Sepanjang 2010 hingga awal tahun ini, publik menyaksikan badai besar masih menghantam sistem hukum, lembaga penegak hukum, dan para aparat hukum.
Kini praktis seluruh lembaga negara bahkan telah terjangkiti anasir-anasir yang melakukan praktik korupsi, kolusi, suap-menyuap, dan beragam penyalahgunaan wewenang lainnya. Berbagai perbuatan yang tergolong aneh bagi banyak orang juga bermunculan seperti tukar guling napi, jalan-jalan bagi tersangka yang ditahan ke Bali dan luar negeri, dan sebagainya. Jika badai besar ini tak segera diatasi, jangkauan jaringan pelanggar hukum itu akan semakin luas, mendalam, dan mampu bertahan meski pemerintahan berganti. Rasanya, kasus pelesiran Gayus membuktikan jangkauan jaringan pelanggar hukum tersebut merasuk ke semua lini, mulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, imigrasi, hingga aparat pemerintahan daerah di lini terbawah.
Ketika jaringan tersebut gagal dibongkar, krisis kepercayaan publik akan semakin besar. Upaya pengembaliannya pun akan semakin sulit dan mahal. Akibatnya, setiap upaya reformasi dan perbaikan akan memasuki lingkaran setan tak berujung. Karena itu, seluruh lembaga negara, baik pemerintah, DPR, maupun lembaga dan para penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, KPK, pengadilan, dan pengacara harus bersinergi dan bekerja keras untuk merehabilitasi status Indonesia sebagai negara hukum. Pengembalian status itu penting bukan saja karena merupakan amanat konstitusi Pasal 1 ayat 3 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum serta Pasal 27 ayat 1 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.
Namun, yang juga penting adalah negara Indonesia, sebagaimana negara-negara bangsa lain di dunia, hanya akan tegak jika kebenaran dan keadilan ditegakkan, serta ada pemerataan manfaat negara bagi seluruh warga negara. Bila pedang keadilan hanya ditujukan bagi mereka yang tidak mampu membayar hukum, tunggulah kehancurannya seperti yang juga menjadi sabda Nabi Muhammad SAW.
Sudahi Basa-basi
Langkah pertama untuk melenyapkan badai hukum tersebut adalah sudahi semua basa-basi, pencitraan, dan segala macam kamuflase pemberantasan mafia hukum. Pengalihan isu pelanggaran hukum yang lebih kecil untuk menutupi pelanggaran hukum yang lebih besar tidak perlu dilanjutkan. Penegakan hukum yang berbau politis dihindarkan sehingga penegakan hukum hanya untuk menegakkan hukum itu sendiri dan keadilan. Selanjutnya, semua lembaga penegak hukum harus memprioritaskan penuntasan kasus-kasus besar dan menonjol.
Yang dimaksud dengan kasus-kasus yang besar dan menonjol adalah yang berpotensi berdampak sistemik dan populer, terutama yang dapat merusak/merugikan keuangan dan perekonomian negara, keamanan dan ketenteraman publik, dan berpotensi meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Kasus-kasus yang termasuk kriteria pertama antara lain dugaan korupsi, pencucian uang, dan pidana perbankan pada Bank Century, pidana perpajakan seperti yang pernah diungkap terkait Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie, Sjahril Djohan, dan lain-lain, pemberi dan pengantar uang suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda S Goeltom, dugaan penggelembungan dari biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery), dugaan ketidaktertiban dalam pencatatan utang luar negeri, alokasi subsidi energi dan subsidi nonenergi, dan sebagainya.
Selain itu, berbagai dugaan kejahatan kerah putih (white collar crime) lainnya seperti transfer pricing, insider trading, dan dugaan rekayasa lain seperti terlihat dalam penawaran saham perdana (IPO) PT Krakatau Steel. Penindakan tuntas kasus-kasus seperti ini diharapkan akan mencegah praktik serupa ketika beberapa BUMN akan melakukan IPO atau right issue tahun ini. Terkait kasus Gayus, kesaksiannya akan keterlibatan para atasannya selayaknya segera ditindaklanjuti. Mulai dari atasan langsung hingga Dirjen Pajak harus segera diperiksa untuk dapat membongkar praktik mafia perpajakan. Tanpa penyelidikan dan penyidikan seperti itu, dikhawatirkan lembaga penegak hukum hanya akan menemukan kasus-kasus remeh-temeh.
