkah mereka. Kehadiran rekan saya, bagi mereka, adalah cahaya. Setelah seminggu berinteraksi ia pun mulai memberi instruksi.
”Apakah di antara rakyat biasa ada ditemui anak-anak yang sehat dan relatif lebih gemuk dari yang lain?” Tanpa menunggu lama, ibu-ibu aktivis sosial di Kamboja segera menjawab yang bunyinya kurang lebih: co-co-co. Belakangan kalimat itu dipahami sebagai yes, yes, yes atau ada, ada, ada. Ia kembali menegaskan maksudnya.”Maksud saya rakyat biasa. Bukan anak lurah atau camat yang punya akses terhadap jatah kupon yang lebih besar sehingga dapat lebih banyak jatah makan.”
Mereka kembali menganggukangguk: co-co-co. Rekan saya meminta agar anak seperti itu dicari dan dibawa pada pertemuan berikutnya. Esoknya anak-anak itu dibawa. Ternyata selalu ada anomali. Anak itu begitu ceria dan segar. Padahal jatah makanannya sama. Inilah yang saya sebut “the bright spot.” Sebuah titik anomali yang terang-benderang, namun tak ada orang yang menaruh perhatian.
Temukan dan pelajarilah, apa yang membuatnya tampak berbeda. Setelah berkali-kali dialog akhirnya ditemukan apa yang membuat anak ini menjadi tampak berbeda meski mereka hidup dengan jatah dari negara yang sama dengan yang lain dan tingkat kehidupan yang sama. Miskinnya sama, tetapi mengapa hasilnya berbeda? Rupanya ibu si bayi yang sehat ini membagi jatah beras itu menjadi tiga, sedangkan anak-anak yang lain hanya dibagi dua.
Jadi, kala anak-anak bayi lain makan beras jatah untuk dua kali sehari, anak yang ini diberi makan ibunya tiga kali. Cukup masuk akal karena perut anak-anak bayi tidak dapat menyerap gizi lebih dari kemampuannya yang terbatas. Lantas apa yang membedakannya? Rekan saya memutuskan untuk datang bertamu ke rumah keluarga bayi sehat ini. Di situ ia menemukan pemandangan yang berbeda. Keluarga itu ternyata sebuah keluarga yang berpengetahuan, menghargai ilmu, dan lebih kreatif dalam membangun masa depan.
Setiap pagi ibu anak ini pergi ke ladang mengumpulkan ubi-ubi merah, dan suaminya mencari udang-udang kecil di sungai. Ubi, udang, dan ikan-ikan halus, dikumpulkan dan dijadikan menu tambahan anak. Setelah dimasak lalu dihaluskan, ditumbuk, dan disaring. Upaya ini memerlukan kerja keras dan kebiasaan. Jadi anak mendapat volume makan sedikit lebih banyak dengan menu lebih bergizi.
Selebihnya Anda bisa mengerti dengan sendirinya. Rekan saya menggunakan metode yang diterapkan di keluarga sehat ini pada keluarga-keluarga lain. Ia membentuk kelompok ibu-ibu yang terdiri atas 10 orang dan mereka dilatih mencari ubi, menangkap ikan di sungai, menumbuk, dan menyaring makanan.
Mereka juga dilatih memasak dan menyuapi anak. Waktu berjalan, hasilnya bisa diduga. Tanpa biaya tambahan dari negara, masalah kurang gizi teratasi. Satu per satu anak yang dilahirkan terselamatkan, bukan dengan uang santunan yang lebih besar, tetapi dengan cara yang berbeda. Perubahan terjadi karena seseorang mampu melihat “the brightest spot”.
Pasar yang Kusam
Tidak dapat disangkal kita tengah berada di era pasar yang crowded dan semakin tua. Di mana-mana yang kita lihat adalah produk-produk lama yang kembali didaur ulang dan diremajakan. Saya berpikir inilah saatnya bagi kita untuk memperbaharui industri. Dari pengalaman saya berinteraksi dengan banyak perubahan wajah industri, saya hanya menemukan satu jawaban: mereka pandai membaca the brightest spot, dan mereka bergerak ke sana.
Itulah sebabnya kita perlu melatih kaum muda mampu melihat the brightest spot ini. Tanpa itu mereka hanya bisa mengeluh dengan kalimat yang sama, yaitu: “modalnya tidak ada,” “susah!” ”semua pintu tertutup,” ”saya tidak punya koneksi yang memadai” atau “kita cuma orang kecil yang miskin.” Banyak orang lupa, peristiwa-peristiwa dan perusahaan-perusahaan besar, hampir semuanya dibangun bukan dari kekuatan uang, melainkan dari orang yang mampu melihat the brightest spot.(*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Opini Okezone 13 Januari 2011