Besok pagi, kita meninggalkan 2010 dan memasuki 2011. Biasanya menjelang akhir tahun banyak lembaga dan media berduyun-duyun merilis laporan akhir tahun dan mengulas kaleidoskop sepanjang tahun sebagai refleksi atas capaian sekaligus kegagalan kita pada tahun yang akan kita tinggalkan.
Ibaratnya, kita diajak menonton sejarah kita selama setahun terakhir supaya bisa banyak belajar agar tidak mengulang kembali kegagalan yang sama di tahun depan. Biasanya pula, ulasan akhir tahun tersebut bersifat parsial serta topikal. Kita sulit menghubungkan satu fakta dengan fakta lain.
Tulisan ini dengan keterbatasan ruang ingin melengkapi ulasan-ulasan akhir tahun yang membanjiri media massa, khususnya dalam rangka mendeteksi gejala-gejala umum modernitas (kemajuan). Tahun 2010 dan 2011 masih berada di awal milenium ketiga.
Masalah-masalah yang muncul di masa-masa sekarang masih merefleksikan konsekuensi-konsekuensi dari kemajuan yang mulai diciptakan manusia sendiri sejak sekitar 50 tahun lalu. Sebagian gagasan tulisan ini terinspirasi oleh tulisan Chandra Muzaffar (2004) mengenai Milenium Ketiga: Sepuluh Paradoks Masa Kita. Di sini, penulis ingin memaparkan lima permasalahan yang mewarnai peradaban kita.
Pertama, di banyak tempat di Indonesia, akhir-akhir ini, terdapat semacam kebangkitan agama yang ditandai oleh menonjolnya simbol-simbol agama dan maraknya ritual di mana-mana. Pada satu sisi, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, ini adalah kabar yang menggembirakan.
Tapi sayangnya, ramainya tempat-tempat ibadah tidak dibare-ngi dengan penghayatan yang mendalam mengenai pesan substansi agama-agama. Akibatnya bukan spiritualitas yang tumbuh tapi malah nilai-nilai pragmatisme. Jarak antara ritualitas agama dan spiritualitas ini menjadi paradoks paling ironis bagi umat beragama di era modern.
Kedua, tahun-tahun belakangan ini juga ditandai oleh masifikasi penyebaran ide demokrasi. Lebih dari 400 Pilkada dalam tiap lima tahunnya diselenggarakan di Indonesia sampai ke pelosok-pelosok daerah terpencil. Lebih-lebih pemilihan kepala desa secara langsung mencerminkan demokrasi prosedural telah masuk ke dalam tulang sumsum tata sosial politik kita.
Paradoks muncul ketika para pemimpin yang dipilih melalui prosedur demokrasi tidak otomatis selalu melayani kepentingan kesejahteraan rakyat. Alih-alih demokrasi sebagai corong kekuasaan rakyat, pada praktiknya demokrasi menjadikan rakyat sebagai bulan-bulanan. Dengan sistem demokrasi diharapkan rakyat bisa mengendalikan para pemimpin yang mereka pilih. Kenyataannya, tidak jarang pasar global justru menjadi pihak nomor wahid yang mengendalikan para pemimpin tersebut untuk memperdayai rakyat manut keinginan kapitalisme.
Persempit realitas
Ketiga, masa di mana kita hidup saat ini ditandai oleh kemajuan pesat teknologi informasi. Kemajuan ini sebenarnya belum lama dibanding dengan sejarah peradaban manusia. Sebagian besar generasi sebelum kita tidak mengenal telepon seluler dan internet. Tapi kini, hampir setiap saat kita dihujani iklan produk-produk terbaru teknologi informasi. Sebagian dari Anda, khususnya kaum muda, silakan menghitung berapa jam dalam sehari berinteraksi dengan tetangga Anda. Bandingkan berapa jam waktu chit chat (iseng) di depan layar komputer atau handphone.