Dalam kriteria kedua, publik terganggu dengan kasus pembunuhan wartawan di Maluku yang diduga terkait pemberitaan penimbunan BBM, perampokan bank dan toko emas yang belum terungkap, peredaran senjata api ilegal yang mencuat antara lain dalam kasus gudang senjata di Koja, Jakarta Utara dan pembobolan gudang senjata Brimob oleh Sofyan Tsauri dkk, kasus-kasus pembunuhan, dan lainnya. Umumnya polisi sangat agresif ketika suatu kasus dinyatakan sebagai tindak pidana terorisme, padahal motif kriminal lebih menonjol ketimbang aspek politik dan perjuangan ideologis.
Adapun kasus-kasus yang masuk dalam kriteria ketiga yakni dapat meruntuhkan sendi-sendi kepercayaan publik terhadap penegakan hukum adalah kasus-kasus yang menimpa para penegak hukum itu sendiri. Kasus kriteria ketiga ini sangat menonjol dalam kasus Gayus karena praktis diduga dia dan komplotannya telah menyuap seluruh lini penegakan hukum. Selanjutnya, penggelapan uang dan dugaan rekayasa kasus seputar Gayus Tambunan, kelanjutan penanganan kasus-kasus BLBI di kejaksaan di masa Hendarman Supandji dan KPK di era Antasari Azhar, dan sebagainya.
Cukup Aturan
Pemerintah dan DPR telah sebenarnya berupaya keras melengkapi aturan hukum guna mencegah dan memberantas kejahatan antara lain lahir Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang ini memberi kewenangan kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim dari tindak pidana asal (predicate crime) yang ada di kepolisian, kejaksaan, KPK, dan pengadilan untuk menelusuri dugaan tindak pidana pencucian uang.
Mereka bahkan dapat memerintahkan penundaan transaksi atau pemblokiran harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan dari tindak pidana pencucian uang juga dapat dilakukan tanpa harus membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meningkat pesat. DPR dan pemerintah bahkan sepakat memperkuat PPATK setara dengan Bank Indonesia dalam intervensi terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang PPATK. Siapa pun yang melakukannya dapat dipidana. Kepolisian, kejaksaan, dan KPK diharapkan dapat bekerja sama sebaik-baiknya dengan PPATK.
Lembaga ini sudah mirip badan intelijen finansial (keuangan) sehingga dapat memantau seluruh transaksi keuangan, baik tunai maupun tidak. Apalagi, jika ditemukan transaksi keuangan mencurigakan,transaksi tunai lebih dari Rp500 juta dan transaksi transfer dana dari dan ke luar negeri,bank,perusahaan pembiayaan, asuransi,penyedia barang/ jasa,dan belasan jenis perusahaan lainnya, harus melaporkannya kepada PPATK, termasuk menunda transaksi tersebut. Dengan Undang-Undang Nomor 8/2010, seluruh kasus yang terkait Bank Century seharusnya akan terselesaikan. Dengan demikian, sinyalemen Kabareskrim saat ini Komjen Susno Duadji bahwa ada dana sekira Rp12 triliun hingga Rp13 triliun yang dikuasai pemilik Bank Century di luar negeri akan dapat dikembalikan.
Bagaimanapun, bank dan lembaga keuangan asing mustahil mengembalikan dana sebesar itu tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menetapkan ada tindak pidana perbankan,pencucian uang, dan korupsi di Bank Century. Pengembalian itu juga dapat mengurangi potensi kerugian negara akibat kemungkinan kekeliruan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Akhirnya, kita mendesak dan berdoa agar para nakhoda lembaga penegakan hukum yakni Kapolri Jenderal Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, dan Ketua KPK Busyro Muqoddas dapat menegakkan hukum sebaik-baiknya. Jangan sampai rakyat berpikir bahwa hukum di Indonesia telah runtuh sekalipun langit masih tegak berdiri.(*)
Ahmad Yani SH MH
Anggota Komisi III DPR RI
Opini Okezone 11 Januari 2011
18 Januari 2011
Badai Hukum Harus Berlalu
Thank You!