Setiap tanggal 3 Desember, dunia internasional memperingatinya sebagai HIPENCA (Hari Internasional Penyandang Cacat). Hipenca merupakan seremoni internasional yang disponsori oleh PBB sejak tahun 1992.
Selain untuk mengembangkan wawasan masyarakat akan persoalan yang berkaitan kehidupan penyandang cacat (Penca), juga memberikan dukungan untuk meningkatkan martabat, hak dan kesejahteraan mereka. Hipenca merupakan wujud pengakuan dunia terhadap eksistensi Penca.
Adapun tema Hari Internasional Penyandang Cacat (Hipenca) 2011 ini yang diangkat oleh pemerintah melalui Kementerian Sosial adalah “Bersama Penyandang Cacat/Disabilitas Dalam Pembangunan: Wujudkan Dunia yang Lebih Baik Bagi Semua”.
Pemikiran Keliru
Kondisi sosial penyandang cacat pada umumya dinilai dalam keadaan rentan, baik dari aspek ekonomi, pendidikan, keterampilan maupun kemasyarakatannya. Kondisi inilah yang membawa situasi sikap mereka belum seluruhnya proaktif memanfaatkan lembaga sosial pendidikan yang ada sebagai suatu kebutuhan.
Secara ekstern, bahkan masih ada keluarga yang menyembunyikan anggota keluarganya yang cacat terutama di pedesaan. Di sisi lain, masih ada masyarakat yang memandang dengan sebelah mata terhadap keberadaan dan kemampuan para penyandang cacat. Padahal tidak sedikit dari para penyandang cacat mampu berprestasi di bidangnya, lebih-lebih setelah melalui proses pendidikan atau rehabilitasi sosial dan penyantunan.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, "Apakah benar penyandang cacat atau keluarganya itu sendiri penyebab utama mereka menutup diri? Apakah sikap itu bukan sebagai refleksi atas masih adanya pandangan keliru di antara sebagian kecil masyarakat terhadap potensi penyandang cacat?"
Kedua pertanyaan tersebut mungkin benar pula adanya. Artinya, fenomena kedua-duanya saling mempengaruhi, sebab memang ada unsur masyarakat baik perseorangan, komunitas maupun strata sosial tertentu yang belum atau kurang responsif terhadap peningkatan harkat dan martabat penyandang cacat.
Apalagi pemahaman terhadap kompleksitas permasalahannya, maupun kepeduliannya terhadap pemberdayaan penyandang cacat, bagi mereka yang seperti itu jelas sikapnya kurang mendukung terhadap usaha-usaha pembinaan terhadap penyandang cacat.
Di Pemerintahan pun hingga kini masih terdapat pemikiran keliru bahwa masalah penyandang cacat identik dengan urusan Departemen Sosial. Ini terbukti, saat Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) beraudiensi dengan Presiden bulan Juli 2011 lalu seusai menyelenggarakan Musyawarah Nasional. Satu-satunya menteri yang diminta Presiden mendampingi adalah "Menteri Sosial".
Presiden baru menyadari bahwa seharusnya ada menteri-menteri lain saat Ketua Umum Pertuni Didi Tarsidi menyampaikan bahwa seharusnya penanganan masalah tunanetra - dan penyandang cacat lain - dilakukan lintas departemen, bukan hanya Departemen Sosial. Mendengar itu, Presiden pun berjanji akan mengadakan rapat kabinet khusus bersama Menkokesra dan Menteri-Menteri terkait lainnya untuk membahas kebijakan Pemerintah dalam pemberdayaan tunanetra.
Data Belum Akurat
Kementerian Sosial RI memperkirakan populasi penyandang Cacat Indonesia sebesar 3,11%. Sedangkan menurut data Kementerian Kesehatan memberikan angka yang lebih sebesar yaitu 6%.
Sementara itu, laporan WHO juga menyebutkan, jumlah penderita cacat tubuh, mental dan sosial di dunia saat ini sekitar lebih dari 600 juta orang. Delapan puluh persen dari jumlah itu berada di kalangan negara-negara berkembang. Perlu diketahui juga, anak-anak mengambil porsi sepertiga dari total penderita cacat dunia. Dari setiap sepuluh anak yang lahir di dunia, seorang diantaranya menderita cacat bawaan atau pun mengalami cacat pasca masa kelahiran akibat beragam insiden. Sebagian besar kasus cacat yang terjadi pasca kelahiran disebabkan gizi buruk, kemiskinan, minimnya pengetahuan soal kesehatan, dan kecerobohan dalam menjaga kesehatan serta beragam faktor lainnya yang merupakan dampak dari ketertinggalan masyarakat.
