Jika terhitung sejak awal penerapannya, maka Januari  2011 ini usia Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) telah  genap satu tahun. 
Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat  Statistik belum lama melansir keadaan terakhir neraca perdagangan  Indonesia dengan China periode Januari- November 2010.
Dari data  tersebut didapat bahwa ekspor Indonesia ke China telah meningkat dari  12,4 miliar dollar AS menjadi 17,7 miliar dollar AS. Sisi positif  lainnya juga dikatakan bahwa ekspor didominasi oleh produk industri,  bukan bahan mentah. Sayangnya, neraca perdagangan total tetap tak bisa  bohong bahwa defisit neraca perdagangan Indonesia-China pada periode  yang sama mencapai 5,3 miliar dollar AS, meningkat 1 miliar dollar AS  dibanding tahun sebelumnya.
Hal ini tentunya menjawab kekhawatiran  berbagai khalayak terhadap dampak berlakunya ACFTA. Apalagi China kini  menjadi tujuan ekspor nomor dua menggeser posisi Amerika Seri- kat.  Keadaan ini juga mengubah kerangka ketergantungan ekspor Indonesia dari  Amerika Serikat ke China.
Melepas ketergantungan
Nilai  strategis Indonesia dalam konteks ekonomi belakangan mencuat. Ketahanan  usaha sektor informal Indonesia yang masih kuat menjadikan negara ini  tidak rentan terhadap potensi krisis finansial berskala global sehingga  pasarnya masih mampu menyerap produk-produk industri. Yang terpenting,  berbagai pemberitaan internasional belakangan turut memersepsikan  Indonesia sebagai negara dengan potensi pasar menggiurkan.
Dalam  keadaan seperti ini, jika kapasitas negara tidak segera berlari mengejar  persepsi internasional yang berkembang, ketergantungan terhadap negara  lain akan membayangi prospek ekonomi kita. Keohane dan Nye (1989)  berpendapat dalam teori interdependensi bahwa negara yang bergantung  lebih kepada pihak lainnya akan semakin rentan mempertahankan  independensinya. Akhirnya negara hanya mengikuti yang dikehendaki  mitra-(dagang)-nya (Kroll, 1993).
Jika defisit ini diteruskan,  China berpotensi mengontrol pengambilan kebijakan di Indonesia.  Kekhawatiran ini terus menguat karena beberapa alasan.
Pertama,  China belum menganggap perjanjian perdagangan bebas yang ia jalin selama  ini sebagai satu hal yang serius. China masih berkonsentrasi  mengakselerasi pertumbuhan industri lokal, pemetaan industri strategis  domestik, serta mengamankan pasokan energinya (energy security). Tidak  seperti Jepang atau Korea Selatan yang menjalin perdagangan bebasnya  dengan negara-negara maju, perjanjian perdagangan bebas terbesar China  baru dijalin dengan ASEAN.
China juga membangun perdagangan bebas  hanya pada sektor-sektor ringan, seperti pertukaran barang dan jasa.  Negeri Tirai Bambu itu belum berpikir untuk masuk ke ranah investasi,  kompetisi, proyek pengadaan, hak kekayaan intelektual, lingkungan, dan  perburuhan (M.Wan, 2011: 32). Belakangan para pengamat domestik China  tengah mendesak pemerintahnya agar lebih serius menggarap lahan  perdagangan bebas ini.
Kedua, China serius mendongkrak bantuan  pembangunan infrastruktur di Indonesia. Setelah Jembatan Suramadu,  Pemerintah China meminjamkan 800 juta dollar AS untuk empat proyek  pembangunan jalan, dua di antaranya jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuhan  (Cisundawuh) dan Medan-Kualanamu; serta dua lainnya dibiayai oleh Bank  Exim China, yakni Jembatan Tayan, Kalimantan Barat, dan Jembatan Teluk  Kendari, Sulawesi Tenggara.
Diplomasi infrastruktur memang  belakangan diperkenalkan China. Bukan hanya di Indonesia, melainkan di  hampir semua negara mitra bisnisnya. Metode ini merupakan cara baru yang  belum pernah dilakukan negara Asia Timur mana pun. Beberapa proyek lain  di ASEAN adalah pengelolaan Greater Mekong River dan Tumen River  Project, serta rencana pembangunan jalur kereta cepat  Bangkok-Vientiane-China selatan.
Ketiga, China disebut-sebut  sebagai ”The Nation of Wal-Mart” oleh Shenkar (2005). Kemampuan  produksinya yang tinggi menggiurkan pedagang (retailer) karena harganya  bersaing di pasar asing. Inilah alasan mengapa belum ada satu pun negara  maju yang menyepakati perdagangan bebas dengan China (kecuali Selandia  Baru). Australia, misalnya, masih alot bernegosiasi dengan China sejak  2005.
Mencari celah
Surplus  perdagangan memang bukan mustahil, meski perlu usaha ekstra keras untuk  membalik keadaan. Kita sempat mengalami surplus perdagangan dengan  China pada periode 2000-2007. Namun, memasuki 2008, neraca perdagangan  kita defisit. Artinya, tanpa perjanjian perdagangan bebas pun, angka  perdagangan kita telah jatuh terhadap China.
Jika kita jatuh di  jurang dalam keadaan terluka, maka yang paling bisa dilakukan adalah  menyembuhkan luka-luka kecil sembari mencari jalan keluar. Luka-luka  kecil yang harus ditutup itu adalah kita tidak boleh membiarkan  perekonomian kita jatuh pada arus utama, artinya produksi besar harus  melibatkan produsen kecil, sehingga menghidupkan kembali UMKM.  Pemerintah juga bisa menerapkan peraturan menambah muatan lokal dalam  setiap produk China yang masuk, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Terakhir,  ketika aspek ekonomi ACFTA menyudutkan, pemerintah harus memainkan  eksternalitas politik dari perdagangan bebas ini. Peran Indonesia  sebagai Ketua ASEAN dan penengah antara Barat dan China dalam KTT Asia  Timur harus menopang independensi kita terhadap China. Posisi politik  ini menjadi kunci penting bagi hubungan segi tiga AS, China, dan ASEAN,  dengan menyulap peluang menjadi dilematis bagi ketiga aktor di atas.
Pamungkas Ayudhaning Dewanto Editor Global: Jurnal Politik Internasional, Departemen HI, FISIP UI
Opini Kompas 17 Januari 2011