01 Maret 2010

» Home » Republika » Banjir dan Derita Publik

Banjir dan Derita Publik

Amran SE
(Anggota Komisi IV DPR RI)

Setiap kali banjir, apalagi dalam skala besar seperti saat ini dan juga tahun-tahun sebelumnya, yang paling menderita dan dirugikan adalah masyarakat, terutama mereka yang miskin secara ekonomi, kaum perempuan, para petani yang berbasis di desa-desa, dan anak-anak serta dunia pendidikan.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi ekspektasi banjir ini perlu upaya penanganan secara holistik, komprehensif, dan menyeluruh. Kata kuncinya adalah kemauan politik (political will) pemerintah. Tanpa ada kemauan politik pemerintah dalam berbagai level struktur birokrasi, penanganan masalah banjir ini hanya akan menjadi wacana politik dan cenderung sia-sia.

Bagaimana tidak, sudah berapa kali negeri ini berganti pemimpin, dari presiden, gubernur, hingga bupati yang semuanya dihadapkan pada masalah yang sama, baik di Ibu Kota Jakarta maupun di desa-desa, tetapi hingga kini tidak ada satu pun model penanganan yang berfungsi efektif.

Mengapa? Tidak adanya political will untuk membangun grand design politik yang berpihak pada hajat hidup masyarakat luas, terutama mereka yang miskin secara ekonomi, kaum perempuan, para petani yang berbasis di desa-desa, dan anak-anak serta dunia pendidikan.

Meskipun belum ada data detail, tetapi dari laporan berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, banjir yang kini melanda Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya, termasuk di Bandung, Jawa Barat; Bojonegoro, Jawa Timur; umumnya hingga Pulau Madura dan berbagai daerah lainya di negeri ini adalah fakta sosiologis tidak adanya grand design model penanganan banjir itu secara holistik dan komprehensif.

Pada 2007, misalnya, data korban banjir yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, menunjukkan sedikitnya ada 1.499 gedung sekolah yang terendam banjir atau sekolah tersebut digunakan untuk menampung para pengungsi korban banjir itu. Menurut data dinas Provinsi DKI, dari 2.158 gedung sekolah dasar (SD), sebanyak 1.295 gedung (sekitar 60 persen) terendam banjir, ada 174 gedung sekolah menengah pertama (SMP), dan 30 sekolah menengah atas (SMA). Sementara, di Tangerang disinyalir ada 69 sekolah yang terendam dan sekitar 14 ribu siswa diliburkan. Dan, kondisi saat ini pun sejatinya tidaklah jauh berbeda.

Berangkat dari kerangka pemikiran ini, layak kita bertanya mengapa banjir yang kini kian meluas terus terjadi di negeri ini? Ada tiga aspek penting perlu untuk dicatat. Pertama, banjir yang merusak gedung-gedung pendidikan dalam skala relatif besar selama ini merupakan bukti bahwa pemerintah tidak menjadikan dunia pendidikan sebagai masalah penting dalam proses pembangunan bangsa.

Kedua, akibatnya, desain kebijakan publik dan politik terkait dengan hancurnya ekologi (lingkungan hidup) yang menyebabkan terjadinya banjir hanya ditentukan oleh pejabat negara dalam struktur kekuasaan birokrasi yang tidak memiliki kompetensi pengetahuan sehingga dampak rusaknya aspek ekologis itu tidak menjadi pertimbangan.

Ketiga, termasuk dalam konteks ini adalah rusaknya areal pertanian yang dapat menyebabkan semakin berkurangnya produksi dan stok pangan nasional dan potensi kian membesarnya angka pengangguran dan kemiskinan karena para petani tidak lagi bisa bersawah. Begitu pula dengan para petambak ikan dan seterusnya.

Kalau ditarik benang merah, terdapat korelasi paralel antara kerangka pemikiran yang cenderung menempatkan dunia pendidikan hanya bersifat komplementer dengan paradigma pembangunan tata ruang kota sehingga ketika musim penghujan datang, gedung-gedung sekolah kebanjiran tanpa ada yang mampu untuk membendung, termasuk rusaknya areal pertanian dan seterusnya. Memang, kesalahan paradigmatik pembangunan tata ruang kota bukan hanya mengakibatkan banjir/rusaknya gedung-gedung sekolah. Banyak aspek lainnya yang turut menderita.

Pendek kata, kehidupan masyarakat akibat banjir ini sangatlah menderita. Di samping kerugian materi, gejala psikologis acap kali muncul mengusik ketenangan jiwa selama pemerintah belum mampu menjamin keselamatan hidup mereka akibat banjir itu.

Barangkali banjir yang selama ini terjadi dan membawa petaka itu adalah peringatan dari Tuhan, terutama mereka yang berada di teras pengambilan kebijakan publik dan politik di pemerintahan yang cenderung tidak menempatkan dunia pendidikan sebagai pembangunan bangsa yang utama, pemanfaatan kekayaan alam tidak semestinya. Oleh sebab itu, dimensi teologis ini pun haruslah menjadi variabel kerangka analisis dalam proses penangan banjir di masa depan.

Memang, secara geologis (ilmu bumi) Kota Jakarta sangatlah memungkinkan menjadi langganan banjir karena posisinya lebih rendah dari permukaan laut. Namun demikian, desain pembangunan tata ruang kota telah memperburuk situasi. Bahkan, desain pembangunan tata ruang kota ini bisa menjadi faktor diterminan terjadinya banjir yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur lainnya selama ini.

Namun demikian, masalahnya banjir itu kini telah melanda seluruh kawasan di negeri ini sehingga, hemat saya, masalahnya menjadi sangat kompleks. Di samping faktor tata ruang pembangunan kota, di atas segalanya, banjir itu terjadi akibat eksploitasi alam semesta.

Oleh karena itu, agar masyarakat luas di negeri ini tidak kian menderita, politik penanganan banjir haruslah bersifat holistik, komprehensif, dan menyeluruh. Wallahu a'lam!

Opini Republika 1 Maret 2010