Marwan Ja'far
(Ketua Fraksi PKB DPR RI)
Secara teoretis dan pengalaman politik empiris di pelbagai negara, sistem presidensial tidak akan bisa berjalan efektif di sebuah negara yang menganut sistem multipartai. Pemerintahan yang dihasilkan oleh sistem multipartai cenderung tidak stabil. Begitu pula, dengan proses pelembagaan sistem demokrasinya. Terlebih, jika di parlemen ataupun eksekutif tidak dihasilkan mayoritas tunggal (single majority) sehingga tidak ada kekuatan politik yang dominan. Akibatnya, stabilitas pemerintahan presidensial kerap terganggu. Resultante-nya, kemampuan pemerintah untuk memerintah sangat terbatas, bahkan yang lebih parah akan terjadi kemacetan (penyusunan dan pelaksanaan) kebijakan pemerintah.
Karena itu, kombinasi sistem presidensial dengan multipartai yang diterapkan di Indonesia bagaikan sebuah difficult combination (Mainwaring: 1993), yang menyimpan sejumlah masalah dan paradoks politik tersendiri. Salah satu indikatornya adalah keraguan beberapa kalangan bahwa koalisi partai pendukung pemerintah sekarang ini akan mampu mewujudkan sebuah koalisi permanen, yang di satu sisi dapat menjamin stabilitas politik untuk mendukung efektivitas dan governability sistem pemerintahan presidensial. Sementara di sisi lain, fungsi pengawasan (kontrol) legislatif (DPR) dalam upaya check and balances tetap dapat diselenggarakan.
Bahkan, sebagian kalangan mensinyalir bahwa terbelahnya pandangan dan sikap partai koalisi pemerintah dalam Pansus Century merupakan 'lampu kuning' koalisi pemerintah. Harapan untuk mempraktikkan koalisi permanen yang kuat seperti telah dipraktikkan koalisi Barisan Nasional antara UMNO dan beberapa partai lainnya di Malaysia, dan koalisi LDP dengan beberapa partai lainnya di Jepang, seperti jauh panggang dari api.
Meski begitu, penulis masih optimistis bahwa mewujudkan sebuah koalisi permanen multipartai dalam sistem presidensial, bukanlah hal yang mustahil dan sulit tercapai. Sebab, tanpa koalisi permanen yang tidak bisa dicabut atau bubar di tengah jalan, stabilitas dan efektivitas pemerintahan sistem presidensial akan mandul. Bercermin pada realitas politik mutakhir, sekarang adalah saat yang tepat bagi semua partai koalisi pemerintah untuk menciptakan sebuah sistem koalisi permanen, yang mendukung jalannya pemerintahan, menguatkan sistem presidensial, dan menjamin keberlangsungan fungsi pengawasan (check and balances) DPR. Eksperimentasi sebuah koalisi permanen yang menopang jalannya pemerintahan, menjadi keperluan mendesak demi mempercepat penciptaan establish democracy.
Selama ini, cukup banyak pengamat dan praktisi politik yang berargumen bahwa dalam sistem presidensial tidak dikenal adanya koalisi permanen. Alasan yang diajukan adalah desain ketatanegaraan kita yang bukan mengenal namanya koalisi permanen, melainkan koalisi pengajuan pasangan capres dan cawapres. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 memberikan legitimasi konstitusional bagi pembentukan koalisi parpol dalam pengajuan pasangan capres-cawapres. Sehingga, jika ada koalisi permanen, koalisi ini dinilai hanya sebatas etika politik dan hukum tidak mengaturnya. Karena itu, bila ada anggota koalisi yang 'mbalelo', tidak bisa ditindak, kecuali dengan mengeluarkan wakilnya dari kabinet. Pandangan seperti ini banyak dianut oleh teoretikus dan praktisi politik pendukung tradisi Anglo-Saxon, seperti di Inggris Raya, Australia, dan Amerika yang rata-rata tidak memandang koalisi sebagai necessary condition. Bahkan, koalisi dinilai sebagai sesuatu yang negatif, berusia pendek, sumber instabilitas, dan kontraproduktif bagi demokrasi.
Tetapi, penulis sendiri beranggapan bahwa koalisi adalah keniscayaan demokrasi, tidak peduli apa pun sistem pemerintahan dan rancang-bangun kelembagaan sistem politiknya, baik itu presidensial murni, presidensial berbasis multipartai, maupun parlementer. Koalisi ada dalam sistem pemilu yang berbasis distrik ataupun proporsional dengan daftar perwakilan. Koalisi juga banyak ditemukan dalam pelbagai bentuk demokrasi yang muda ataupun tua, serta dalam partai apa pun di seluruh dunia, baik Amerika, Eropa, Asia, maupun Afrika. Sebab, koalisi adalah jawaban atas realitas politik dan bukan ketiadaan teori atau peraturan perundang-undangan menurut idealitas politik.
Evidensi bahwa koalisi permanen menjadi necessary condition dapat dipelajari dari praktik koalisi di negara-negara Amerika Latin, yang menganut sistem presidensial multipartai seperti halnya Indonesia. Koalisi pemerintahan di sana relatif bertahan lama karena adanya komite informal koalisi yang bekerja sangat efektif dan solid. Komite informal ini dibentuk guna menguatkan koordinasi antarpartai koalisi. Komite ini bekerja membangun soliditas dengan frekuensi yang cukup intensif, untuk bertukar ide dan informasi mematangkan taktik dan strategi politik mesin koalisi.
Selain itu, praktik koalisi di Jerman patut ditiru. Sebab, Jerman merupakan negara yang pemerintahannya ditegakkan dengan koalisi, baik minimum winning coalition, grand coalition, dan sebagainya. Semua perjanjian koalisi tersebut diformulasikan dan diumumkan kepada masyarakat. Semua perjanjian tersebut memuat mekanisme manajemen dan resolusi konflik dalam rangka mengatasi perbedaan maupun perselisihan yang muncul di antara mitra-mitra koalisi. (Rainer Adam: 2007).
Koalisi permanen di Indonesia bukanlah sesuatu yang sulit ditegakkan. Praktik-praktik koalisi permanen di negara-negara tersebut dapat dijadikan pembanding dan inspirasi untuk diterapkan di Indonesia. Meski begitu, koalisi permanen yang diterapkan harus disesuaikan dengan sejarah, tradisi, budaya, kondisi sosio-politik, dan sosio-ekonomi masyarakat Indonesia berikut pola pengaturan politiknya. Kemudian, koalisi permanen yang ada sekarang tinggal menegakkan dan meneguhkan komitmen, konsistensi, fatsun, dan etika politik di antara anggota koalisi yang dicapai dengan mengintensifkan pertemuan dan koordinasi di antara mereka tentang apa yang boleh dan tidak boleh, pantas atau tidak pantas dilakukan oleh sesama anggota koalisi. Tentunya hal itu dilambari oleh prinsip kesetaraan, saling percaya (trust), saling menghargai, dan berorientasikan pemenuhan kepentingan serta kesejahteraan rakyat.
Opini Republika 1 Maret 2010