Kemajuan teknologi komunikasi tidak bisa disangkal banyak mempermudah komunikasi antar manusia. Namun, penggunaannya secara berlebihan bisa mempersempit kultur pemahaman manusia mengenai dimensi realitas. Generasi sekarang dididik secara canggih untuk mempersempit realitas dunia yang mahaluas ini ke dalam realitas layar komputer berdiameter antara 8 sampai 15 inci atau LCD handphone berukuran sekitar 3 inci. Paradoks dari kemajuan teknologi komunikasi adalah lahirnya budaya komunikasi tanpa interaksi yang mungkin akan mengakibatkan krisis psikologi manusia modern di masa depan.
Keempat, janji-janji ideologi developmentalism (pembangunan) untuk menyejahterakan penduduk di muka bumi memang terealisasi. Tapi, kesejahteraan besar itu hanya bisa diraih oleh segelintir umat manusia. Benar bahwa aset kekayaan yang diraih manusia saat ini mencapai jumlah yang menakjubkan. Namun lagi-lagi sebagian besar kekayaan itu hanya dimiliki para penguasa ekonomi dan kapital. Sebagian besar orang hidup dengan situasi pas-pasan. Sebagian yang lain hidup dalam kondisi sangat kekurangan.
Kalau baca laporan jurnal orang-orang terkaya di Indonesia, kita bisa menyaksikan daftar 10, 40 atau 100 orang terkaya di Indonesia dengan aset teramat banyak jauh dibanding rata-rata lebih dari 230 juta penduduk lainnya. Paradoks ekonomi mengetengahkan gap atau jurang yang terlalu amat lebar antara si kaya dan si miskin.
Kelima, paradoks terakhir yang bisa kita catat adalah kegagapan kita dalam menghadapi krisis lingkungan dan bencana alam yang belakangan menghunjam kehidupan kita. Sementara itu sebagian krisis lingkungan dan perubahan iklim merupakan ulah kita sendiri.
Agama-agama kurang peduli dengan lingkungan atau setidaknya sudah terlambat dalam menunjukkan kepeduliannya. Sistem demokrasi hanya memedulikan perebutan kekuasaan manusia, tidak prihatin dengan keserakahan manusia yang merebut hak alam. Teknologi menjadi alat canggih untuk menguras kekayaan yang dikandung bumi.
Di tengah kemajuan-kemajuan yang dicapai, kita terlihat sangat compang-camping dalam mengelola alam dan menghadapi bencana alam. Sementara beban potensi bencana di masa depan tidak semakin ringan.
Revolusi kebudayaan
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan agar kita pesimistis dengan masa depan kita. Tapi, ingin menunjukkan kompleksitas masalah yang kita hadapi dan menuntut kerja keras kita bersama. Ancang-ancang refleksi ini di Solo menariknya sudah dimulai, terlepas dari kritik terhadapnya, dengan dibukanya gagasan revolusi kebudayaan.
Oleh sebab itu, pikiran-pikiran kritis terhadap perkembangan di Solo sungguh patut diperhatikan. Ambil contoh sedikit saja, perasaan sebagian warga Solo terhadap perkembangan ekonomi kapitalisme yang tidak selamanya klop dengan ekonomi kerakyatan patut disimak, sebagaimana catatan paradoks keempat di atas. Atau misalnya mulai pudarnya kultur senyum sapa dan uluran tangan yang dirasakan kaum muda jalanan, bandingkan dengan paradoks ketiga di atas, perlu direnungkan.
Paradoks-paradoks lain yang mulai Anda rasakan mengenai perkembangan sosial kita sepatutnya Anda suarakan, biar ada persiapan bersama untuk memperbaiki diri dan tidak kasep. Akhirnya selamat berbenah untuk masa depan kita bersama. - Oleh : Suhadi Cholil Pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM
Opini Solo Pos 31 Desember 2010
30 Desember 2010
Paradoks-paradoks kemajuan
Thank You!