Petani dan nelayan adalah profesi mayoritas penduduk negeri ini. Hampir 60% penduduk Indonesia berada di pedesaan dan pesisir pantai. Profesi ini sesuai dengan alam Indonesia yang memang agraris dan laut sebagai wilayah terbesar negeri ini. Namun nampaknya profesi ini menjadi penyumbang besar kemiskinan dan rendahnya kualitas SDM bangsa kita. Kemiskinan sebagai penyakit sosial negara berkembang terus saja semakin bertambah di kalangan petani dan nelayan khususnya. Seolah–olah menjadi nelayan adalah keterpaksaan, padahal laut kita kaya raya dan menyimpan triliunan kekayaan jika mampu diambil oleh nelayan.
Kenyataannya nelayan masih terpuruk dalam kubangan kemiskinan dan kebodohan, jauh dari istilah sejahtera. Di sisi lain politisi dan birokrasi “bergelimang” harta dan kekayaan, hasil laut hanya dinikmati segelintir pengusaha serakah yang enggan berbagi walaupun sekadar program CSR yang menjadi kewajiban mereka untuk membantu nelayan. Inilah fakta negeri yang orang mengatakan jamrud khatulistiwa. Kalau seperti ini kapan nelayan akan sejahtera? Menunggu sampai ikan di laut habis oleh aksi illegal fishing kapal asing yang berkolaborasi dengan penjahat dalam negeri? atau memang nelayan tidak akan bisa sejahtera? Sulitkan membuat nelayan sejahtera? Kabar tentang impor ikan semakin membuat nelayan sesak dadanya, kenapa pejabat negeri ini berperilaku kayak tengkulak. Berpikir hanya mencari untung semata.
Kebijakan Diskriminatif
Subsidi BBM untuk nelayan sebagai modal utama mencari ikan sangat kecil, bahkan sangat kecil. Setiap tahun nelayan membutuhkan 1,2 juta kiloliter. Kebutuhan total BBM bersubsidi sektor perikanan setiap tahun mencapai 2.516.976 kl, meliputi 1.955.376 kl untuk nelayan dan 561.600 kl untuk pembudidaya ikan. Tahun 2009, Pertamina hanya mampu menyalurkan 1,32 juta kl. Bagaimana nelayan akan melaut kalau BBM saja tidak ada? Bandingkan dengan BBM subsidi yang dinikmati pemilik mobil mewah di kota–kota besar, sangat menyedihkan.
Selain BBM kebutuhan akan peralatan tangkap, minimnya peralatan tangkap membuat nelayan sangat terbatas dalam beroperasi menangkap ikan. Bantuan kapal–kapal besar yang bertonase di atas 10 gros ton tidak mampu dikelola nelayan dengan baik karena minimnya kemampuan dan operasional. Kebijakan salah arah berupa bantuan kapal ini akhirnya dinikmati cukong–cukong bermodal besar yang akhirnya menjadikan nelayan sebagai buruh semata, bukan nelayan tapi buruh nelayan. Ironisnya setiap tahun model bantuan ini terus saja diduplikasi oleh APBN dan APBD propinsi.
Ketimpangan kebijakan juga terjadi pada faktor perlindungan kepada nelayan akan akses keamanan dan bencana alam. Dua faktor ini sampai sekarang belum ada payung hukum yang bisa melindungi mereka. RUU Kelautan sejak jaman Megawati sampai SBY menjabat dua kali belum juga berhasil disahkan menjadi UU dan PP sebagai tindaklajutnya. Kisah penangkapan dan kematian nelayan di Malaysia seolah hanya angin lalu. Kasus kematian nelayan di Jepara karena terhantam ombak juga tidak ada solusi sistematis dari pemerintah, saat nelayan terkena bencana kelaparan bahkan kematian akibat bencana alam sikap pemerintah hanya iba dan memberikan santunan ala kadarnya sebagai tanda sedih. Nelayan tidak membutuhkan belas kasihan karena faktor kemanusian semata, itu tugas sebagai sesama manusia. Pemerintah tugasnya memberikan kepastian hukum dan legalitas skala nasional sebagai wujud keseriusan melindungi nelayan.
Akhirnya faktor kebijakan, keamanan, ketersedian BBM dan alat–alat tangkap yang nyaris tidak serius diurus oleh pemerintah akhirnya NTP (Nilai Tukar Nelayan ) sebagai rangkuman kesejahteraan nelayan setiap tahun tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Ternyata kebijakan pengentasan kemiskinan mulai tahun 2006 sampai 2010 belum mampu mengurangi angka kemiskinan nelayan, bahkan semakin bertambah.
Kemiskinan nelayan seiring dengan Nilai Tukar Nelayan yang sampai sekarang juga semakin mengenaskan. Kalau di petani ada Nilai tukar petani sekarang mulai menunjukkan kenaikan, di nelayan menunjukkan kemunduran.
Menurut data DKP 2001 Jumlah seluruh KK nelayan tahun 1998 = 4 juta orang dengan pendapatan kotor per KK per tahun = Rp4.750.000. Pendapatan kotor per KK per bulan = Rp395.383. Data statistik yang lain menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp48.301,- per hari. Berdasarkan data Dirjen Perikanan Tangkap DKP, pada 2007 rata-rata pendapatan 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia hanya sebesar Rp445.000 per keluarga per bulan.
Berdasarkan hasil perhitungan BPS, NTN tahun 2008 terdapat peningkatan, yaitu hingga Desember 2008 mencapai angka 103,9. Jumlah ini meningkat sebesar 1,04% dibandingkan pada awal tahun, bulan Januari 2008 yang hanya sebesar 99,7. Artinya, pada akhir tahun 2008, nelayan telah dapat menyimpan hasil pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Meskipun di awal tahun mengalami ketekoran biaya hidup. Melihat kondisi ini memang miris sekali kondisi keluarga nelayan. Dengan pendapatan 445.000/bulan mana mungkin mereka berpikir akan pendidikan, kesehatan, untuk kebutuhan pangan saja tidak bisa makan 3 kali sehari.
Data Badan Pusat Statistik (2011) terlihat bahwa rata-rata nilai tukar nelayan nasional per September 2011 tercatat hanya mencapai 103.80 atau menurun jika dibandingkan tahun 2009 yang nilainya mencapai 105.05. Kita cermati sejak 2008–2011 sekarang NTN nelayan semakin turun, artinya kesejahteraan nelayan juga semakin turun dan semakin miskin.
Inilah ironi di hari Nusantara yang jatuh tanggal 13 Desember, nusantara yang kaya raya ternyata belum mampu membuat nelayan sejahtera. Bukan karena laut atau sumber daya alam kita yang terbatas, namun kebijakan dan kepedulian pemimpin kita jauh dari harapan.
Riyono
Sekjen DPP Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia
Opini Okezone 13 Desember 2011
14 Desember 2011
Kapan Nelayan Sejahtera?
Thank You!