Di sisi lain, menurut perkiraan Bank Dunia, 20 persen dari penduduk termiskin di dunia adalah kalangan penyandang cacat. Beragam hasil penelitian menunjukkan, persoalan utama yang banyak dihadapi penderita cacat saat ini ternyata bukan hanya disebabkan oleh faktor kesehatan, tapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Sebagian besar penderita cacat mengalami persoalan fisik, budaya dan sosial. Hambatan sosial, merupakan salah satu penghalang utama bagi penyandang cacat untuk memperoleh fasilitas publik yang layak. Di sisi lain,tidak adanya pandangan sosial yang obyektif telah meminggirkan penderita cacat dari lingkaran interaksi sosial yang sehat.
Dari ketidakakuratan data ini mengakibatkan anggaran yang diterima dirasa sangat minim, maka perlu dilakukan terobosan dengan melakukan kerjasama dengan dunia usaha dan kerjasama Internasional (lembaga-lembaga donor).
Sinergisitas Pemberdayaan
Dalam al takafu al ijtima’I fi al islam (Ulwan, 2001) dijelaskan bahwa Islam memiliki konsep paripurna tentang solidaritas atau kesetiakawanan social yang dipikulkan ke atas pundak masyarakat -baik secara personal maupun kolektif- dan negara. Solidaritas disini tidak terbatas pada masalah pemenuhan kebutuhan pokok saja atau yang lebih dikenal dengan “Bantuan financial” atau “Jaminan Sosial”. Tapi mencakup pendidikan akidah, hati nurani, pembentukan jati diri, dan kepribadian serta perilaku sosial dalam tata hubungan keluarga, masyarakat, dan kemanusiaan secara universal.
Tujuan puncaknya adalah meraih hidup mulia dan bahagia disini (dunia) dan disana (akhirat) nanti. Ada delapan aktivitas social sebagai sasaran solidaritas Islam; perlindungan dan pengasuhan anak, memelihara anak yatim, mengayomi anak terlantar, memelihara para pengidap penyakit dan memberdayakan penyandang cacat, membimbing penderita kelainan jiwa, melindungi para janda, melindungi para orang LANSIA dan lemah.
Hal itu bisa dimulai dari level keluarga. Dalam setiap rumpun keluarga besar pasti ada yang kaya, menengah dan miskin. Jika keluarga yang kaya dan menengah mau menyisihkan sebagian harta mereka untuk meringankan kesulitan ekonomi yang miskin, niscaya tak ada keluarga yang hidup serbakekurangan di tengah-tengah masyarakat.
Pemerintah Pusat dan Daerah dengan kewenangannya dituntut untuk terus mendorong berbagai kekuatan masyarakat baik perorangan, kelompok maupun Institusi supaya mengembangkan kepeduliannya. Jika selama ini kepedulian itu sebatas menyantuni, maka ke depan diperluas dengan kepedulian di bidang yang lain seperti, pertama, turut aktif memasyarakatkan peraturan perundangan untuk penyandang cacat terutama bagi kelompok masyarakat yang potensial.
Kedua, mendorong masyarakat pengusaha semakin terbuka untuk menerima tenaga kerja penyandang cacat. Ketiga, melakukan kegiatan pembinaan atau pelatihan, sehingga produktivitas kerja dan kredibilitas penyandang cacat semakin berkualitas. Keempat, menjadi penghubung atau mediator bagi kepentingan penyandang cacat di satu pihak dan kepentingan diberbagai Institusi di lain pihak.
Dengan demikian, diharapkan perluasan peran tidak hanya pada unsur masyarakat, tetapi juga oleh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menurut kapasitas, kewenangan dan kemampuan yang dapat diperbuatnya untuk penyandang cacat termasuk dalam hal ini recruitmen CPNS bagi penyandang cacat oleh instansi pemerintah. Melalui sinergisitas ini para penyandang cacat sendiri semakin menyadari pula bahwa "bukan ikan dan bukan pancing yang diperlukannya, tetapi ilmu memancing yang dibutuhkan". Semoga.
Ahmad Arif
Penulis adalah Alumni Fakultas Syariah UIN Jakarta, Livelihood Program Officer Qatar Charity Indonesia Cabang Aceh
Opini Okezone 9 Desember 2011
14 Desember 2011
Ilmu Memancing" Buat Penyandang Cacat
Thank You!