18 Januari 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Subsidi Kolektif untuk Guru Swasta

Subsidi Kolektif untuk Guru Swasta


 

Wacana

15 Januari 2011

Subsidi Kolektif untuk Guru Swasta

  • Oleh Asmadji As Muchtar
APA jadinya dunia pendidikan di Jateng jika tidak banyak orang bersedia menjadi guru swasta atau guru honorer (non-PNS)? Inilah pertanyaan penting yang harus didiskusikan, dan pertanyaannya bisa dilanjutkan. Misalnya, apa jadinya dunia pendidikan kita jika tidak ada banyak sekolah swasta (termasuk pesantren)? Mengapa banyak orang bersedia mendirikan sekolah swasta dan menjadi guru swasta?

Pertanyaan pertama dan kedua bisa dijawab dengan satu kata: runyam. Pasalnya, dunia pendidikan di Indonesia, termasuk di Jateng, akan sangat sulit mengangkat sebagian besar anak bangsa dari kebodohan jika tidak didukung oleh banyak guru swasta dan sekolah swasta.

Layak diungkapkan, dengan anggaran pendidikan yang kurang dari 20 persen, negara kita  bisa dikatakan mustahil mampu memberikan pendidikan memadai bagi anak-anak bangsa. Untungnya, banyak orang bersedia menjadi guru swasta ataupun mendirikan sekolah swasta untuk membantu negara dalam mendidik anak-anak bangsa.

Karena itu, negara layak berterima kasih kepada guru swasta dan pengelola sekolah swasta. Hal ini harus diimplementasikan melalui kebijakan subsidi kolektif agar tercipta keadilan dalam dunia pendidikan yang notabene sebagai dapur untuk menggodok generasi baru yang akan menentukan masa depan bangsa dan negara.

Yang dimaksudkan dengan kebijakan subsidi kolektif adalah bantuan pemerintah melalui sejumlah departemen untuk meringankan guru swasta dan sekolah swasta berkaitan dengan beban dan tugasnya mendidik anak-anak bangsa. Misalnya, buku pelajaran dan buku bacaan berbagai cabang ilmu  (ekonomi, perindustrian, perdagangan, pariwisata dan budaya, sosial, perhubungan, dan sebagainya) diterbitkan oleh departemen masing-masing kemudian dibagikan secara gratis kepada guru swasta dan sekolah swasta untuk membangun perpustakaan di sekolah.

Perlu diingat, salah satu kebutuhan setiap guru adalah buku-buku untuk mengajar di depan kelas. Jika tidak mendapat bantuan, guru swasta terpaksa membelinya sendiri, padahal gajinya sangat kecil. Bahkan ada gaji guru swasta yang lebih layak disebut uang transpor saja.

Jika semua departemen memberikan subsidi dalam bentuk buku  bagi guru swasta dan bagi sekolah swasta, mutu sekolah swasta kita tentu akan lebih baik lagi dan mampu bersaing dengan sekolah negeri. Bahkan, bukan tidak mungkin muncul banyak sekolah swasta yang lebih bermutu dibanding sekolah negeri.
Sebagai Ibadah Ungkapan terima kasih kepada guru-guru swasta juga layak diimplementasikan dalam bentuk bantuan uang atau materi oleh  kalangan pengusaha besar dan menengah di seluruh Tanah Air. Misalnya, masing-masing pengusaha secara rutin memberikan santunan kepada guru swasta di daerah masing-masing.

Dengan mendapatkan santunan rutin dari pengusaha maka guru swasta akan lebih bersemangat mendidik murid-muridnya, berapa pun nilai santunan yang didapatkannya. Sebab, santunan dalam bentuk uang atau materi tidak bisa dinilai sebatas angka-angka, karena berkaitan dengan niat baik dan sikap apresiatif terhadap dunia pendidikan.

Sedangkan untuk menjawab pertanyaan ketiga, bisa dijawab dengan dua kata: sebagai ibadah. Dalam hal ini, banyak orang sudi menjadi guru swasta karena pekerjaan mengajar dianggap sebagai ibadah. Memang, bagi guru swasta pekerjaan mengajar bukan semata-mata bertujuan mendapatkan gaji melainkan juga untuk mendapatkan pahala. Ini jelas terkait dengan keimanan masing-masing.

Memang, sebagian di antaranya ada yang terpaksa menjalani profesi sebagai guru swasta agar tidak menjadi pengangguran, karena satu-satunya lowongan pekerjaan yang ada dan dianggap cocok adalah menjadi pengajar di depan kelas. Tapi semuanya cenderung disiplin karena tidak semata-mata mencari uang.

Semangat beribadah guru-guru swasta yang diimplementasikannya dengan menekuni profesi sebagai pengajar akan berlipat ganda jika banyak pihak bersedia berterima kasih kepada mereka dengan memandang sekolah swasta bukan sebagai lembaga pendidikan sekunder. (10)

— Doktor Asmadji As Muchtar, pendidik swasta, tinggal di Kudus 
Opini Suara MErdeka 15 Januari 2011