Beberapa hari terakhir ini masyarakat terbebani oleh harga-harga kebutuhan pokok yang naik secara drastis.
Harga kebutuhan pokok yang mengalami kenaikan tersebut di antaranya adalah beras yang mencapai harga Rp 7000/kg, cabai yang mencapai Rp 60.000 / Kg. Sedangkan gula memang tidak mengalami kenaikan karena harganya memang sudah cukup tinggi yaitu Rp 10.000/kg.
Kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok tersebut semakin menambah beban hidup masyarakat kita dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang memang terasa sulit akhir-akhir ini. Dan yang cukup merasakan dampak kenaikan harga-harga tersebut pasti masyarakat menengah ke bawah. Hal ini dapat berakibat terjadinya frustasi sosial dalam masyarakat kita.
Pemerintah sebagai pihak yang turut bertanggugjawab dalam mengontrol harga kebutuhan pokok selalu beralasan kenaikan harga tersebut disebabkan oleh gagal panen akibat cuaca ekstrem. Khusus komoditas cabai, pemerintah mengatakan kenaikan harga akibat berkurangnya pasokan cabai dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akibat erupsi Merapi.
Hal ini membuktikan bahwa sentra produksi cabai kita masih sangat terbatas. Ketika suatu daerah sentra terkena bencana atau gagal panen maka otomatis kebutuhan pangan kita terganggu yang berakibat harga melonjak.
Guna mengatasi kenaikan harga pemerintah menambah stok beras nasional dengan cara yang normatif dan terkesan berjangka pendek yaitu dengan mengimpor 250.000 ton beras dari Vietnam. Ironis memang, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris kini tak mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Beras dan cabai seharusnya merupakan komoditas yang melimpah ruah di negeri ini.
Mahalnya harga tak lepas dari keterbatasan stok dan permainan harga oleh para pedagang besar. Petani kita belum menjadi tuan di negerinya sendiri. Petani kita sampai saaat ini hanya menghasilkan produk tanpa mampu memainkan harga. Apalagi dengan produktivitas yang semakin menurun jelas menyebabkan pertanian kita semakin terpuruk.
Kenapa produktivitas beras dan produk pertanian kita saat ini tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional? Apakah faktor cuaca yang akan selalu menjadi kambing hitam? Tampaknya pemerintah harus mencari konsep lain dalam membangun pertanian kita.
Menurut saya tidak selamanya cuaca yang mesti dikambinghitamkan. Kemampuan kita memproduksilah yang menurun. Hal ini disebabkan—di antaranya—alih fungsi lahan pertanian dan menurunnya minat masyarakat kita terjun di dunia pertanian.
Petani kini dianggap profesi kurang memberi jaminan masa depan. Kita lihat banyak anak–anak muda desa (termasuk saya) yang enggan terjun ke bidang pertanian.
Propetani
Profesi petani tidak elitis dan kurang memberi jaminan kelangsungan hidup. Mereka lebih tertarik menjadi buruh pabrik atau berurbanisasi ke kota. Sedangkan gologan anak muda yang mengeyam pendidikan perguruan tinggi tidak berminat melirik pertanian. Para sarjana itu—terutama sarjana pertanian—lebih banyak bekerja di sektor perbankan, jasa dan bidang lainnya.
Akibatnya, yang tersisa adalah para petani kita yang berpendidikan rendah, kurang inovatif dan gagap teknologi. Mereka pada umumnya tidak memiliki kemampuan manajemen pascapanen. Akibatnya, ketika mereka panen, pedagang atau tengkulak yang menentukan harga. Mereka terpaksa menyetujui harga yang mungkin di bawah biaya produksi karena tak mampu menyimpan hasil panen lebih lama. Singkatnya petani kita belum mampu menjadi pemain, justru mereka adalah pihak yang sering dipermainkan.
Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan perumahan, perkantoran dan pusat perbelanjaan juga merupakn faktor yang kian menurukan produktivitas pertanian kita. Iklim usaha tani yang kurang mendukung mengakibatkan ketika para kontraktor dan pengusaha membeli tanah mereka dengan harga tinggi mereka pun menjualnya.
Kalau sudah sedemikian, apa yang mesti dilakukan pemerintah? Bukankah pilihan profesi adalah hak setiap warga negara dan menjual tanah adalah juga hak setiap pemilik tanah?
Pemerintah pusat dan daerah perlu mengkaji lagi dan membuat konsep pertanian berjangka panjang menuju swasembada pangan. Pemerintah perlu memberikan iklim usaha yang nyaman di bidang pertanian melalui kebijakan yang propetani.
Dengan iklim usaha yang nyaman melalui kebijakan propetani diharapkan generasi muda berminat terjun ke sektor pertanian, sehingga sentra pertanian tidak hanya di titik-titik tertentu, akan tetapi menyebar sehingga produktivitas kita pun meningkat.
Dalam hal ini pemerintah dapat menggandeng akademisi yang berkompeten. Desa sebagai ujung tombak pertanian mesti dikembangkan, infrastruktur mesti dibangun, dan sumber daya petani kita harus ditingkatkan melalu pelatihan dan kursus-kursus.
Tentunya hal ini bukanlah suatu hal yang semudah mengucapkannya dan membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Namun, tidak ada salahnya pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pertanian kita jika jelas konsep dan pengawasannya.
Kemauan politik pemerintah sangat diperlukan dalam hal ini. Dengan komitmen sungguh-sungguh bukan suatu hal yang mustahil menjadikan kita kembali berswasembada pangan. - Oleh : Daryono Peserta Pelatihan Pertanian Khusus Aktivis Pesantren KTB BP2ER di Cariu, Bogor
Opini Solo Pos 29 Desember 2010
28 Desember 2010
Bertani menuju swasembada pangan
Thank You!