Agenda pemberantasan korupsi belakangan ini terasa stagnan dan merisaukan bagi perkembangannya di tahun-tahun mendatang.
Keadaan ini tak saja diperlihatkan oleh tidak melajunya kurva indeks persepsi korupsi tahun 2010 (2,8) dari tahun sebelumnya. Hal itu juga ditunjukkan oleh cenderung melemahnya kelembagaan antikorupsi dan menguatnya perlawanan balik koruptor seiring dengan semakin terkonsolidasinya oligarki elite dalam fragmentasi politik di era demokrasi saat ini.
Demokrasi yang kita perjuangkan dengan susah payah sampai sekarang belum cukup terbukti bekerja melahirkan pemerintahan yang bersih dan membawa kemakmuran bagi orang banyak. Malah, bersama-sama dengan lembaga penegak hukum, parlemen dan partai politik berada dalam urutan teratas institusi paling korup pada laporan Global Corruption Barometer 2010 seperti tahun-tahun sebelumnya. Barangkali sekarang tak satu pun yang berani mendaku partai bersih.
Kembalinya korupsi predatori
Sekretariat Gabungan Partai Koalisi yang belakangan ini lebih berpengaruh dalam pembuatan kebijakan strategis pemerintah ketimbang DPR patut dikhawatirkan sebagai pertanda menguatnya gejala pembajakan negara: kendali ekonomi politik dikuasai dan diarahkan demi kepentingan sekelompok kecil elite. Bisa jadi tak akan lama lagi lembaga-lembaga kuasinegara produk reformasi, selain diamputasi kewenangannya, juga akan dikooptasi oleh persekongkolan kepentingan elite politik dan bisnis yang belakangan ini sedikit terganggu oleh kehadiran lembaga-lembaga independen tersebut.
Gelagat kembalinya tipologi korupsi predatori yang masif dan rakus dalam sistem kekuasaan yang sudah terkonsolidasi, seperti pada era Orde Baru, mulai menampakkan bentuknya menggantikan model korupsi transaktif yang lazim dalam sistem politik multipartai dan kekuasaan politik terfragmentasi.
Realitas reformasi birokrasi untuk menekan tingkat korupsi secara sistematis, yang menjadi salah satu program prioritas Presiden SBY pada pemerintahannya yang kedua ini, mulai banyak diragukan banyak orang oleh kontradiksi yang mencuat di permukaan. Belakangan kasus mafia pajak Gayus seperti sebuah cerita tak berujung. Ia terus merembet menguak kebobrokan di kepolisian, kejaksaan, imigrasi, penjara, dan entah apa lagi.
Yang hampir tak bisa dipercaya, pemerintahan SBY tak memperlihatkan kerisauan dan segera mengambil langkah besar memperbaiki keadaan. Ketika ada peluang emas memperbaiki institusi kepolisian dan kejaksaan pada pergantian kedua pemimpin lembaga itu lagi-lagi tak digunakan oleh Presiden SBY. Dia malah memilih figur yang tak punya rekam jejak melakukan perubahan besar.
Kejengkelan umum atas berlarut-larutnya penyelesaian kasus Gayus diperparah dengan lambannya KPK. Lembaga itu seperti sungkan mengambil alih kasus Gayus dari tangan polisi. Meski sudah terlihat cenderung melokalisasi kasus Gayus berhenti di Gayus dan dieksploitasi pada kasus-kasus cabang tersiernya, polisi tak berani menyentuh pokok kasusnya, khususnya menyangkut perusahaan yang menggunakan jasa Gayus memanipulasi kewajiban pajaknya.
Di sini KPK harus dikritik karena tak memperlihatkan diri sebagai lembaga superbodi, tetapi justru menempatkan diri dalam subordinasi polisi dan jaksa. Sikap itu akan menghancurkan lembaga ini di kemudian hari di tengah ancaman pelemahannya oleh kepentingan-kepentingan elite politik dan bisnis yang tak menghendaki pemberantasan korupsi secara radikal.
Boleh dicurigai
Belakangan KPK mulai mengembangkan sendiri penyidikan kasus Gayus. Kita berharap KPK juga tak berhenti pada upaya represif, tapi melanjutkannya untuk membenahi kelembagaan yang terkait di seputar kasus Gayus.
Belajar dari preseden panja-panja sejenis sebelumnya, pembentukan Panja Pajak oleh DPR boleh dicurigai akan semakin menambah runyam persoalan dan jadi faktor pengganggu proses penyelesaian hukum kasus Gayus oleh KPK. Masyarakat harus berada di belakang KPK untuk menghadapi tekanan-tekanan politik yang mungkin terjadi.
Kita masih berharap pemerintahan SBY akan melakukan koreksi dan merumuskan kembali agenda reformasi birokrasi dengan visi dan rencana aksi yang lebih konkret. Target pemerintah untuk mencapai indeks persepsi korupsi 5,0 pada tahun 2014 diperlukan gagasan besar, langkah besar, dan kepemimpinan yang kuat untuk menggerakkan seluruh jajaran pemerintah melakukan perubahan fundamental. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum diharapkan melakukan perubahan-perubahan sistematis—bukan kasuistik—dalam memerangi mafia hukum.
Terakhir, melihat perkembangan yang mencemaskan ini, gerakan sosial antikorupsi harus mengonsolidasi semua elemen reformis, membuka ruang politik yang lebih luas, dan mencari cara-cara baru yang lebih berpengaruh. Perang melawan oligarki korup adalah dengan memutus jalur logistik, pengikut dan pendukungnya; membongkar operasi kotor bisnis mereka; dan memperkuat KPK.
Teten Masduki Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
Opini Kompas 17 Januari 2011