01 Maret 2010

» Home » Jawa Pos » Remistifikasi Konflik Israel-Pelestina

Remistifikasi Konflik Israel-Pelestina

Terbongkarnya Mosab Hassan Yousef, anak salah seorang pemimpin Hamas, Hassan Yousef, sebagai mata-mata Israel (Jawa Pos, 27/2) merepresentasikan kian ruwetnya konflik Israel-Palestina. Pada satu pihak, Israel dengan segala cara berusaha melumpuhkan kekuatan Hamas. Sedangkan pada pihak lain, konflik internal antara Hamas dan Fatah juga tak kunjung reda.

Ironisnya, negara Zionis tersebut tiada henti-hentinya menduduki dan atau melumpuhkan wilayah Palestina, khususnya Gaza. Contohnya, sejak Juni 2007, Israel menutup hampir seluruh wilayah Gaza, mengisolasi kurang lebih 1,5 juta jiwa penduduknya. Bahkan, pasca gencatan senjata Januari 2009, Israel tetap tidak juga membuka perbatasan Gaza.

Melihat penderitaan masyarakat, seluruh negara dunia perlu terlibat secara intens untuk menyelesaikan persoalan konflik berkepanjangan itu secara arif, sistematis, dan holistik. Untuk itu, misi kemanusiaan universal harus dijadikan dasar utama dalam penyelesaian.

Mistifikasi

Salah satu persoalan yang membuat konflik Israel-Palestina demikian ruwet berakar pada adanya (sebagian) orang dan kelompok yang meletakkan persoalan itu sebagai konflik agama atau bahkan benturan antara Islam-Barat. Implikasinya, setiap Israel menyerang atau mengganggu bagian wilayah Palestina atau negara Arab lain, sebagian kelompok umat Islam menyikapinya sebagai serangan terhadap Islam yang harus dilawan melalui perang suci. Demikian pula sebaliknya, manakala kelompok-kelompok dari Palestina, Lebanon, atau lainnya mengirimkan serangan roket dan sejenis ke daerah-daerah Israel, sebagian nonmuslim melihatnya dari sudut pandang apriori dan stigmatik terhadap Islam dan umatnya.

Masalah politik lalu membias menjadi isu yang sarat nuansa agama. Sikap othering dengan segala dampak negatifnya nyaris menjadi bagian tak terpisahkan dari segala proses yang berkembang, mulai upaya perdamaian hingga kontak bersenjata.

Penyeretan agama ke ranah konflik tersebut masuk, di antaranya, melalui mitos yang membayang-bayangi (sebagian) mereka yang terlibat atau terpanggil melibatkan diri dalam konflik. Mitos -meminjam konsep Eliade (1959)- sebagai ide naratif dari sacred history yang mengekspresikan kebenaran absolut mengarahkan angan-angan dan tindakan mereka dalam kehidupan nyata. Itu akan menjadi persoalan serius tatkala mitos yang berkaitan dengan konflik dan sejenisnya dimaknai secara harfiah dan telanjang.

Dalam konflik Israel-Palestina, tema biblikal seperti penaklukan dan penguasaan Raja David dan militernya -eksplisit maupun implisit -menjadi sumber inspirasi bagi kelompok Yahudi tertentu untuk menguatkan dan memperluas Israel dalam kekinian. Bagi mereka, David adalah leluhur Messiah yang mendorong mereka untuk kembali menghadirkannya dari masa ke masa. Sedangkan dalam perspektif muslim, David merupakan sosok nabi yang hadir untuk membasmi kelaliman.

Sejalan dengan itu, Temple Mount yang di dalamnya ada Masjid Al Aqsa diyakini umat Islam sebagai tempat paling suci ketiga sesudah Masjid Al Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah. Karena itu, mereka merasa berkewajiban untuk terus menjaganya dari sentuhan, apalagi serangan, orang nonmuslim. Sedangkan dalam tradisi Yahudi, Temple Mount merupakan tempat Abraham dulu mengorbankan Isak, anaknya. Temple Mount harus kembali dibangun sebagai kuil Yahudi dengan segala misi yang harus dikembangkan dalam realitas kehidupan.

Mistifikasi dengan inward looking menyeret kaum ekstremis-radikal pada kedua pihak dan para pendukungnya di seantero dunia untuk mengembangkan sikap othering. Pada saat yang sama, sikap itu dikerucutkan ke dalam tindakan yang bukan hanya merugikan pihak lain, tapi juga sebagai salah satu pengabsah bagi inkriminasi, eksklusi, hingga tindak kekerasan berdarah dari pihak yang satu terhadap yang lain. Lebih dari itu, mistifikasi membuat kedua pihak yang berkonflik secara khusus serta sebagian umat Islam dan Yahudi secara umum terkooptasi dalam sikap mistrust. Di sinilah konflik politik berkembang menjadi kekerasan yang terus berkepanjangan.

Urgensi Remistifikasi

Berdasar pada interdependensi mitos dan politik dalam konflik Israel-Palestina, Marc Gopin dalam Holy War, Holy Peace (2002) menandaskan perlunya remistifikasi. Tentunya bukan sekadar pembacaan dan pemaknaan ulang, tapi bagaimana mitos tersebut bersifat transformatif bagi penciptaan suasana yang lebih kondusif di kawasan tersebut. Misalnya, terkait dengan Raja David (Nabi Daud), pemaknaannya bukan pada sisi pengembangan kekuasaan atau apakah dia Yahudi atau Islam, tapi pada misi substantif untuk membasmi keangkaramurkaan dan membangun kemanusiaan hakiki yang universal.

Demikian pula dalam memaknai Temple Mount. Karena tempat itu dianggap suci baik oleh umat Islam maupun Yahudi, bahkan kaum Kristiani, tugas tiga umat itu adalah menjaga kesuciannya. Mereka dituntut untuk tidak saling menumpahkan darah atas nama kesucian.

Melalui remistifikasi, masyarakat kedua pihak perlu membangun kepercayaan yang kokoh. Niat yang tulus, kejujuran, dan keterbukaan yang kemudian dilabuhkan ke dalam tindakan konkret yang mencerminkan kesepahaman dan koeksistensi perlu menjadi dasar untuk pencapaian mutual-trust pada kedua pihak; bahkan juga internal pada masing-masing pihak.

Dalam upaya memperkuat pencapaiannya, masyarakat dunia memiliki tanggung jawab moral sangat besar untuk ikut terlibat dalam penciptaan saling percaya di antara mereka yang bertikai; tidak malah ikut memperkeruh suasana. Stigma, prakonsepsi, dan sejenisnya perlu diubah menjadi upaya memahami secara lebih holistik dalam menghadapi persoalan yang terjadi di kawasan Israel dan Palestina. Juga, dunia secara keseluruhan. Dari sini kemudian ada tindakan konkret dan berkelanjutan yang dapat mengantarkan kehidupan tidak lagi dilumuri darah, dendam, dan permusuhan. (*)

*) Prof Dr Abd. A'la MA, pembantu rektor 1 Bidang Akademik IAIN Sunan Ampel Surabaya
OPini Jawa Pos 1 Maret 2010