Secara mengejutkan DPR memilih Abraham Samad sebagai Ketua KPK yang baru menggantikan Busyro Muqoddas. Pilihan ini tidak diperkirakan sebelumnya karena Abraham Samad sebelumnya hanya seorang pengacara dan aktivis antikorupsi di Makassar.
Belum banyak kiprahnya terdengar di tingkat nasional. Apalagi, ada nama-nama besar seperti Bambang Widjojanto atau Yunus Husein yang kemudian justru terpental. Sejauh ini tidak ada persoalan mengenai latar belakang Ketua KPK baru ini. Tidak (belum) ada komplain soal keterlibatannya dengan praktik korupsi atau pelanggaran etika lainnya di masa lalu. Dengan demikian, kita bisa berharap ia tidak memiliki beban untuk memimpin pemberantasan korupsi.
Namun, KPK sesungguhnya berhadapan dengan kepentingan ekonomi politik elite yang selama ini bergantung dari praktik-praktik korupsi. Dalam konteks ini, sehebat apa pun pimpinan KPK, mereka belum tentu mampu menahan gempuran dan perlawanan dari koruptor yang mewakili kepentingan ekonomi politik elite.
Korupsi dan Oligarki Predator
Di balik tekanan publik untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus cek pelawat, kasus-kasus yang melibatkan Nazaruddin hingga kasus Century, KPK telah sampai pada kasus-kasus korupsi yang melibatkan secara langsung kepentingan elite. Kasus-kasus besar itu terkait dengan pusat kekuasaan dan melibatkan jaringan kepentingan elite politik dan ekonomi negeri ini.
KPK telah berhadapan dengan kepentingan oligarki predator pada kasus-kasus besar itu. Oligarki tidak merujuk pada satu keluarga atau kekuatan politik tunggal melainkan aliansi cair antara kepentingan birokrasi, politisi, pengusaha dan kekuatan bersenjata yang dulu direpresentasikan oleh militer tetapi saat ini oleh polisi.
Oligarki ini telah terbentuk dan dibesarkan oleh Orde Baru yang merentang dari istana hingga ke tingkat daerah (Hadiz & Robison, 2004). Selama ini oligarki predator hidup dari praktik mencari rente, mendapatkan fasilitas dan proteksi negara serta berbagai macam korupsi. Ketika Soeharto tumbang, sesungguhnya yang pergi hanya Soeharto sementara oligarki masih tetap utuh.
Oligarki predator juga mampu mempertahankan jaringan dan dominasi hingga ke tingkat lokal di dalam kerangka politik yang baru, terutama setelah kebijakan otonomi daerah. Elite-elite politik lokal kini juga mulai mampu beradaptasi dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Di beberapa daerah elite politik lokal menjalin relasi yang erat dengan oligarki di tingkat nasional.
Pertemuan kepentingan itu merupakan simbiosis yang saling menguntungkan. Oligarki membutuhkan dukungan di tingkat lokal karena dukungan ini sangat penting untuk memenangi politik elektoral. Desentralisasi yang mendelegasikan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah menempatkan posisi elite lokal menjadi sangat penting bagi kepentingan oligarki. Misalnya, konsesi untuk mendapatkan kuasa pertambangan atau pembukaan lahan bagi perkebunan sawit.
Di sisi lain, elite politik lokal membutuhkan dukungan dari oligarki untuk memastikan kepentingan mereka tidak terganggu. Elite politik lokal di Indonesia sangat tergantung pada anggaran publik yang diatur dengan sangat ketat pascaReformasi. Penguasaan elite lokal atas politik tidak akan ada artinya bila mereka dibatasi oleh aturan-aturan yang ketat untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya publik di tingkat lokal yang sangat penting untuk mempertahankan basis dukungan politik.
Keberadaan KPK sesungguhnya adalah ancaman bagi konsolidasi oligarki dan keberlanjutan koalisi dengan elite lokal. KPK yang didesain sebagai lembaga independen dengan kekuasaan yang besar dalam penindakan terbukti mampu mengacak-acak kerja sama ini. Eksistensi oligarki predator juga bisa dilihat pada para pengusaha terkaya di Indonesia. Praktis tidak ada wajah yang benar-benar baru dari para pengusaha terkaya di Indonesia.
Reformasi ekonomi dan structural adjusment program (SAP) yang didorong oleh IMF pascakrisis ekonomi 1997 tidak berhasil mengubah struktur ekonomi Indonesia. Yang terjadi adalah bangkitnya kembali konglomerasi lama yang sempat terpuruk pada krisis finansial tahun 1997 lalu. Bahkan, seperti ditulis oleh Christian Chua dalam studinya tentang pengusaha China di Indonesia pascaReformasi (Chua, 2008), sistem demokrasi dan otonomi daerah justru memberikan jalan bagi konglomerasi lama untuk langsung mengakses sumber daya publik.
Bila dulu mereka harus mendapatkannya melalui dan di bawah koordinasi Soeharto, kini mereka mampu melakukannya secara langsung. Sistem demokrasi justru melapangkan jalan bagi konglomerat untuk mengakumulasi modal. Demikian juga pengusaha pribumi yang dulu pada masa Orde Baru berada di bawah kendali Soeharto, kini justru malah dengan leluasa bisa mendominasi politik.
Dalam konteks ini, keberadaan KPK jelas menjadi hambatan yang sangat nyata. KPK menjadi faktor yang berada di luar kontrol dan mampu mengancam kepentingan bisnis mereka. Kasus cek pelawat menjadi contoh riil bagaimana KPK telah mengganggu kepentingan bisnis oligarki. Karena dilindungi oleh kepentingan langsung oligarki, terutama kekuatan modal nasional dan regional, maka Nunun sangat sulit untuk ditangkap KPK.
Mencegah kompromi
Berangkat dari kerangka pemikiran oligarki, maka korupsi bukanlah tindakan individual. Korupsi tidak didorong semata-mata untuk memperkaya diri sendiri atau hidup hedonis dan bergelimang harta. Korupsi adalah strategi untuk mempertahankan dominasi atas negara untuk mengontrol alokasi dan distribusi sumber daya publik.
Oleh karena itu, korupsi tidak cukup diperangi melalui penegakan hukum, apalagi oleh KPK sendirian. Korupsi hanya bisa diberantas melalui gerakan sosial yang terus dilakukan tanpa kenal lelah. Mesin korupsi adalah kepentingan oligarki predator yang hanya bisa dimatikan melalui perlawanan terhadap praktik korupsi di semua lini.
Abraham Samad yang dipilih sebagai Ketua KPK oleh DPR bisa dibaca bahwa ia dianggap mampu menjamin kepentingan oligarki predator. Abraham yang belum banyak dikenal oleh publik dianggap mampu mengamankan kepentingan politisi dan kepentingan predator dalam skala yang lebih luas.Tetapi, KPK bukan hanya dipimpin oleh satu orang melainkan oleh lima orang secara kolektif.
Karena posisinya independen, KPK juga relatif otonom ketika melakukan penegakan hukum. Dan, tentu saja tekanan dan kritik dari publik harus terus dilakukan agar KPK tidak berkompromi dan menyerah ketika berhadapan dengan kepentingan predator.
J DANANG WIDOYOKO
Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)
Opini Okezone 7 Desember 2011
13 Desember 2011
Oligarki, Korupsi, dan KPK
Thank You!